Berkelana Menelusuri Lorong-Lorong Rumah Rayap

Minggu, 13 Januari 2013 – 18:05 WIB
Stiker Tokyo Candidate 2020, untuk mempromosikan Jepang menjadi tuan rumah Olimpiade 2020. Foto: Don Kardono
Selama hidup di Negeri Samurai, yang melintas di benak, saya seperti sedang menjalani masa metamorfose menjadi geng rayap. Lebih banyak menghabiskan waktu dan beraktivitas di dalam rongga-rongga bawah tanah. Bergerak dari satu titik ke titik lain melewati lorong dengan kereta listrik. Betul-betul manusia underground.
 
 
Musim dingin awal tahun 2013 kali ini memang terasa menusuk tulang. Pusat keramaian, centrum pergerakan, dan fokus aktivitas orang justru berada di bawah tanah. Seperti rayap. Jutaan manusia di kota-kota besar seperti Tokyo, Yokohama, Kyoto, Osaka, Nagoya, Sapporo, Kobe, Fukuoka, Saitama, dan lainnya lebih eksis di bawah tanah. Kalau dalam bahasa pertunjukan wayang, orang-orang itu digambarkan sebangsa Ontoseno dan Ontorejo. Dua anak kandung Bima dari istri yang berbeda, yang keduanya sama-sama bisa ambles bumi (baca: menembus bumi dan hidup di bawah tanah, red).

Merayap di bawah bumi. Penduduk urban di Nippon atau Nihon memang memiliki dua kehidupan. Di atas tanah, yang beralas aspal dan tanah, beratap langit biru. Dan kehidupan di bawah tanah yang berlangit-langit beton dan bercahaya lampu. Di sudut-sudut keramaian kota, perempatan, ujung jalan, dibuat akses masuk ke rongga-rongga basement itu berupa tangga, escalator ke stasiun kereta. Di lokasi padat, lokasi pertemuan banyak jalur, seperti Stasiun Tokyo di Distrik Marunouchi –kawasan perkantoran--, bahkan dibangun lift.

Lebih dari 2,8 Miliar orang Jepang memanfaatkan model transportasi KRL itu per tahun. Setiap hari kereta yang bergerak di bawah tanah itu mengangkut 7,7 juta orang, dari dan ke 282 stasiun. Kereta yang masinisnya meremote dari belakang meja komputer itu selalu bergerak on time, berhenti on track, tidak pernah bergeser.

Jangan dibayangkan kata “stasiun kereta” itu seperti yang kita lihat di Stasiun Gambir, Tanah Abang, Pal Merah, Kebayoran, Bekasi, Depok, Bogor atau bahkan Bandung, pusatnya kantor PT KAI itu. Stasiun di hampir semua city hall di Jepang, itu mirip mall atau pusat bisnis dan perdagangan, sekelas dengan Gandaria City atau Plasa Senayan. Lantainya bersih, fasilitas publiknya lengkap, dan informasinya sangat jelas, modern, menggunakan bahasa Jepang dan Inggris.

:TERKAIT Restoran dengan menu-menu khas Jepang yang sehat, bersih, lengkap, desain minimalis, sadar estetika dan kualitas bintang lima. Lebih mirip kalau Anda berjalan di distrik makanan di Grand Indonesia dan Ritz Carlton One Pacific Place, Jakarta. Anda tidak akan merasa “mati kelaparan” di Negeri Sakura itu, sekalipun suhu mendekati nol derajad ditambah angin. Soal teste, jangan ditanya lagi! Jepang itu negeri kekaisaran dan pernah ke-shogun-an. Jadi, pasti memiliki menu kelas raja-raja yang super istimewa. Di negeri yang berada di bawah Perdana Menteri Yoshihiko Noda ini, saya sempat enam hari bermalam, dengan aktivitas yang padat. Tetapi, sesampai di Jakarta, bobot saya tetap naik nyaris tiga kilogram?

Hanya kereta “peluru” cepat Shinkanshen, yang dibangun di atas tanah, karena menghubungkan satu kota dengan kota lainnya. Semacam AKAP – Antar Kota Antar Provinsi, yang dioperasikan oleh empat perusahaan dalam group JR-Japan Railways. Semacam penghubung rumah rayap yang satu dengan rumah rayap yang lain. Kereta ini amat popular dan menjadi salah satu kebanggaan bangsa Jepang, karena pernah menjadi kereta tercepat di dunia –sebelum dipecahkan rekornya oleh China--- dengan maximum speed 300 km per jam.

Kereta yang tampak muka gerbongnya mirip mobil mewah itu sudah lama eksis di Negeri Matahari Terbit. Di sana tidak mengenal palang pintu perlintasan kereta. Kereta ekspres super cepat ini selalu naik fly over saat bersentuhan dengan jalur darat. Wajar, jika selama hampir 40 tahun, nyaris tak pernah terjadi tabrakan kereta versus mobil, bus, truk, mobil dan motor. Tahun 2003, JR Central merilis catatan tingkat ketepatan waktu Shinkansen yang hanya maksimal terlambat 0,1 menit atau enam detik dari skedul yang dijadwalkan. Ini termasuk kesalahan alami dan manusia yang dihitung dari 160.000 perjalanan SHinkansen.

Kereta ini Persisnya, 1 Oktober 1964. Kala itu dibuka untuk menyambut momentum pesta olahraga dunia, Olimpiade Tokyo. Kereta ini langsung sukses, ditumpangi 100 juta penumpang, dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun sejak dibuka pada tanggal 13 Juli 1967, dan melayani satu milyar penumpang pada 1976.

Saat ini, isu Olympic Games Tokyo itu mulai dipopulerkan melalui kereta ini pula. Di dinding-dinding gerbong, ditempel stiker Jepang kandidat tuan rumah Olimpiade 2020. Sebenarnya masih jauh, 7 tahun lagi. Tetapi saat ini sudah ditampilkan logo dan kesiapan fasilitas negeri ini menjadi tuan rumah yang baik. Termasuk gerbong Nozomi, generasi Shinkanshen 1992 terbaru yang awal tahun itu saya tumpangi, dari Tokyo ke Kyoto, yang hanya ditempuh 2 jam 20 menit.

Lagi-lagi saya teringat, saat awal-awal Andi Malarangeng menjabat Menpora, dan PSSI Nurdin Halid dilanda kisruh tiga tahun silam. Di mana-mana di jalan protokol di Jakarta terbentang spanduk-spanduk “Dukung Indonesia menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022!” Di dunia maya juga beredar, Gerakan 200 juta masyarakat Indonesia dukung menjadi tuan rumah The World Cup 2022. Spiritnya sama dengan Jepang, kandidat tuan rumah Olympic Games 2020, yang saat ini digelorakan di seluruh Jepang.

Bedanya, mereka serius, dan menjawab keraguan public dunia dengan menampilkan infrastruktur, venues, transportasi, akomodasi, teknologi komunikasi, organizing dengan lengkap dan detail. Termasuk logo dan gerakan sosialisasinya. Di Indonesia, kala itu, hanya slogan-slogan untuk kepentingan politis! Untuk mencari pengaruh, untuk mempertontonkan perhatiannya kepada dunia sepak bola, yang massanya besar. Bukan betul-betul berniat untuk menjadi host, yang harus memiliki stadion berstandar dunia? 

Ah, jangan dibandingkan lah. Tidak equal, tidak satu level, tidak apple to apple. Tempatkan saja, Jepang sebagai contoh yang baik, dalam membangun sarana transportasi publik, mengatasi kemacetan dan keruwetan di jalan raya, membangun kereta bawah tanah, kehidupan di atas dan bawah tanah yang seimbang, fasilitas public yang nyaris sempurna, dan mempromosikan program dengan cara yang elegan, tersosialisasi dengan baik, dan tidak mengada-ada.

Mumpung punya Menteri Pemuda dan Olahraga yang baru! (bersambung).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kofi Annan dan Albert Arnold ’’Al’’ Gore di WCF 2013

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler