Bermalam di Hutan, Dijaga Anjing Liar Hitam

Minggu, 15 Agustus 2010 – 10:00 WIB

Setelah 48 hari mengayuh pedal, pengelana bersepeda asal Malang yang kini tinggal di Bandung, PAIMO HERTADIMAS, menyelesaikan perjalanan melintasi Belgia, Prancis, Spanyol, Portugal, dan berakhir di MarokoBerikut laporan Paimo dari solo tur sejauh 3.500 kilometer lebih yang ditulis dari Rabat, ibu kota Maroko.

 
 
SEPERTI yang saya bayangkan saat start Brussels (Belgia) pada 18 Juni 2010, ini adalah perjalanan yang cukup panjang, berliku, dan melelahkan

BACA JUGA: Buy Akur, Pencipta Lagu Keong Racun yang Tetap Hidup di Kontrakan

Tidak sekadar mengandalkan kekuatan otot, tapi juga melibatkan seluruh eksistensi tubuh, keseimbangan, dan sinergi antara fisik, rasio, rasa, dan naluri

 
Terutama setelah meninggalkan kota Nantes di Prancis sampai akhirnya mencapai kota Rabat yang berada di Benua Afrika, entah sudah berapa rute jalan menarik yang saya lewati

BACA JUGA: Berkunjung ke Museum Perang di Vietnam dan Kamboja

Rute Wisata Anggur di kawasan Bordeaux (Prancis), kemudian jalur wisata rohani Kristiani (pilgrimage) Camino Santiago de Compostela (Spanyol), dan lain-lain
Sebuah pengalaman menarik bagi saya karena tidak semua jalur kendaraan bermotor boleh dilalui sepeda

BACA JUGA: Ingin Melompat Jauh Seperti Kanguru


 
Yang sangat membantu pecinta bersepeda solo seperti saya, rambu-rambu lalu lintas di Eropa bagi pengendara sepeda sangat jelasMemang, kadang saya harus mencari jalan alternatif sehingga saya harus melalui jalanan sepi, melintasi daerah pertanian yang luas, hingga naik turun bukit melawan angin di tengah terik matahari menyengat
 
Di Prancis saya pernah mengalami suhu maksimum 44 derajat CelsiusItu hanya terjadi beberapa jamTetapi, siksaan yang tak terkira adalah saat menyusuri jalanan yang menghubungkan kota Lisabon (Portugal) dengan Sevilla, SpanyolSelama lima hari bersepeda saya dipanggang suhu udara dalam temperatur rata-rata 47 derajat CelsiusTerasa sekali otak rasanya juga ikut memuai, tak bisa berpikir lagi selain ingin berteduhTapi, apa daya, saat berteduh di bawah bayang-bayang pepohonan pun suhu udara berada di kisaran 39 derajat Celsius
 
Sedihnya, udara yang diembuskan angin pun udara panasBahkan, untuk minum, air di dalam bidon (botol minum yang diletakkan menempel di sepeda, Red) pun panas sekaliSaya hanya bisa berdoa agar selalu diberi kekuatan di tengah suasana gersang, tandus, dan kering ini.
 
Saat melintasi perbatasan Portugal-Spanyol, yakni kota kecil Rosal de La Frontera, tiba-tiba ban belakang meletusRupanya ban luar aus tanpa saya sadariItu terjadi pada Km 2.700-anSecepatnya saya ganti dengan ban luar cadanganSialnya, ukurannya tidak sesuaiTidak kehabisan akal, dengan dibantu oleh Jose Emanuel (pengendara mobil mobil yang kebetulan lewat), saya kerat ban cadangan tersebutKeratan itu saya jadikan pelapis dalam ban luar yang rusakBan luar roda depan yang relatif masih bagus saya tukar dengan roda belakangHasilnya lumayan, hari itu saya masih mampu bersepeda lebih dari 20 kilometer hingga saat istirahat berkemah.
 
Keesokan harinya dan hari-hari berikutnya saya berupaya mencari ban luar dengan ukuran yang sesuaiTapi, kenyataannya, ukuran ban sepeda saya memang tidak lazim dan belum banyak digunakan orang kecuali di kota besarPuncak dari gangguan ban luar yang cukup melelahkan itu terjadi sehari sebelum mencapai kota Sevilla, Spanyol
 
Sesaat setelah beristirahat siang saya bermaksud melanjutkan perjalananTerlihat ban roda depan menggembung tidak wajarSaya merasa ditantang berpikir keras untuk mengatasinyaSatu-satunya cara ialah menjahit ban tersebut dengan menggunakan kawatDengan solusi itu, roda itu ngambek lagi setelah saya kayuh 12 kilometer.  Tidak putus asa, kali ini jahitan saya lapis dengan aluminium
 
Setelah pedal saya kayuh, ban itu tetap tidak optimalPadahal, saat itu cuaca panas sekaliTidak ada tempat berteduh yang layak untuk memperbaikiTapi, saya terus berusaha bertahanKeringat pun tidak lagi menetes, melainkan mengucur deras hingga membuat perih mataBan yang sudah dhedhel dhuwel itu saya jahit lagi dengan rapi sehingga jahitan tidak ada yang keluar banSaya bersyukur bisa menaklukkan hari yang berat itu sebelum mencapai kota SevillaSekitar pukul 21.30, sebelum matahari menghabiskan sinarnya (di Eropa saat ini siang berlangsung lebih panjang), saya bisa mendirikan tenda.
 
Saya mendapatkan kebahagiaan tak terkira sewaktu menemukan toko dan mendapatkan ban baru yang sesuai dengan ukurannyaKegirangan saya berlanjut saat disambut keindahaan kota SevillaRupanya Tuhan selalu memberikan hadiah terbaik kalau kita mau berupayaTerima kasih, Tuhan.
 
Ada pengalaman lain yang saya alamiSuatu saat, situasi memaksa saya harus berkemah di hutanTenda saya dirikan dekat dengan tempat pembuangan barang-barang tidak bergunaMenjelang malam terdengar suara langkah kaki binatang menginjak dedaunan keringTerlihat seekor anjing berwarna hitamDari tampilannya, saya menduga binatang itu adalah anjing piaraan dan mungkin bersama pemiliknya sedang ke arah tempat saya berkemahMungkin untuk buang air besar atau yang lain.
 
Satu"dua jam berlalu, tapi masih terdengar suara anjing tersebut bekeliaranItu berarti tidak ada orang datang atau di sekitar tempat saya berkemah memang ada orang yang menetapJadi saya harus waspadaPada tengah malam, anjing terebut tiba-tiba menyalak keras tidak jauh dari tendaRupanya ada yang datangDari suaranya, saya menduga seekor rusa mendekatBegitulah, ketika rusa pergi, anjing itu diam lagi"Ah, lumayan ada yang menjagaku," gumam saya dalam hati.
 
Menjelang pagi, saat saya harus keluar tenda untuk buat hajat, anjing tersebut tersentak dari tidurnya yang tidak jauh dari tendaAnjing bagus itu rupanya bukan anjing liarMungkin ia tertinggal oleh pemiliknya saat buang air di daerah ituMelihat dia tidak rakus dan bulunya bersih, kemungkinan belum lama juga ia berada di situ.  
 
Saat saya memasak mi, aroma makanan itu mengundang penciuman anjing tersebut untuk mendekatSelangkah demi selangkah akhirnya ia sampai di depan tendaKarena tak tega, aku beri makan dari sebagian sarapankuDia mulai menunjukkan sikap bersahabat dan manjaSaat saya menggulung tenda, ia mulai berusaha menarik perhatian dengan manarik-narik ujung tenda yang saya gulung dengan menggunakan giginya.
 
Saat saya melanjutkan perjalanan, anjing yang tidak mengerti bahasa Jawa atau Inggris itu mengikuti sayaKalau saya berhenti, ia menjauhTapi, saat saya mengayuh, ia lari mengikutiKalau ada kendaraan melintasi hutan, si hitam beringsut ke sisi jalan sebentarTak tega meninggalkan, saya berusaha menggendong dan meletakkan di atas barangTiga kali sudah saya mecobaTapi, begitu sepeda bergerak, ia meloncat kembali
 
Anjing itu terus mengikutiSaat sepeda saya meluncur di jalan menurun, anjing itu mencoba mengejar sekuat tenagaSaya lihat ia kelelahanSaat istirahat, saya lalu membuat tempat minum dari bekas botol air kemasan untuk si hitamSaya sendiri kekurangan airTapi, dalam perjalanan itu, senang rasanya kami bisa saling berbagi.
 
Setelah lebih dari sembilan kilometer anjing itu berlari mengikuti, kami akhirnya tiba di sebuah permukimanSaya berharap, ada seseorang yang mau menerima anjing ituApalagi, ia jenis anjing bagus dan pintarKami berdua istirahat dan berbagi kue di pinggir jalanIa terlihat mulai nyaman dengan situasi baru di permukiman ituDari seberang jalan, beberapa ekor anjing menyalak melihat kedatangan kami
 
Itu terbukti, saat saya mulai bergerak untuk melanjutkan perjalanan, si hitam memandang acuh tak acuhMungkin kecapekanTapi, itu lebih baik daripada ia harus mengikuti saya terusSaya berdoa semoga ia mendapatkan majikan baruSampai sekarang saya masih teringat kenangan bagaimana ia berlari beringsut jika didekati dan kegirangan saat diberi air minum
 
Setelah menyelesaikan rute Andalusia (wilayah selatan Spanyol yang dahulu pernah menjadi bagian wilayah kekhalifahan Islam), saya menyeberangi Selat Jibraltar (Jabal Al Tarik) di Laut Mediterania yang memisahkan Spanyol dan Maroko (Afrika).
 
Seperti yang terjadwal sejak berangkat, salah satu tempat yang menjadi obsesi saya di Maroko adalah Gunung Toubkal (Jbel Toubkal) yang merupakan gunung tertinggi (4.167 meter di atas permukaan laut) di kawasan Pegunungan Atlas, Afrika UtaraTapi, karena beberapa kendala, saya pesimistis bisa mendaki gunung iniSalah satu penyebabnya adalah ransel yang tidak bisa saya ambil dari Kantor Pos Ceuta, Spanyol.
 
Namun, peluang itu akhirnya datang jugaPada Senin (9/8), saya bermaksud mengunjungi kota Marrakes dan Casablanca dengan diantar anggota PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Maroko, yaitu MSabiq Al Hadi, 25, dan Islahudin Fahmi, 18Dalam perjalanan menuju Marrakes dengan menggunakan kereta api selama hampir 5 jam itulah, hasrat melakukan pendakian muncul lagiKebetulan saya sendiri sudah hafal luar kepala kota maupun rute yang bakal kami lalui
 
Setiba di Marrakes, kami bertiga makan malam di sebuah kafe di kawasan lapangan Jemaa el Fna (Jemaa el Fna Square), lalu mencari warung internet buat melengkapi data yang kami perlukanSetelah itu, kami bermalam di salah satu kamar kontrakan mahasiswa Indonesia di kota tersebutSebelum memejamkan mata, pikiran saya masih dipenuhi rencana apa yang harus dilakukan
 
Semua peralatan untuk pendakian (telanjur dikirim Paimo, Red) ke Rabat (ibu kota Maroko)Namun, ada peluang di depan pelupuk mataTidak sekadar bonek (bondo nekat)Tapi, semua sudah saya perhitungkanDengan pemikiran, kalaupun tidak punya tenda, setidaknya bisa bermalam di hut (pondok pendaki)
 
Keesokan harinya, dengan menumpang taksi, kami menuju ImlilDari sana kami berjalan kaki sekitar enam jam sampai hut terakhir yang dinamai Refuse du Toubkal (3.207 meter).  Kami berkemah dengan tenda sewaan dari hut dan menggunakan selimut tebal sebagai pengganti sleeping bagMalam itu hujan lebat diawali hujan esSuhu udara meluncur drastis ke kisaran 12 derajat CelsiusTapi, kami bertiga bertahan di dalam tenda, meringkuk dalam selimut
 
Baru keesokan harinya kami bertiga melanjutkan pendakian ke puncak Jbel ToubkalWalaupun tertatih-tatih, akhirnya kami sampai juga di puncak gunung tersebutPemandangan alam yang menakjubkan dari puncak membayar seluruh jerih payah upaya pencapaiannyaBagi saya, Gunung Jbel Toubkal merupakan gunung ke- 57 yang pernah saya dakiIni sekaligus gunung ketiga di Afrika yang pernah saya daki setelah Gunung Kilimanjaro (5.896 meter) dan Gunung Kenya atau Point Lenana (4.985 meter)
 
Kalau dulu saya mendaki Gunung Kilimanjaro sebagai gunung tertinggi di Benua Afrika dengan mengendarai/membawa sepeda hingga puncak (Uhuru Peak), kali ini tidakSebab, saya sadar sudah tidak muda dan setangguh dulu lagiNamun, saya tetap bangga bisa sampai di Maroko dengan mengayuh sepeda sejauh 3.538,5 kilometerIni bukan sekadar mengandalkan kekuatan dengkul, tapi juga determinasi yang tinggi.
 
Saya bangga ketika sampai di batas kota Rabat (7/8) sudah ditunggu oleh sepuluh pembalap sepeda nasional Maroko dan ketua Federasi Sepeda Kerajaan MarokoSetelah itu, kami bergabung dengan Bapak Tosari Wijaya selaku duta besar RI dan para stafnyaSaat kami sampai di halaman KBRI, selawat badar dan marhaban berkumandang diiringi tetabuhan rebana bertalu-taluIni adalah akhir perjalanan yang indah dan sangat mengharukan saya(c4/el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Adjie Notonegoro Setelah Bisnis Butiknya Hancur Dililit Utang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler