Berpura-pura Bohongi Hati Nurani

Senin, 02 Januari 2012 – 01:21 WIB
First Lady Syria Asma Fawaz al-Akhras bersama suaminya, Presiden Bashar al-Assad. Foto : Guardian

DI balik kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad di Syria saat ini, ada sosok penting yang tidak bisa diabaikan. Dia adalah First Lady Asma Fawaz al-Akhras atau yang populer sebagai Asma al-Assad, 36.

Berbeda dengan sang suami yang otoriter, perempuan berparas ayu itu adalah ibu negara yang disegani rakyatnya. Bahkan, media menjuluki dia sebagai Putri Diana atau Lady Di dari Syria. Sebab, ibu tiga anak itu pun sering terlibat dalam berbagai acara sosial atau amal.
 
Berbagai atribut penting juga pernah melekat pada atau diberikan kepada ibu tiga anak itu. Dia adalah sosok yang pintar. Tidak hanya berpendidikan Barat, dia juga pernah menekuni karir profesional di dua perusahaan terkemuka.
 
Bersama tokoh perempuan di dunia Arab, Asma juga memperjuangkan nasib kaumnya dan anak-anak. Misalnya, saat pertemuan para istri kepala negara muslim di Istanbul pada Januari 2009, dia bersama Ratu Rania dari Jordania, Emine Erdogan (istri PM Turki Recep Tayyip Erdogan), Begum Fauzia Yousuf Raza Gilani (istri PM Pakistan Yousuf Raza Gilani), First Lady Lebanon Wafaa Suleiman, Asma mendesak dunia internasional turun tangan untuk mengakhiri penderitaan kaum perempuan dan anak-anak Palestina di Jalur Gaza, Palestina, akibat serangan Israel.
 
Asma juga pernah mendapat gelar doktor honoris causa dari University La Sapienza, Roma, pada 2004. Gelar itu diberikan sebagai pengakuan atas perannya dalam menjaga dan melindungi warisan budaya Syria.
 
Di luar itu, ibunda Hafez, Zein, dan Karim tersebut juga dipuji sebagai salah satu ikon mode dan fashion. Itu terkait dengan penampilannya yang anggun dan modis. Majalah fashion ternama Vogue pun pernah menjuluki dia sebagai "Mawar di Tengah Gurun Pasir" (Rose in the Desert).
 
Tetapi, pergolakan politik dan unjuk rasa antipemerintah di Syria sejak Maret lalu telah menenggelamkan sosok perempuan 36 tahun itu. Asma yang selalu tampil cantik dalam balutan busana keluaran butik ternama tersebut tak lagi menghiasi media dalam dan luar negeri.

Sepak terjang tokoh yang sering terjun secara langsung dalam acara sosial dan kemanusiaan itu tidak terdengar lagi. Selama sembilan bulan terakhir, penggemar sepatu rancangan Christian Louboutin tersebut bagai hilang ditelan bumi.
 
Keberadaan perempuan yang menikah dengan Assad di pengujung 2000 itu tak diketahui. Sekitar Mei lalu, sempat tersiar kabar bahwa Asma telah meninggalkan Syria dan bermukim di Inggris bersama tiga anaknya. Karena lahir dan besar di Inggris, Asma memang berstatus warga negara ganda (Inggris dan Syria).

Maka, tidak sulit bagi dia untuk memasuki Negeri Ratu Elizabeth II itu dan bertahan di sana sampai konflik Syria (benar-benar) usai. Namun, rezim Assad membantah keras berita soal larinya Asma tersebut.
 
Akhir Juni lalu, media pemerintah Syria justru sengaja menampilkan foto Asma yang menyapa para pendukung Assad di Kota Damaskus. Assad pun seolah menunjukkan kepada dunia bahwa selama ini Asma tak pernah jauh dari sisinya. Bahkan, penguasa berusia 46 tahun itu berusaha memperlihatkan dukungan dari sang istri terhadap dirinya.
 
Namun, apakah Asma mendukung kebijakan Assad yang selama ini menghalalkan segala cara untuk membungkam suara oposisi?
 
Pada awal Desember lalu, jurnalis dan penyiar televisi Barbara Walters datang ke Syria. Saat itu, Walters sengaja mewawancarai Assad untuk ditayangkan di stasiun televisi AS, ABC. Walters pun sempat bertemu dan mewawancarai Asma. Sayangnya, pembicaraan mereka off the record dan tidak boleh disiarkan.
 
"Tidak seorang pun tahu apa yang terjadi di balik pintu istana yang selalu tertutup itu. Tetapi, saya tidak yakin dia mampu atau punya kuasa mempengaruhi kepemimpinan suaminya," komentar Andrew Tabler, cendekia sekaligus jurnalis asal Amerika Serikat (AS) yang pernah tinggal di Syria pada 2001-2008.
 
Pakar tentang Syria itu menuturkan bahwa kharisma Asma tidak akan mampu membuat Assad berhenti untuk menindas atau merepresi warganya. Tabler yang menulis dan menelurkan memoar In the Lion"s Den saat menetap di Syria itu mengaku cukup mengenal baik Asma dan Assad.
 
Berdasar pengalamannya saat menggarap buku tentang kehidupan keluarga nomor wahid di Syria itu, dia yakin bahwa Asma berada pada posisi yang sama dengan Assad. "Jika Anda menganggap apa yang selama ini diberitakan media memang benar adanya, Anda akan menyimpulkan bahwa Asma mendukung Assad," katanya.
 
Warga Pennsylvania, AS, itu berpandangan bahwa Asma punya dua sisi yang cukup kontradiktif. "Di satu sisi, dia adalah perempuan modern yang jauh berbeda dengan istri para petinggi lainnya di dunia Arab. Tetapi, di sisi lain, dia ingin menjadi seorang putri yang hanya fokus pada urusan rumah tangga," ujar Tabler.

Karena itu, meski mendirikan lembaga nonpemerintah (LSM) yang khusus mengurusi pengangguran dan ketimpangan sosial, Asma selama ini selalu mengutamakan keluarganya.  Dalam wawancara dengan media internasional pada awal 2000-an, Asma pernah mengatakan bahwa dia sama sekali tidak tertarik dengan dunia politik.

"Setiap kali saya ditanya soal apa alasan yang membuat saya bertahan di Syria yang sarat konflik sektarian, jawaban terbaik dari saya adalah stabilitas militer, politik, dan keamanan. Tapi, sebenarnya saya punya jawaban lain," tuturnya ketika itu.
 
Syria, lanjut Asma saat itu, tetap bertahan sebagai negara karena budaya keterbukaan dan persatuan dari rakyatnya. "Mungkin, Anda pikir bahwa apa yang saya utarakan ini berbau politik. Tetapi, percayalah kepada saya. Saya sama sekali tak tertarik pada politik," tegasnya.
 
Namun, sebagai istri presiden, dia tak bisa menghindari fakta soal pengaruh politik dalam kehidupannya. Apalagi, di Syria yang tak pernah sepi dari konflik dan isu terorisme, politik sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Karena itulah, Asma pun mengaku terbiasa dengan isu-isu politik di dalam dan luar negeri.
 
Oktober tahun lalu, Asma menjamu kelompok relawan asing yang melawat ke Kota Homs dan Hama. Ketika itu, mereka menceritakan soal mayat-mayat yang berserakan di jalan-jalan kota. Para relawan itu mengaku melihat suasana di jalanan kota-kota tersebut telah berubah menjadi medan pertempuran.

"Saat kami mengisahkan kekejian pasukan pemerintah yang kami lihat sendiri, beliau tidak bereaksi. Seolah-olah seperti itulah yang selama ini terjadi di Syria," kisah seorang relawan kepada The Independent.
 
Menurut Tabler, saat ini Asma berada dalam fase denial (pengingkaran). Sebenarnya, ungkap dia, Asma memahami penderitaan warganya yang hidup dicekam ketakutan. Apalagi, dia pernah menyebut penindasan Israel atas rakyat Palestina sebagai aksi barbar.

Dia tak ingin membenarkan kekejian sang suami yang menyebabkan lebih dari 5.000 orang menjadi korban (tewas). "Dunia banyak bicara soal reformasi di Syria. Saya rasa, Asma sedang berlagak bodoh atau berpura-pura dengan membohongi hati nuraninya," ucap Tabler.
 
Jurnalis Inggris Gaia Servadio yakin bahwa sebetulnya Asma bisa mempengaruhi sang suami. Setidaknya, dalam menjadikan Assad bertindak sedikit moderat di tengah sorotan internasional atas krisis Syria saat ini. "Beliau lahir dan besar di Inggris serta banyak menyerap budaya Barat.

Beliau juga bukan perempuan biasa dan punya latar belakang pendidikan tinggi. Saat ini, hanya Asma lah yang paling potensial mengubah sikap Assad," ujarnya seperti dilansir Daily Mail. (CNN/dailymail/guardian/hep/dw i)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Liga Arab Pantau, Tentara Syria Tembaki Demonstran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler