Betapa Dahsyatnya Ekonomi Labbaik

Senin, 05 Januari 2009 – 12:33 WIB

Ka’bah adalah “sebuah pulau tenang” kata Muhammad Asad, penulis keturunan Yahudi Eropa beragama Muslim  itu bermetaforaEngkau sumarah di bawah duli kemahabesaran Ilahiat

“Jauh lebih tenang dibandingkan arsiktektur mana pun,” lanjut Asad bernama asli Leopold van Weiss penulis buku Road to Mecca itu.
Lain waktu pula, Ali Shariati melukiskannya dalam kalimat yang sangat puitik“Seolah engkau berada di antara berjuta-juta burung putih beterbangan ke langit,” tulis Ali Shariati, penulis Iran yang melukiskan perjalanan spritualnya ke Mekah, nun jauh di jazirah bergurun itu.
Sekarang, setelah musim haji tahun ini berlalu, dan kita mencoba melakukan refleksi dan proyeksi ke depan, kita bisa terkesiap oleh angka-angka rupiah dan dolar yang menyertai perjalanan calon jemaah pulang pergi Indonesia-Mekah.
Suatu ketika saat musim haji lagi ramai-ramainya, saya berbincang-bincang dengan Ketua Komisi VIII DPR RI, Hasrul Azwar, justru ketika rupiah lagi lesu dan dunia dipayungi oleh awan krisis keuangan global yang kehitam-hitaman, yang bermula dari kredit properti di Amerika Serikat.
Jika quota haji tahun ini berjumlah 210.000 orang, maka dengan ongkos naik haji Rp 34 juta setiap orang, total mencapai Rp 7,140 triliunAngka itu masih menaik, mengingat di antaranya termasuk 16 ribu jemaah ONH Plus dengan biaya USD 7500 perorang
Tak heran, jika Dana Abadi Umat (DAU) tahun berjalan sudah Rp 1 triliunDiam-diam ibadah haji mengandung arus uang yang luar biasa, jika tak mau disebut bisnis.
Saya terpikir, jangan-jangan kegiatan haji sama sekali tak terpengaruh oleh krisis keuangan internasionalHasrul meyakinkan saya dengan mengatakan, bahwa hingga kini mereka yang masuk dalam waiting list (daftar tunggu) untuk naik haji sudah mencapai 600 ribuan orang hingga tahun 2012.
“Mendaftar sekarang, tapi berangkatnya pada  2012,” kata Hasrul, politikus Senayan yang menapak karir dari Medan ituGairah ini jauh mengalahkan orang-orang kaya, sebutlah yang memesan apartment atau rumah mewah, yang sampai berbilang tahunan
Ekonomi haji memang ekonomi plusDan rasanya tak dikenal dalam ekonomi klasik dan kontemporerHasrul bertutur bahwa ibadah haji sangat terkait dengan “panggilan Tuhan”Labbaik itu, pengertiannya, “ya Tuhan, aku sahuti panggilanmu.” Tanpa panggilan, siapa pula yang pergi? Tiba-tiba saya ingat sajak Chairil Anwar, “di pintumu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling.”
Suatu kali, Hasrul berkunjung ke kantor  Departemen AgamaTernyata ada 20-an anggota kepolisian Republik Indonesia yang ikut berangkat ke MekahMereka bertugas menjaga keamanan, termasuk kerawanan lalu lintas, karena pemukiman jemaah haji Indonesia letaknya berjauhan.
Kepada seorang polisi berpangkat AIP, Hasrul bertanya“Apakah bapak pernah bermimpi naik haji?.” “Aje gilePensiun pun gue gak kan mungkin naik haji,” kata polisi beretnik Betawi itu“Pangkat cuma seginian,” katanya, tertawa lebar.

Referensi Malaysia
Wahai, alangkah dahsyatnya “ekonomi panggilan” baik di masa tenang dan masa krisisPorsi haji, jika boleh dihitung, kira-kira 20%, setelah empat rukun lainnya,  seperti syahdatain, salat, puasa dan zakat ditunaikanDoa Nabi Ibrahim yang meminta agar negeri berpadang pasir itu dimakmurkan Tuhan, adalah wacana yang sangat economics.
Jika Anda sehat saja, tapi tak punya kemampuan ekonomi, tak bisa menunaikan haji, begitu juga sebaliknyaTak jarang kita dengar bahwa yang naik haji itu tak selalu orang kayaAda petani, nelayan atau pedagang kecil, yang ditinjau dari aset dan pendapatannya seperti tak mungkin sanggup naik hajiMengapa?
Boleh jadi, inilah faktor non finansial, jika mengutip istilah seorang kawan saya, ekonom Jhon Tafbu Ritonga, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) MedanBisa pula disebut berseminya need for achievment (NaCh), motivasi berperestasi yang diteorikan oleh Rostow dan Mc Clelland, sehingga calon jemaah sudi hidup efisien, tak boros dan menabungTujuan yang mulia itu telah melahirkan etos dan etika yang luar biasa.
Tidaklah mengherankan manakala BUMN Garuda juga meraih Rp 1,08 miliar per sekali terbang, sehingga 20% pendapatan Garuda saban tahun disumbang oleh jemaah hajiSaya pikir, Meneg BUMN Sofyan Djalal dan dirut Garuda, Emirsyah Sattar sudah selayaknya memberi apresiasi kepada jemaah haji IndonesiaHasrul, putra Sipirok, Tapanuli Selatan itu pun mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
Cost Garuda sekali terbang sudah break event point jika kursinya terisi 60%Sementara jemaah haji selalu full, sekitar 450 orang satu pesawatCoba jika ibadah haji yang non umroh berlangsung saban bulan, barangkali, Garuda akan kaya raya.
Syahdan, pada suatu hari seusai rapat kerja Komisi VIII DPR, Hasrul pernah didekati ole Emirsyah Sattar“Jika DAU yang Rp 1 Triliun itu boleh saya pakai, maka kita bisa membeli dua pesawat Boeing bekas,” kata Emirsyah
Jika DAU kian gemuk, dan semakin banyak Boeing atau Air Bus dibeli, suatu ketika Garuda terbang sendirian ke MekahTak perlu joint dengan maskapai Arab Saudi, yang berbanding 49-51, dan Saudi lebih banyak, sehingga laba menjadi terbagi.
Tengoklah, “Tabungan Haji” (sejenis DAU) di Malaysia sudah melakukan diversifikasi usaha, termasuk membuka kebun sawit yang luas di RiauDana itu tak dibiarkan “tidur” malah beranak-pinak dengan cara-cara yang halal, tentu saja berasas transparan, dan akuntabel.
Tampaknya gagasan bagus itu perlu dinegosiasikan kepada Menteri Agama, Meneg BUMN, Menteri Keuangan maupun menteri terkait lainnya“Duit tidur” itu tak mustahil “tergerogoti” seperti kisah-kisah yang pernah terjadi dan berujung menjadi kasus korupsi di meja hijau.
Lebih dari itu, ekonomi labbaik itu tampaknya tak terpengaruh dengan krisis keuangan global yang mencekam dunia dewasa iniJadi, mengapa DAU itu tak dikelola dan duitnya diputarkan, sebuah terobosan inovatif di masa depan? ***

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler