JAKARTA - Rupiah tengah menuju titik keseimbangan atau ekuilibrium baru. Setelah menembus level Rp 10.000 per USD, Bank Indonesia (BI) membiarkan rupiah terus melemah sesuai fundamentalnya.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah mengakui, yang dilakukan BI saat ini tidak lagi mengintervensi pasar uang untuk melawan depresiasi rupiah, melainkan mengawal rupiah menuju ekuilibrium baru. "BI menjaga saja supaya pergerakan menuju ekuilibrium itu bisa stabil," ujarnya, Selasa (16/7).
Data kurs BI yang mengacu pada Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin menunjukkan rupiah ditutup pada level 10.036 per USD, melemah 12 basis poin jika dibandingkan dengan penutupan Senin (15/7) yang di level 10.024 per USD.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah sepakat dengan langkah BI yang mengurangi intervensi dan membiarkan rupiah bergerak sesuai fundamentalnya. "Tidak apa-apa, (pelamahan rupiah) ini bukan masalah," katanya.
Doktor ekonomi lulusan Australian National University itu menyebut, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, depresiasi rupiah terhadap USD masih relatif lebih ringan. "Kalau yang lain menguat, tapi rupiah melemah, itu baru mengkhawatirkan," ujarnya.
Kenapa rupiah tetap melemah meski harga BBM dinaikkan? Menurut Chatib, sebenarnya potensi penguatan rupiah atas kenaikan BBM muncul dari potensi penurunan impor karena penghematan. Sayangnya, pengurangan stimulus di AS membuat aliran modal keluar dari emerging markets seperti Indonesia. "Jadi, faktor domestik (dari pengurangan impor BBM) kalah dengan faktor eksternal," jelasnya.
Ekonom yang juga Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adtyaswara mengatakan, meski faktor eksternal memegang peran penting, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini juga menjadi faktor krusial yang menggiring pelemahan rupiah. "Lihat saja, inflasi kita tinggi, neraca dagang defisit, dan defisit APBN makin besar," ujarnya.
Dengan kondisi demikian, rupiah memang sulit kembali menguat ke level di bawah 10.000 tanpa intervensi besar-besaran dari BI. Namun, dalam jangka menengah dan panjang, ketika fundamental ekonomi Indonesia membaik, barulah rupiah akan kembali menguat. "Dengan kondisi saat ini, nilai tukar Rp 10.100 (per USD) masih bisa diterima," katanya.
Sementara itu, dunia usaha menilai bahwa pelemahan rupiah yang menembus Rp 10.000 per dolar AS dapat menghantam industri berbasis impor Indonesia. Kondisi itu terjadi jika pemerintah tidak cepat dalam mengambil tindakan untuk mengendalikan rupiah.
Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rahardjo Jamtomo menjelaskan, pelemahan rupiah layaknya dua sisi mata pisau. Di satu sisi mengakibatkan barang impor mahal, namun di sisi lain membuat produk Indonesia yang diekspor menjadi murah. "Itu yang kami khawatirkan. Tetapi, mudah-mudahan pemerintah cukup waspada dan gesit guna menghadapi keadaan ini," kata Rahardjo saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, kemarin.
Dia berharap pelemahan rupiah itu hanya sementara. Kalangan pengusaha lebih suka jika nilai tukar rupiah stabil di level Rp 9.500 per dolar AS. Melemahnya rupiah akan memengaruhi daya saing industri dalam negeri. "Jika impor tinggi, akan membuat balance of payment deficit tinggi. Ini juga berpengaruh terhadap pelemahan rupiah," paparnya.
Sedangkan Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Ahmad Ridwan mengatakan, dampak negatif depresiasi rupiah tidak hanya dialami importer, tetapi juga eksporter yang mengandalkan bahan baku impor dalam proses produksinya. "Produk ekspor menjadi tidak berdaya saing karena eksporter membeli bahan baku impor dengan harga yang mahal," katanya.
Beberapa bidang industri di dalam negeri selama ini bergantung pada bahan baku impor. Misalnya industri alas kaki yang membutuhkan karet setengah jadi impor, sekalipun sebagian produk jadinya diekspor lagi. Industri elektronik dan otomotif pun mengandalkan komponen impor. Demikian pula industri plastik yang membutuhkan polipropilena dan polietilena impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bahan baku/penolong mendominasi hingga 77,04 persen dari total impor Januari-April sebesar Rp 61,96 miliar, diikuti barang modal 16,65 persen dan barang konsumsi 6,31 persen.
Ridwan mengatakan, sejauh ini dampak pelemahan rupiah memang belum terlihat pada aktivitas ekspor dan impor. Sebab, pelaku usaha masih merealisasikan kontrak pengiriman barang beberapa bulan lalu. Namun, lanjut dia, bukan tidak mungkin aktivitas pengapalan barang akan terganggu jika depresiasi rupiah berlanjut. Pelaku usaha bisa saja mengurangi impor bahan baku -yang artinya sama dengan menurunkan kapasitas produksi. Ridwan menuturkan, nilai tukar rupiah idealnya stabil di level Rp 9.500-Rp 9.700 per USD agar tak mengganggu aktivitas impor dan ekspor.
Pelemahan rupiah juga terasa di pasar modal. Analis senior Monex Investindo Futures Albertus Christian mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga terpicu tekanan jual di pasar aset Indonesia yang cukup kencang. Terutama dari pasar saham. "Semua itu terakumulasi dalam derasnya arus keluar hot money (dana jangka pendek)," ungkapnya.
Seperti diketahui, pada perdagangan kemarin (16/7) indeks harga saham gabungan (IHSG) dibayangi tekanan aksi jual investor asing hingga mencatatkan jual bersih (net sell) Rp 57 miliar. Kondisi tersebut ditangkap pasar spot valas antarbank di Jakarta yang akhirnya ditutup melemah 20 poin (0,19 persen) ke level 10.030/10.040 dari posisi 10.010/10.020 pada Senin (15/6).
Sepanjang perdagangan, rupiah sempat mencapai level terlemahnya di posisi 10.035 per USD setelah mencapai level terkuatnya 10.029 dari posisi pembukaan di level 10.030 per USD.
Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas, mengatakan, secara tidak langsung pernyataan Bank Indonesia yang mengurangi intervensi membuat pelemahan rupiah berlanjut. (owi/uma/gal/c6/c11/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Minta Tiket Pesawat Disatukan Airport Tax
Redaktur : Tim Redaksi