Biaya Politik 2014 Tetap Mahal

Jadi Jalan Masuknya Para Pemilik Modal

Kamis, 19 April 2012 – 06:14 WIB

JAKARTA - Calon anggota legislatif (caleg) yang memiliki kantong cekak perlu berpikir ulang untuk maju dalam Pemilu 2014. Politik biaya tinggi diperkirakan akan mewarnai pelaksanaan pemilu dua tahun mendatang itu.

"Problemnya akan sama dengan Pemilu 2009. Pengaruh donatur masih akan sangat strategis dalam pembiayaan kampanye," tegas peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan dalam diskusi tentang kepemiluan di Jakarta kemarin (18/4).

Menurut Abdullah, kooptasi para pemilik modal sulit dihindarkan karena pengaturan dana kampanye di UU Pemilu pascarevisi masih sekadar formalitas. Misalnya, dia mengungkap ketentuan pasal 134 dan 135 yang mengatur kewajiban menyerahkan laporan dana kampanye. Seperti halnya ketentuan sebelum direvisi, kewajiban pelaporan dana kampanye masih tetap berada di partai politik (parpol).

"Padahal, sudah menjadi rahasia umum, perputaran uang itu lebih banyak dilakukan individu peserta politik," tandasnya. Dengan demikian, masyarakat pun masih akan tetap sulit mengetahui laporan dana kampanye calon yang  akan dipilihnya.

Abdullah menyatakan, dengan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang mendasarkan formula caleg terpilih berdasar suara terbanyak, pengaturan dana kampanye seharusnya juga mengikuti. "Tapi, kenyataannya tidak ada perubahan signifikan. DPR terkesan tidak memiliki spirit untuk menurunkan biaya demokrasi. Semua ini bukan pendidikan politik yang baik buat rakyat," tutur Abdullah.

Pandangan senada disampaikan peneliti CSIS Philips J. Vermonte. Dia juga menangkap bahwa para anggota DPR terkesan sengaja tidak mengatur ketentuan terkait dana kampanye di UU Pemilu secara mendetail. "Korupsi politik pada 2014 masih akan terjadi. Kita akan sedih, tapi sulit untuk bisa berbuat apa-apa," kata Philips.

Salah satu yang disorot adalah ketiadaan pengaturan pengeluaran dana kampanye. UU Pemilu hanya mengatur sedikit kewajiban peserta pemilu untuk melaporkan dan menyerahkan daftar penyumbang kepada KPU. Selain itu menyerahkan sumbangan yang melebihi jumlah maksimal kepada KPU. "Tapi, kenyataannya pada Pemilu 2009 jumlah dana kampanye yang ada di dalam laporan tidak sesuai dengan pengeluaran riil," bebernya. 

Secara terpisah, mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Arif Wibowo mengakui bahwa pembatasan dana belanja kampanye memang telanjur tidak diatur. Karena di level UU sudah tidak diatur, akibatnya terobosan lewat peraturan KPU tidak diperlukan lagi.

Menurut Arif, satu-satunya cara yang masih mungkin dilakukan adalah mendorong dibuatnya peraturan KPU yang mengharuskan pembiayaan parpol dilaporkan secara transparan dan terbuka secara berkala. "Masa kampanye ini kan dimulai 16 bulan sebelum pemilu. Laporan belanja kampanye bisa dilakukan setiap empat atau lima bulan sekali kepada KPU dan diumumkan kepada publik. Biar parpol tidak aneh-aneh," tutur politikus PDIP itu.

Laporan parpol tersebut dibuat di setiap level, mulai nasional (pusat), provinsi, sampai kabupaten dan kota. "Hanya cara ini yang paling dimungkinkan," tegas Arif.

Saat pembahasan RUU Pemilu, PDIP termasuk yang ngotot meminta adanya pembatasan dana belanja kampanye caleg. "Sekarang ini belanja pribadi tidak terkontrol," cetusnya. (dyn/pri/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kader Militan PKS Tergerus di Pilkada DKI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler