jpnn.com - Bangunan masjid agung di Ningxia, Tiongkok, tak jauh beda dengan kebanyakan masjid di Indonesia. Yang sedikit berbeda hanya bagian atas pintu gerbang. Di bagian itu terukir nama Yin Chuan Nanguan Mosque dalam tiga jenis huruf. Yakni, huruf kanji Mandarin, huruf Arab, dan huruf Latin. Untuk sampai ke masjid, jamaah masih harus berjalan sekitar 50 meter menyusuri halaman.
Laporan Bayu Putra, Yin Chuan
==========================
BACA JUGA: Nabung Setengah Abad, Madzari Akhirnya Naik Haji
Kepala Pengurus Masjid Nanguan Mahomet Yunus Bao Jingui menyambut delegasi Jawa Pos Group dengan ramah. Kakek yang usianya memasuki kepala delapan itu tampak bersemangat saat menceritakan masjid dan sejarah Islam di Ningxia karena merasa bahwa delegasi dari Indonesia adalah saudara.
Di ruangan penuh foto kunjungan pejabat Tiongkok maupun presiden dari berbagai negara itulah rombongan Jawa Pos Group yang terdiri atas Wapemred Jawa Pos Abdul Rokhim, Direktur Pemberitaan JTV Imam Syafii, Pemred Pontianak Post Salman Busrah, Pemred Kaltim Post Muhammad Rizal Juraid, Wapemred Sumatera Ekspres Nurseri Marwah, dan Pemred Riau TV Bambang Suwarno dijamu dengan sajian teh khas Ningxia yang dipenuhi daun teh serta aneka manisan buah.
BACA JUGA: Mahasiswa Indonesia Hanya Satu, Berminat Ikut Campus Expo
Masjid Nanguan dibangun pada akhir masa Dinasti Ming dan saat ini telah berusia 400 tahun. Masjid tersebut sempat hancur pada masa revolusi Tiongkok dan kembali dibangun dengan bentuk yang sama pada 1981. ”Masjid beberapa kali diperluas karena jamaah makin banyak. Saat Idul Fitri dan Idul Adha, jumlah jamaah bisa mencapai 14 ribu orang,” tutur Yunus.
Tidak lama delegasi Jawa Pos Group berada di Masjid Nanguan, azan berkumandang, pertanda sudah masuk waktu asar. Kini waktu siang di Tiongkok bagian barat dan utara lebih panjang daripada waktu malam. Azan Asar baru berkumandang pada pukul 16.40 waktu setempat. Sedangkan matahari terbenam sekitar pukul 19.30.
BACA JUGA: Sebarkan Kemajuan Indonesia-Tiongkok lewat Radio 65 Bahasa
Tempat wudu Masjid Nanguan terletak di dekat gerbang masuk. Ruangan yang cukup luas itu menggunakan sistem yang masih tradisional. Jamaah yang hendak berwudu harus menampung air terlebih dahulu di sebuah wadah yang mirip dengan alat penyiram tanaman berkapasitas 5 liter. Kemudian, mereka duduk mengelilingi meja tempat menaruh penampung air dan berwudu dengan air yang telah ditampung.
Ruangan salat untuk jamaah laki-laki terletak di lantai 2. Ornamen-ornamen kaligrafi menghiasi dinding. Tersedia pula mimbar tempat khatib menyampaikan khotbah.Mimbar tersebut sama dengan umumnya mimbar di masjid-masjid Indonesia yang berbentuk kurungan. Khatib harus menaiki beberapa anak tangga sebelum sampai di kursinya. Tersedia pula tongkat kayu yang biasanya digunakan khatib untuk berpegangan saat berdiri di atas mimbar. Lampu-lampu kecil menghiasi pinggiran mimbar maupun tepian-tepian ornamen di dinding.
Ruangan salat utama beralas karpet secara keseluruhan. Saat kunjungan delegasi Jawa Pos Group, tidak banyak jamaah yang hadir untuk salat Asar. Hanya tiga saf yang terisi oleh jamaah. Sebagian di antara mereka mengenakan gamis dan serban. Seluruh jamaah, kecuali delegasi Jawa Pos Group, tetap menggunakan kaus kaki ketika salat.
Untuk jamaah perempuan, disediakan ruangan khusus di lantai 1. Tepatnya di sisi kiri masjid. Tempat yang berukuran sekitar 8 meter x 6 meter itu diberi sekat portabel untuk membatasi ruangan salat dengan ruangan lain. Masjid tersebut tidak menyediakan mukena. Namun, sajadah sudah terhampar dan bisa digunakan kapan pun.
Imam Masjid Nanguan Ismi yang memimpin salat melafalkan takbir dengan logat yang tercampur antara Mandarin dan Arab. Lafal takbir yang lugas khas Timur Tengah disuarakan dengan nada lembut khas Tiongkok Barat. Seluruh gerakan salat dilakukan perlahan, kacuali di bagian iktidal (berdiri setelah rukuk).
Selepas salat, Ismi memimpin para jamaah berzikir bersama. Lafal maupun urutan zikir yang dibaca sama persis dengan yang biasa dibaca oleh jamaah salat di Indonesia. Diawali dengan istigfar tiga kali, lafal tauhid, doa keselamatan, disusul zikir pujian, syukur, dan takbir masing-masing 33 kali sebelum diakhiri dengan doa bersama.
Meski sudah lama memiliki penduduk muslim, kebebasan beragama baru didapat umat muslim Tiongkok pada 1959. Saat itu pemerintah Tiongkok sudah tidak lagi mengekang warganya dalam berkeyakinan dan beribadah.
Yunus menuturkan, salah satu tanda kebebasan beragama di Tiongkok adalah banyaknya umat muslim Negeri Panda yang berangkat haji tiap tahun. Sebelum 1959, warga muslim Tiongkok yang beribadah haji bisa dihitung dengan jari. Seiring dengan kebebasan beragama, minat warga muslim Tiongkok untuk beribadah haji makin tinggi. ”Di Ningxia tiap tahun ada 20–30 orang yang berangkat haji. Di seluruh Tiongkok bisa mencapai 3.000 orang per tahun,” urainya.
Bahkan, Pemerintah Provinsi Ningxia punya tradisi yang terkait dengan haji. Setiap rombongan akan berangkat ke Tanah Suci, perwakilan Pemprov Ningxia akan mengantar para calon jamaah haji itu hingga pintu pesawat. Sama dengan kebiasaan di beberapa daerah di Indonesia.
Yunus punya cerita tersendiri saat bersua dengan jamaah haji dari Indonesia. Kala itu dia berpapasan dengan salah satu rombongan jamaah Indonesia yang bersiap meninggalkan Masjidilharam. Ketika rombongan itu pergi, Yunus mendapati satu tas yang diyakininya milik rombongan jamaah Indonesia tertinggal.
Tas itu lalu dia amankan. Yunus duduk menunggu di tempat yang sama selama hampir dua jam. Sesuai dengan perkiraan, ketua rombongan jamaah Indonesia kembali ke Masjidilharam. Ternyata tas tersebut berisi dokumen-dokumen milik jamaah di rombongan itu, termasuk paspor. ”Ketua rombongan itu pun berkali-kali mengucapkan terima kasih.Sejak itu, kami sering dikunjungi jamaah dari Indonesia,” tambahnya.
Bukti kebebasan beragama berikutnya adalah banyaknya masjid di Ningxia. Saat ini di Ningxia terdapat sekitar 4.000 masjid. Kondisi tersebut membuat 2,65 juta warga muslim di Ningxia (35 persen dari total populasi Ningxia) tidak kesulitan dalam beribadah. Saat Idul Adha banyak kambing dan sapi yang disembelih. ”Sebelum 1959, mereka hanya bisa memotong ayam,” ungkap Yunus, yang masih tegap meskipun usianya sudah hampir satu abad.
Yunus menambahkan, saat ini Ningxia makin ramah terhadap umat muslim. Sebab, banyak produk halal yang beredar. Hal itu menjadi modal Ningxia untuk menggaet pengusaha-pengusaha Timur Tengah agar berinvestasi. Karena itu, dia berharap masyarakat Indonesia tidak ragu untuk datang ke Tiongkok. Jika masih ragu, setidaknya berkunjunglah ke Ningxia.
Delegasi Jawa Pos Group yang berkunjung ke Ningxia merasakan kedekatan budaya Islam di provinsi tersebut dengan Indonesia. Wapemred Jawa Pos Abdul Rokhim mengatakan, dari tiga kota yang disinggahi selama berada di Tiongkok, yakni Beijing, Yin Chuan, dan Suzhou, diketahui makanan Ningxia lebih klop dengan Indonesia. ”Makanan di Ningxia paling cocok dengan lidah orang Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, karakter warga Ningxia yang berbicara secara terbuka seperti warga Surabaya membuat delegasi Jawa Pos Group serasa di kota lain di tanah air. Bahkan, dengan jumlah masjid yang mencapai 4.000 dan makanan yang ramah dengan lidah orang Indonesia, tinggal di Ningxia serasa di rumah saja.
”Ada dua provinsi selain Ningxia yang populasi muslimnya juga besar. Namun, Ningxia secara kultur paling dekat dengan Indonesia,” ungkap International Liaison Department All-China Journalist Association Wang Lin. Dia berharap kedekatan budaya itu menjadi modal penting bagi kedua negara untuk menjalin kedekatan yang lebih komprehensif.
Pada kesempatan berikutnya Jawa Pos Group juga dikenalkan dengan budaya Suzhou di Tiongkok Selatan. Selain menjadi penyangga Kota Shanghai, daerah setingkat kabupaten itu memiliki perkembangan ekonomi yang sangat pesat.
Bagi Indonesia, Suzhou mendapat tempat spesial karena menjadi tempat Laksamana Cheng Hoo menyiapkan kapal dan merekrut awak kapal sebelum berlayar ke Indonesia.
”Kami berkembang tanpa meninggalkan tradisi. Begitu juga prinsip pemerintah daerah di Indonesia,” ujar Wei Guoling, deputy director Bagian Informasi Pemda Suzhou. Karena itu, Suzhou –yang sudah menjalin kerja sama dengan 46 kota di seluruh dunia– juga ingin mengajak kota-kota di Indonesia untuk menjalin sister city. (*/c11/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siti Shalihah Daftar Haji Sejak SMP
Redaktur : Tim Redaksi