Bikin Tato, Penyesalan Datang Belakangan

Sabtu, 01 November 2014 – 16:31 WIB
Bikin Tato, Penyesalan Datang Belakangan. JPNN.com

jpnn.com - Ada yang bilang tato itu seni, tapi tidak jarang orang-orang mencibir. Karena tato bersifat permanen, perlu berpikir ribuan kali sebelum memutuskan merajah tubuh. Sebab, menghapusnya tak semudah menato diri.

Bagi Agva Angelita Octamoebata, 29, yang kerap disapa Lita, tato adalah bagian dari hidupnya. Walau awalnya hanya iseng, kini dirinya selalu berpikir ulang jika akan membuat tato. ’’Di sini kan kalau ada yang punya tato dan itu terlihat, bakal dipandang mulai ujung kaki sampai kepala. Gitu terus bolak-balik,’’ ujar perempuan yang bekerja di bidang perbankan tersebut.

BACA JUGA: Susi Jadi Menteri, Pamor Perempuan Bertato Happening

Sebab, dia merelakan tato kesayangan yang ada di tangan. Tato itu berbentuk bunga. ’’Karena tuntutan kerja, tato itu harus dihapus,’’ ungkap perempuan kelahiran 24 November 1985 tersebut.

Ditato sakit, apalagi ketika dihapus, demikian keluh Lita. Dia bercerita, penghapusan tato harus dilaser sepuluh kali. Apalagi tatonya berwarna. ’’Hopeless deh. Susah hilang. Kalaupun ngotot, ada bekas. Ada bagian yang tidak kembali seperti kulit aslinya,’’ papar perempuan yang punya lima tato kecil-kecil di seluruh badannya itu.

BACA JUGA: Eyelashes yang Bikin Good Looking

Dia melanjutkan, setiap pertemuan butuh waktu 30 menit. Meski waktu treatment di klinik sebentar, dia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk bolak-balik klinik. ’’Udah sakit, lama lagi. Total menghapus dan masa penyembuhan, aku perlu sepuluh bulan,’’ ungkap Lita. Dia mengaku kapok menghapus tato.

Menulis inisial atau nama pacar biasanya dianggap kebodohan dalam membuat tato. Hal tersebut pernah dialami Evi Setiawan, 21, seorang pengajar di sebuah lembaga swasta. ’’Pesanku, jangan sekali-sekali dilakukan. Sebab, menghapusnya lebih sakit daripada putus, haha,’’ kenangnya.

BACA JUGA: Garam Tak Selalu jadi Penyebab Tekanan Darah Tinggi

Ketika lulus SMA, sang pacar saat itu secara spontan mengajaknya tato bersama. Nama Evi ditato di tangannya, tapi sang pacar menuntut Evi juga mau ditato namanya. ’’Udah aku tolak mati-matian tetap dipaksa. Sempet ribut, tapi akhirnya aku yang ngalah. Untungnya, bikin kecil di selipan jari,’’ ceritanya.

Hubungan cinta mereka ternyata tidak permanen seperti tato yang mereka buat berdua. Hanya dua tahun, hubungan itu kandas. Eva merasa tidak bijak membiarkan tato nama mantan terus berada di jarinya. Selain tak mau disangka gagal move on, ini dilakukan untuk menghargai babak baru perjalanan cintanya kelak.

Eva membawanya ke dokter untuk dilaser. ’’Awalnya, aku kira sakitnya biasa aja. Tapi, ternyata sakitnya ribuan kali lebih sakit, kayak melepuh ditusuk. Ah entahlah, tulang rasanya dibakar, ah itu rasanya ngeri banget,’’ kenangnya.

Beberapa kali sesi pun, hasilnya tidak akan kembali seperti kulit semula. Hilang, tapi seperti melepuh. Eva akhirnya menyerah karena tak tahan dengan sakitnya. Dia ingat betul kata dokter yang menanganinya waktu itu. Kalau bikin tato, harus dipikir ribuan kali.

’’Bikin tato jangan karena kasmaran atau gaya-gayaan. Pikirkan ribuan kali dampaknya. Sebab, kamu nggak tahu gimana hidupmu ke depan. Inget, tato akan nempel di badanmu seumur hidup,’’ tegasnya mewanti-wanti. (puz/cik/c17/nda)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lima Tanda Hormon Anda Sedang Tidak Seimbang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler