jpnn.com - MENDAGRI Gamawan Fauzi merasa ditampar fitnah. Dia tidak berkompeten mencabut sembilan peraturan daerah (perda) larangan minuman keras (miras). Dia merasa diadu domba. Dia meluruskan, dengan istilah ”mengevaluasi.” Bukan ”mencabut.” Itu dua kata yang berbeda makna. Dia hanya memberi masukan kepada daerah agar jangan ada perda yang ’’adu pantat’’ dengan peraturan lebih tinggi, yakni Keppres No 3 tahun 2002.
Itu dibaca publik, sebagai ”Kalau ada Perda yang adu punggung, maka Perda-nya harus disesuaikan!” Memang, tipis sekali perbedaan makna itu. Kalau sedang terkena mabuk miras, pasti sulit membedakan dua makna itu. Faktanya, visi-misi perda dan keppres itu sendiri memang sudah bertolak belakang. Memang beda. Hanya saja, Gamawan Fauzi tidak mau dianggap sebagai biangnya.
Perbedaan persepsi itu memang tidak bisa dihindarkan. Daerah-daerah yang tegas dan jelas melarang miras dalam segala bentuk, merek, dan tempat jualannya, pasti tetap kencang memberi label haram. Kalaupun ada peraturan di atasnya yang kontra, ya itu yang harus di judicial review! Apa peraturan di atas selalu lebih benar? Selalu lebih kuat iya.
Maka perdebatan soal misi Mendagri dan visi daerah-daerah yang anti-miras itu menjadi tidak terlalu penting. Rapat redaksi Indopos dua hari lalu memutuskan, ilustrasi halaman satu berjudul “Miras Tidak Dilarang.” Suara kru redaksi sendiri terbelah. Ada yang pro mendagri, perda-perda miras di daerah harus dipereteli satu-satu, dengan segala risikonya.
:TERKAIT Ada juga yang pro daerah, karena miras itu sama dengan membuka keran minuman beralkohol itu mengalir sampai jauh. Banyak pelaku kejahatan, kecelakaan lalulintas, dan perang suami istri yang awalnya dari miras. Agama apapun melarang mabuk minuman. Sembilan daerah sudah sangat tegas menerapkan perda antimiras itu, di antaranya Kota Tangerang, Kota Bandung, Sukabumi, Bali, Banjarmasin, Balikpapan, Sorong, Manokwari, dan Maros.
Bagi kami, yang menarik justru lontaran ide, bahwa minuman beralkohol itu tidak sepenuhnya buruk. Konon kalau dikonsumsi dalam porsi sedikit dan rutin, malah menyehatkan. Mirip dengan wine. Hah? Apa betul? Kalau begitu, tidak semua alkohol itu haram dong? Wah, makin ”mabuk” saja diskusinya. Sama persis suasananya, ketika itu di forum redaksi ini memperdebatkan hukum merokok itu haram, halal, atau makruh? Ada yang bersikukuh aman, tidak haram, asal sadar porsi.
Ada yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, haram! Yang pro merokok mencontohkan, orang-orang Jogja yang angka harapan hidupnya lebih tinggi secara nasional itu perokok? Bahkan, memakai klobot, tidak berfilter. Ada yang langsung dihisap dengan kretek, yang terkenal dengan istilah tingwe (linting dewe, menggulung sendiri tembakau di kertasnya, red).
Mereka perokok, tetapi tetap sehat di usia di atas 80-an tahun. Tidak kena paru-paru. Menurut mereka, malaikat pencabut nyawa itu ada di atas piring alias makanan daripada di batang rokok. Orang terkena stroke, jantung, kolesterol, asam urat, itu bukan karena asap nikotin, apalagi perokok pasif? Itu lebih disebabkan pola makan yang berminyak, berlemak, dan porsi berlebihan.
Saat ini, apa sih makanan yang tidak berkolesterol tinggi? Itulah pencabut nyawa paling menakutkan! Serangan antirokok dan antinikotin juga tidak kalah gencar. Mereka memaparkan data-data riset medis, ada 4.000 bahan kimia, dan 400 jenis racun di asap rokok. Ada jenis acetone (penghapus cat), methanol (bahan bakar roket), carbon monoxide (gas dari knalpot), vinyl chloride (bahan plastic PVC), hydrogen cyanide (racun untuk hukuman mati), arsenic (racun pembunuh aktivis Munir), ammonia (pembersih lantai), DDT (racun tikus), dan masih banyak lagi.
Masih kurang gawat? Selain itu, healty warning, berupa peringatan pemerintah juga sudah tegas dan meyakinkan. Bahkan, pesan itu juga ditulis di semua produk rokok di seluruh dunia. Bahwa, merokok menyebabkan serangan jantung, kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Hanya orang nekat, ngawur dan berani mati saja yang mau menabrak peringatan yang sudah terbaca di bungkus rokok dan semua media iklan rokok.
Kelompok pro rokok pun tidak mau kalah. Mereka mencurigai, ini hanyalah perang bisnis, yang menggunakan bungkus isu kesehatan. Industri rokok sudah menyumbang cukai sebesar Rp 57 triliun per tahun. Menampung ratusan ribu tenaga kerja. Mencetak juara-juara bulutangkis dunia. Jangan-jangan, ada perusahaan farmasi yang menjadi ’’penumpang gelap?’’ Ah, minuman keras dan rokok rupanya saudara kembar.
Menjadi biang pro dan kontra yang tak berujung. Catatan saya, di setiap pro dan kontra, selalu tersembunyi magnit yang berharga mahal. Magnit itu bernama ’’business value’’. Itulah energi yang membuat api perdebatan itu tak pernah padam. Begitu pun soal minuman keras, pasti menyimpan ”business value” yang signifikan. ”’Kalau gitu mari kita sambil minum bir pletok! Bir khas orang Betawi!’’ itu sergah salah seorang redaktur foto, memecah keributan soal pro dan kontra itu.
’’Haram! Sebaiknya jangan! Nanti editingnya sambil teler, pembaca ikut mabuk!’’ canda redaktur lain. ’’Ooo… tidak. Bir yang satu ini tidak beralkohol, menyehatkan, terbuat dari rempah, jahe, daun pandan wangi, serai, dan kayu secang berwarna merah. Karena itu, warna bir pletok itu merah! Tapi kalau minum 10 liter sekaligus ya bukan hanya mabuk, tapi bisa pindah alamat ke Tanah Kusir!’’ balasnya. Semalam, 5 botol bir pletok merek Ondel-Ondel itu ada di lantai 10 Graha Pena Jakarta, kantor kami.
Dibeli dari kawasan Petamburan, Jakarta Pusat. Ada tulisannya ’’halal non alkohol’’ dan tercatat di Depkes RI No 013.01/09.01/2001, karena itu aman dikonsumsi. Saya coba, dan kawan-kawan lain juga mimun ramuan khas Betawi itu. Segar, hangat, manis. Mengapa dinamakan bir pletok? Bir itu kan kesannya beralkohol 5 persen? Konon, dulu dijual di malam hari, dan setiap melayani pembeli botolnya dikocok-kocok dulu, sehingga saat dibuka berbunyi ’’pletok.’’
Sebenarnya asyik juga mengkonsumsi bir pletok setiap hari, dijamin memperlancar peredaran darah, meredakan nyeri lambung, memulihkan radang sendi, merangsang keluarnya gas dari perut sehingga mampu mengobati masuk angin. Status dan fungsinya sama dengan Wedang Ansle (Surabaya), Wedang Ronde (Jawa Tengah), Bajigur (Solo), Bandrek (Bandung).
Aha, rupanya bir pletok mampu menjadi ’’pemadam kebakaran’’ pro-kontra, karena semua jadi sepakat, bahwa minuman ini menyegarkan! Ayo, minum bir pletok, tidak haram, tidak dilarang! (*)
*)Penulis adalah Pemimpin Redaksi Indopos dan Wadir Jawa Pos.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gaya Lama Cerita Baru
Redaktur : Tim Redaksi