JAKARTA - Direktur Reform Institute Yudi Latif mengatakan demokrasi suara terbanyak yang saat ini dianut oleh Indonesia berpotensi besar mengancam keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia.
"Demokrasi suara terbanyak yang saat ini berkembang di Indonesia berpotensi mengancam kelangsungan keutuhan negara ini," kata Yudi Latif, di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (10/6).
Ancaman demokrasi suara terbanyak sebagai pemecahbelah keutuhan negara ini menurut Yudi berlangsung sangat sistemik hingga ke kota dan kabupaten yang ada di seluruh pelosok negeri.
"Faktanya, seorang pegawai negeri sipil (PNS) karena alasan otonomi tidak bisa pindah daerah kerja meski hanya dalam satu provinsi yang sama. Yang ingin saya katakan, birokrat sendiri ikut mengacau kebhinekaan karena PNS tidak bisa pindah ke daerah lain," ujar Yudi Latif.
Fenomena tersebut lanjut Yudi semakin menambah panjangnya faktor-faktor kesenjangan sosial yang ujung-ujungnya menutup sikap toleransi menjadi intoleransi.
Dikatakannya, sebagai suatu bangsa, Indonesia ini mestinya hidup di panggung multikultural. Tapi dalam banyak hal elit bangsa mengembangkan sikap hidup monokultural.
Negara lanjutnya harus cepat dan sigap dalam bertindak dengan cara mengembangkan faktor pergaulan kultural. "Saat ini tidak ada diplomasi budaya diantara sesama warga bangsa," tegasnya.
Demikian juga halnya dengan para tokoh lintas-agama. Menurut Yudi sama centilnya dalam membela kepentingan agamanya masing-masing dan seenaknya mengenyampingkan kepentingan bangsa dan negara. "Ini bukti bahwa zionisme agama itu memang ada di Indonesia," ungkap Yudi.
Terakhir Yudi juga mengkritisi negara yang tidak pernah berada di luar kepentingan dalam menyikapi konflik yang bersumber dari suku dan atau agama.
"Negara tidak pernah dalam posisi esensial outsider dalam menyikapi berbagai konflik. Padahal berada di luar kepentingan itu sangat penting. Itu peran negara. Yang terjadi negara didikte oleh kelompok tertentu. Ini negara menzalimi dirinya sendiri," tegas Yudi Latif. (fas/jpnn)
"Demokrasi suara terbanyak yang saat ini berkembang di Indonesia berpotensi mengancam kelangsungan keutuhan negara ini," kata Yudi Latif, di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (10/6).
Ancaman demokrasi suara terbanyak sebagai pemecahbelah keutuhan negara ini menurut Yudi berlangsung sangat sistemik hingga ke kota dan kabupaten yang ada di seluruh pelosok negeri.
"Faktanya, seorang pegawai negeri sipil (PNS) karena alasan otonomi tidak bisa pindah daerah kerja meski hanya dalam satu provinsi yang sama. Yang ingin saya katakan, birokrat sendiri ikut mengacau kebhinekaan karena PNS tidak bisa pindah ke daerah lain," ujar Yudi Latif.
Fenomena tersebut lanjut Yudi semakin menambah panjangnya faktor-faktor kesenjangan sosial yang ujung-ujungnya menutup sikap toleransi menjadi intoleransi.
Dikatakannya, sebagai suatu bangsa, Indonesia ini mestinya hidup di panggung multikultural. Tapi dalam banyak hal elit bangsa mengembangkan sikap hidup monokultural.
Negara lanjutnya harus cepat dan sigap dalam bertindak dengan cara mengembangkan faktor pergaulan kultural. "Saat ini tidak ada diplomasi budaya diantara sesama warga bangsa," tegasnya.
Demikian juga halnya dengan para tokoh lintas-agama. Menurut Yudi sama centilnya dalam membela kepentingan agamanya masing-masing dan seenaknya mengenyampingkan kepentingan bangsa dan negara. "Ini bukti bahwa zionisme agama itu memang ada di Indonesia," ungkap Yudi.
Terakhir Yudi juga mengkritisi negara yang tidak pernah berada di luar kepentingan dalam menyikapi konflik yang bersumber dari suku dan atau agama.
"Negara tidak pernah dalam posisi esensial outsider dalam menyikapi berbagai konflik. Padahal berada di luar kepentingan itu sangat penting. Itu peran negara. Yang terjadi negara didikte oleh kelompok tertentu. Ini negara menzalimi dirinya sendiri," tegas Yudi Latif. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Undang Antasari Azhar Bahas RUU KUHAP
Redaktur : Tim Redaksi