Bisakah Pasien Kanker Berpuasa di Bulan Ramadan, Simak Penjelasan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Kamis, 28 Maret 2024 – 15:40 WIB
Silaturahmi Sehat Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) bersama media. Foto Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Hematologi & Onkologi Medik RSPP dr. Alvin T Harahap menjawab banyaknya pertanyaan tentang bolehkah seorang pasien kanker berpuasa di bulan Ramadan.

Menurut dr. Alvin, dari sudut pandang medis, pasien yang sedang menjalani pengobatan terapi sistemik kanker dan memerlukan cairan infus, sehingga mungkin tidak bisa berpuasa.

BACA JUGA: Pacar Kiki eks CJR Ikut Puasa Selama Ramadan Meski Beda Keyakinan, Ini Alasannya

"Karena cairan infus mungkin diberikan pada siang hari, sehingga tidak bisa berpuasa, " terang dr. Alvin dalam Silaturahmi Sehat di RSPP belum lama ini.

Jika terapinya dilakukan pada malam hari, berpuasa memungkinkan untuk dilakukan. Namun, perlu diingat ada efek samping pengobatannya.

BACA JUGA: Buruan! Berburu Diskon Promo Ramadan Blibli dan Kemudahan Belanja Online

Dia menegaskan, efek samping terapi sistemik tidak ringan dan dapat menimbulkan masalah seperti mual dan muntah. Oleh karena itu, disarankan pasien untuk tidak berpuasa selama menjalani terapi sistemik.

"Jika pasien sedang menjalani pengobatan secara oral (minum obat), periksa apakah obat tersebut dapat disesuaikan dan dirotasi. Misalkan, harus diminum pagi dan sore, bisa diubah menjadi buka puasa dan sahur," tuturnya.

BACA JUGA: Gelar Safari Ramadan BUMN, Taspen Bagikan Ribuan Paket Sembako

Perhatikan juga efek sampingnya, apakah sangat serius. Dr Alvin menyarankan, jika pasien merasa tidak kuat lebih baik dibatalkan atau tidak berpuasa.

Lebih lanjut dikatakan dr. Alvin, penanganan kanker di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) kini lebih komprehensif. Pendekatannya tidak hanya satu disiplin ilmu, tetapi 6 ahli sekaligus.

Dia menyebutkan 6 ahli yang masuk dalam Tim Kanker Multidisiplin RSPP yaitu Ahli Onkologi Medis, Ahli Onkologi Radiasi, Ahli Bedah Onkologi, Perawatan Onkologi, Ahli Gizi dan Psikolog.

"Penanganan kanker tidak bisa hanya ditangani satu dokter ahli. Sehebat apa pun dokternya, tetap harus melihat dokter spesialis lainnya," terang dr. Alvin.

Dia menjelaskan Tim Kanker Multidisiplin ini akan bertemu secara teratur guna membahas kasus pasien dan rencana perawatan yang dipersonalisasi.

Selain itu, tim juga akan memantau kemajuan pasien dan membuat penyesuaian pada rencana perawatan. Serta memberi dukungan dan informasi kepada pasien dan keluarganya.

Dokter Alvin menerangkan penanganan pasien kanker akan lebih komprehensif dan terkoordinasi. Sebab, akses ke berbagai macam keahlian, maka pengambilan keputusan menjadi lebih baik.

Dia berharap terjadi peningkatan hasil dan kualitas hidup pasien kanker.

Data Kementerian Kesehatan 2022 memperlihatkan angka kejadian penyakit kanker di Indonesia sebesar 136 orang per 100 ribu penduduk dan menempati urutan ke-8 di Asia Tenggara.

Sementara, di Asia berada di urutan ke-23.

Angka kejadian tertinggi di Indonesia untuk laki-laki adalah kanker paru yaitu sebesar 19,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 10,9 per 100 ribu penduduk.

Lalu, diikuti kanker hati sebesar 12,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 7,6 per 100 ribu penduduk.

Sementara, angka kejadian untuk perempuan yang tertinggi adalah kanker payudara yaitu sebesar 42,1 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100 ribu penduduk yang diikuti kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100 ribu penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100 ribu penduduk.(esy/jpnn)


Redaktur : Yessy Artada
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler