jpnn.com - Oleh: Herryansyah, MBA (Pengamat Politik Universitas Indonesia)
Pilkada Kota Depok akan berlangsung dalam hitung hari. Sejauhmana peluang para kandidat setelah melewati tahapan pilkada dalam memenangkan pertarungan pilkada 9 Desember nanti? Penulis menganalisis bahwa pilkada berpeluang besar berpihak kepada Idris-Imam.
BACA JUGA: Jurus Idris-Imam untuk Majukan Ekonomi dan Buka Lapangan Kerja di Depok
Mereka diuntungkan oleh "kecerobohan" partai pengusung Gerindra-PDIP dalam menyusun paket calon yang bisa mengimbangi pertarungan, terutama ketika dua petahana saling berhadapan.
Kualitas kinerja dan program calon wali kota Idris dan Pradi sama karena keduanya petahana, maka pendongkrak suara ada di figur rekam jejak wakil wali kota. Khusus PDIP cukup di luar dugaan yang ujug-ujug mengusung Afifah.
BACA JUGA: Kapten Infanteri SA dan 7 Prajurit TNI AD Ditahan, Kasusnya Ngeri Juga
Jika lihat rekam jejak Afifah cocoknya diusung di pilkada Sumedang atau Majalengka karena eks caleg PDIP dapil sana, yang kiprahnya populer di sana dibanding di Depok.
PDIP seperti "deja vu" mengulangi kekeliruan di pilkada 2015, sekaliber PDIP tidak cermat baca peta sosioliogis kultural Depok. Tahun 2015 usung Dimas Oky Nugroho yang tidak terlihat kiprahnya untuk Kota Depok, bahkan namanya pun asing di telinga warga Depok.
Apakah lembaga survei independen yang sama 2015 digunakan oleh PDIP sebagai acuan keputusan dalam Pilkada 2020 ini? Saya tidak tahu metode survei internal mereka. Bappilu PDIP Pusat dan Daerahlah bisa jawabnya.
Dua kali momentum "Jokowi Effect" plus Prabowo Effect saat ini tidak bisa dkelola maksimal oleh PDIP di Pilkada Depok. Bagaimana mungkin seseorang calon wakil wali kota kurang populer diharapkan bisa mengangkat suara calon wali kotanya dalam waktu singkat? Itu pun baru aspek popularitas saja sudah tidak bisa diandalkan, apalagi bicara segi akseptabilitas, dan elektabilitasnya.
Berkaca pada Debat Pulblik pertama, Afifah terlihat kurang memahami mekanisme birokrasi pemerintahan dan proses perencanaan program daerah, dibanding kapasitas Imam Budi Hartono yang matang dan lama berkecimpung di legislatif.
Kalkulasi Politik PDIP, Cerdasnya Politik Imam Budi
Dalam konteks elektabilitas, pemilih Gerindra akan solid ke Pradi, tapi penulis meragukan "grassroot" PDIP dan parpol pengusung lainnya akan utuh mendukung Afifah. Rekam jejak dan kontribusi riil Afifah dibasisnya sendiri belum nampak, apalagi di basis pemilih di luar parpol lainnya menjadi salah satu faktornya.
Sebenarnya koalisi gemuknya tepat, tapi sayang, calon wakil wali kota sulit diharapkan menopang suara untuk Pradi.
PDIP Depok sejatinya punya kader/putra Depok yang memang paham permasalahan di Kota Depok yang bisa diusung memperkuat Pradi, seperti Hendrik Tangke Alo Ketua DPC PDIP, ataupun Habib Ahmad Riza Al Habsy mantan anggota DPRD Provinsi Jabar yang basisnya mengakar beririsan dengan kelompok nasionalis-abangan dan basis religius nahdiyin.
Ini diharapkan menggarap kantong suara Idris-Imam. Kalkulasi politik itu nampaknya tidak cukup "cerdas" dibaca oleh elite DPP PDIP.
Di sisi lain, Tim Idris-Imam justru sebaliknya. Mereka pintar dalam membaca peta sosio-politik Depok yang dikombinasi dengan 'keterampilan' politik Imam Budi cukup mengesankan. Salah satunya, penetrasi ke basis lawan melakukan "silaturahmi politik" ke rumah Ahmad Riza Alhabsyi beberapa waktu lalu.
Ini membuktikan kalau mereka membaca survei, bahwa Habib Riza salah satu lumbung suara akar rumput PDIP Depok, tapi "dieliminasi tersingkir" oleh kebijakan elit PDIP di pilkada
Depok. Sebagai orang Jawa, Imam sudah fasih bagaimana "meng-wongke" orang lain, apalagi tokoh yang memiliki akar kuat di basis pemilih nasionalis-nahdiyin seperti Riza Alhabsyi.
Walau berbeda partai dan idelogi, tapi Imam Budi rendah hati "one step ahead" sowan, dan meminta masukkan dan saran kader PDIP tersebut yang secara kultural disegani di konstituen PDIP. Bahkan selain silaturahmi ke rumah Habib Riza, Imam Budi Hartono di tengah padatnya jadwal kampanye, melaunching video viral ucapan pribadinya selamat ulang tahun yang ditujukan kepada Riza Alhabsyi tgl 17 November lalu. Hal yang justru malah tidak dilakukan PA (Pradi-Afifah).
Langkah humanis ini otomatis 'meluluhkan' pandangan dan militansi simpatisan PDIP, dan menimbulkan simpati akar rumput. Ia tetap menghargai tokoh muda PDIP Depok yang menurut banyak survei memang diharapkan simpatisan PDIP untuk dimajukan pillkada, tapi di tengah jalan "digergaji" peluangnya oleh elit parpol.
Sumber penulis di internal parpol-parpol menujukkan hasil sigi elektabilitas Riza Alhabsyi berada 3 (tiga) besar di bawah Idris dan Pradi dalam dua bulan terakhir jelang penentuan calon.
Bukan tidak mungkin, Ahmad Riza Alhabsyi akan 'dilirik' parpol non-PDIP untuk diajukan dalam pileg 2024 demi mendulang suara parpol ataupun pilkada 2025 mendatang. Itu pun jika Riza Alhabsyi mampu rawat dan jaga basis pendukungnya.
Politik itukan seni serba kemungkinan. Siapa yang cerdas membaca arah. Dan haru diingat bahwa ini Jabodetabek Bung! Bukanlah Jawa Tengah yang memang basis PDIP.
Di Jabodetabek konstelasi politik nasional berpengaruh, sehingga dibutuhkan calon yang bisa berbicara dan diterima di empat "alam" yaitu : nasionalis, abangan, non-muslim dan nahdiyin/santri. Imam Budi mampu komunikasi baik di "empat alam", diluar kompetensinya di birokrasi yang matang.
Jurus Mabuk dan Jalan Kemenangan Idris-Imam
Saya teringat film Kung-Fu era 80-90an Drunken Master. "Jurus Dewa Mabok" adalah jurus pamungkas seorang jagoan yang sudah diambang kekalahan untuk bisa membalikkan keadaan memenangkan pertarungan.
Jadi diibaratkan saat ini memainkan jurus itu dengan merangkul koalisi gemuk "head to head versus" Idris-Imam beserta militansi kader PKS, tapi anehnya PDIP-Gerindra menduetkan calon populis & non-populis. Keren sih strategi awalnya, tapi "melempem" finishing touchnya.
Potensi masalah lain seandainya jika logistik "perang" Pradi-Afifah ternyata meleset atau jauh janji dari harapan parpol pendukungnya, dan sejauhmana kesiapan pelatihan saksi-saksi partai pengusung serta konsolidasi relawan, maka Pradi-Afifah semakin berat memenangi Pilkada.
Sejak awal Pradi-Gerindra memiliki posisi tawar tinggi, karena mencukupi kursi untuk maju sendiri plus koalisi parta lain, tapi Gerindra tidak punya 'nyali' menolak "tawaran tunggal" dari PDIP untuk menjadikan duetnya di pilkada.
Jika saja Gerindra berani membentuk koalisi plus tanpa PDIP, dengan menggandeng pilihan calon wakil wali kota yang populis dari partai lainnya sebagai D2, maka potensi menang lebih besar. Menurutnya, PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan PKS dan tidak juga berani untuk maju paket wali kota sendiri, maka pada akhirnya PDIP akan bijak berpolitiknya dan menyodorkan pilihan calon populis kader lainnya yang dianggap mampu mendulang suara dan bekerja maksimal untuk Pradi.
"Akankah “Jurus kungfu Drunken Master" ini efektif memenangkan pillkada? Ataukah langkah catur PDIP menduetkan Afifah dengan Pradi, secara tidak langsung, entah disadari atau tidak, justru memiliki andil besar melapangkan " jurus silat" Idris Somad-Imam Budi menjadi Wali kota-Wakil Wali Kota 2020-2025?
Akankah jadi "totok jari mematikan" lumpuhkan militansi pendukung Idris-Imam ? Ataukah jurus itu hanya "totok jari refleksi" bagi dominasi PKS di Depok? Perkiraan saya Pradi-Afifah di Depok bisa meraup 20%-35% suara. Semua hipotesa-analisa saya tersebut, bisa diuji dan lihat nanti 9 Desember jawabannya, amsiong atau tidak.
Penulis berkeyakinan bahwa akan ada otokritik dan evaluasi di internal partai-partai koalisi karena 'gagal pahamnya' mengorganisasi politik pilkada sejak 2015. Lalu siapa sih yang akan paling dimintakan tanggung jawab jika kalah lagi nanti? Elit parpol di daerah atau elit parpol di pusat?
Peribahasa "Keledai tidak akan terperosok dua kali di lubang yang sama", pasti dijadikan bahan renungan dan pijakan bagi elite parpol-parpol di Depok menentukan langkah politik pascapilkada, dan persiapan pilkada 2025 mendatang.
Tentu jika gagal di sini, PDIP-Gerindra bisa mengadu untung dengan usung lagi Afifah sebagai Bupati/Wakil Bupati dalam pilkada Subang, Majalengka atau Sumedang (SMS), toh Afiah sudah "kerja keras politik" di sana sejak pileg 2019. Saya yakin dimenangi Afifah di dapil "SMS" sana. Tapi sabar, nunggu jadwal pilkada 3-5 tahun lagi, ya. (*)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti