Bongkar Ancaman Novel Baswedan, Sebut Nama Johan Budi

Selasa, 25 Juli 2017 – 18:55 WIB
Panitia Khusus Angket KPK. Foto/ilustrasi: YouTube

jpnn.com, JAKARTA - Muhtar Ependy, orang dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, dihadirkan sebagai narasumber di Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (25/7).

Muhtar adalah terpidana perkara memberikan kesaksian palsu dan mengerahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak benar dalam sidang Akil.

BACA JUGA: Demokrat Tagih Janji Jokowi-JK Menguatkan KPK

Dia membeberkan dugaan pengancaman yang diterimanya dari penyidik senior KPK Novel Baswedan dan rekan-rekan.

Muhtar yang kini kembali menyandang status tersangka suap pengurusan sengketa pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) di MK itu mengaku selama menjalani proses penyidikan di KPK banyak menerima ancaman.

BACA JUGA: Gerindra Keluar dari Pansus Angket KPK, Demokrat: Alhamdulillah Cerdas

Menurutnya, ketika awal kasus Akil terungkap, apartemennya di Mal of Indonesia (MoI) pernah digeledah penyidik KPK.

"Ancaman pertama, saat itu saya belum jadi saksi dan dia (penyidik) datang menggeledah apartemen saya," kata Muhtar dalam rapat pansus pimpinan Agun Gunandjar Sudarsa, Masinton Pasaribu, Taufiqulhadi dan Dossy Iskandar itu.

BACA JUGA: Gerindra Hengkang, Pansus Angket KPK Tetap Kencang

Muhtar mengaku juga pernah diancam akan dimiskinkan, sebagaimana KPK memiskinkan mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo.
"Demi Allah, demi Rasullullah ini pak, istri saya saksinya. (Dikatakan) jangankan jenderal polisi, presiden akan saya tangkap kalau berbuat salah," katanya.

Nah, kata dia, ancaman itu terbukti. Muhtar akhirnya divonis lima tahun penjara atas dua perkara.

Yakni memberikan keterangan palsu dan mengarahkan saksi menyampaikan kesaksian tidak benar di sidang Akil.

"Saya dipenjara lima tahun dengan pasal bukan pasal seorang koruptor. Harusnya pidana umum," kata Muhtar.

Menurut dia, yang berhak menetapkannya sebagai tersangka waktu itu seharusnya majelis hakim di persidangan yang menganggapnya berbohong.

Muhtar pun heran setelah menjalani masa hukum tiga tahun di Lapas Sukamiskin, Bandung, dia kembali ditetapkan sebagai tersangka bersama Akil dengan pasal yang aneh.

"Kalau mau menetapkan saya sebagai tersangka, kenapa tidak dari awal dari tiga tahun lalu. Ini teknik Novel Baswedan supaya saya tetap (bisa) dipenjara selama 20 tahun," paparnya.

Muhtar mengatakan, harusnya dia sudah bisa pulang karena telah menjalani satu per tiga masa hukuman.

Namun, kata Muhtar, KPK berkirim surat ke lapas memberitahu bahwa dia masih ada perkara lain.

"Dua minggu setelah itu mereka menyiarkan ke media saya ditetapkan sebagai tersangka," ujarnya.

Muhtar dijerat pasal 12 huruf c UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 kesatu juncto pasal 65 ayat 1 KUHP.

Muhtar mengaku sampai saat ini belum menerima surat penetapannya sebagai tersangka.

"Hanya berkoar-koar saja mereka di media. Hari ini saya tantang KPK tolong antarkan surat penetapan tersangka saya," tegasnya.

Dia mengingatkan, KPK jangan hanya membicarakan kezaliman terus di media.

"Kasihan istri dan anak-anak saya pak," katanya.

Muhtar menambahkan, upaya pemiskinan KPK kepadanya tidak berhasil. Berdasarkan putusan MA, kata Muhtar, hartanya Rp 35 miliar tidak terbukti terkait perkara Akil.

MA juga menyatakan harta Muhtar tidak disita untuk negara. Namun, Muhtar menyesalkan hingga tiga tahun berjalan hartanya tidak pernah dikembalikan KPK.

"Ke mana kami harus mengadu? Kami sudah kirimkan surat," katanya.

Bahkan, kata dia, sudah memberikan kuasa kepada orang yang dipercaya untuk mengambil harta itu.

"Tapi, orang yang mengambil dihina-hina. 'Ibu dibayar berapa oleh Muhtar Ependy? Ibu perlu tahu bhwa Pak Muhtar akan ditetapkan lagi sebagai tersangka, jadi hartanya tidak dikembalikan'," kata Muhtar menirukan kalimat orang KPK.

Dia menambahkan, saat Ramadan 2016 lalu ada orang yang mengaku utusan dari Johan Budi mendatanginya di Sukamiskin.

Menurut Muhtar, orang tersebut menawarkan karena mau Lebaran dan agar ada tunjangan hari raya, maka harta itu sebaiknya dibagi dua.

"Harta Pak Muhtar bisa kita dikembalikan apabila Pak Muhtar mau tanda tangan harta itu dibagi dua'. Hak jual harus diserahkan ke mereka," katanya.

Namun, Muhtar menolak karena merasa itu harta halal dan bukan dari korupsi.

Pansus kemudian mencecar apa benar yang disebut Muhtar soal utusan Johan Budi. Tanpa ragu, Muhtar berani menjamin bahwa apa yang dikatakannya adalah benar.

"Utusan Johan Budi, namanya lupa saya tapi nomor HP-nya ada di saya. Kalau saya ngarang, dosa pak," ungkapnya.

Menurut dia, utusan itu bukan orang KPK. Tapi, kepada Muhtar mengaku asli orang Yogyarkarta dan Jakarta.

"Ada tiga orang datang, yang dua orang Jakarta," katanya.

Soal ancaman kedua, Muhtar mengaku pernah akan ditembak Novel. "Saksinya istri saya dan satpam dari MoI," kata Muhtar.

Dia menjelaskan, peristiwa itu terjadi pada 2 Juli 2014. Saat itu, Muhtar hendak berangkat menunaikan salat Isya dan tarawih ke musalah dekat MoI.

"Saya diancam akan ditembak Novel karena tidak mau menyaksikan perampasan mobil (Honda) Jazz milik istri saya oleh KPK, dan Novel," ungkap Muhtar.

Meski sudah mengatakan itu bukan mobilnya, KPK tetap menyita kendaraan roda empat tersebut.

Ancaman ketiga, lanjut Muhtar, adalah saat perampasan mobil Toyota Fortuner. Saksinya istri dan ajudan Muhtar.

Dia mengatakan, pernah membawa mobil itu ke kantor KPK. Padahal, itu bukan mobilnya. Melainkan mobil yang dipinjamkan oleh rekannya.

"Padahal itu bukan mobil saya krna mobil saya yang 25 itu sudah diambil. (Fortuner) itu pun ditahan Novel," ujar Muhtar.

Ancaman keempat, Muhtar melanjutkan bahwa Novel akan memenjarakan istrinya.

"Novel berkata istri Pak Muhtar akan dipenjara seperti kami penjarakan istri Romi Herton dan istri Budi Hartono," katanya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrat Nilai Kicauan Yulianis tak Berarti


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler