Boxing Day

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 26 Desember 2021 – 09:45 WIB
Timnas Indonesia. Foto: diambil dari pssiorg

jpnn.com - Sebuah drama di Hari Natal itu bernama ‘’Indonesia vs Singapura’’.

Pertandingan semifinal sepak bola Piala AFF antarnegara di Asia Tenggara, tepat di hari Natal 25 Desember 2021, menyajikan drama 120 menit, yang disaksikan ratusan juta pasang mata dengan dada berdebar-debar.

BACA JUGA: Media Vietnam Tidak Rela Timnas Indonesia Lolos ke Final Piala AFF 2020, Sorot 2 Hal Ini

Sepak bola Eropa mengenal tradisi ‘’Boxing Day’’, yaitu pertandingan sepak bola yang digelar pada Hari Natal 25 Desember sambil membuka kado natal yang dikirim sanak dan saudara. Disebut ‘’boxing’’ bukan karena adu tinju. Tetapi ‘’box’’ artinya kotak hadiah.

Sepak bola Indonesia juga punya tradisi ‘’boxing’’ yang tidak kalah seru, yaitu perpaduan sepak bola dan tinju. Antarpemain saling adu tinju, penonton dan pemain adu tinju di lapangan, dan wasit pun menjadi sasaran tinju pemain dan penonton.

BACA JUGA: Lihat Detik-Detik Nadeo Argawinata Menyelamatkan Indonesia

Boxing Day di Eropa menyajikan pertandingan-pertandingan yang menegangkan karena biasanya menjadi penentu siapa yang menjadi juara pada musim itu. Tim yang sukses memenangi rentetan pertandingan boxing day bisanya akan menjadi favorit juara.

Suporter Timnas Indonesia malam tadi (25/12) merasakan sensasi ketegangan boxing day itu.

BACA JUGA: Omicron Bikin 2 Laga Boxing Day Ditunda, Termasuk Duel Liverpool vs Leeds United

Pertandingan semifinal di National Stadium, Singpura, berlangsung super-menegangkan karena harus dilanjutkan ke babak tambahan 2x15 menit karena keadaan masih deadlock 1-1 saat pertandingan 90 menit berakhir.

Di ujung drama, Indonesia menang dramatis 4-2 dengan total agregat 5-3. Pada leg pertama pertandingan semifinal (22/12) Singapura berbagi angka 1-1 dengan Indonesia.

Dengan kemenangan ini Indonesia maju ke final menantang pemenang antara Vietnam melawan Thailand.

Pertandingan boxing day menjadi tragedi bagi suporter Singapura, karena timnya harus kehilangan tiga pemain yang diusir wasit dengan kartu merah. Dengan hanya delapan pemain yang tersisa di lapangan ternyata Singapura tetap bukan lawan yang mudah ditaklukkan.

Indonesia nyaris kalah. Indonesia nyaris dipermalukan. Di akhir babak pertama Singapura kehilangan satu pemainnya, Safuwan Baharudin, yang diusir wasit karena dua kartu kuning. Indonesia unggul terlebih dahulu 1-0 ketika pertandingan berjalan sebelas menit.

Namun, di akhir babak pertama itu drama terjadi. Singapura bermain hanya dengan sepuluh pemain. Namun, justru satu detik kemudian Singapura bisa menyamakan kedudukan menjadi 1-1.

Wasit meniup peluit akhir babak pertama. Jeda 15 menit menjadi saat yang paling menegangkan. Pasukan Indonesia masuk ke lapangan dan terlihat sangat gugup. Sementara itu, Singapura makin percaya diri meskipun hanya dengan sepuluh pemain.

Singapura betul-betul menunjukkan semangat juang yang membuat gentar. Sepanjang babak kedua justru Singapura yang punya lebih banyak kesempatan untuk mencetak gol kemenangan. Pada menit ke-67 tragedi terjadi lagi bagi Singapura setelah Irfan Fandi diusir wasit dari lapangan.

Namun, tujuh menit kemudian tragedi mengancam Indonesia. Dengan hanya sembilan pemain Singapura malah bisa mencetak gol di menit ke-87. Sisa 15 menit membuat kubu Indonesia panik. Namun, kemudian Indonesia lega karena Arhan Pratama mencetak gol penyeimbang pada menit ke-87.

Sisa tiga menit menjadi neraka. Pada detik terakhir Indonesia kena hukuman penalti. Andai saja. Ya, andai saja kiper Indonesia Nadeo Argawinata tidak bisa menepis tendangan ke sudut kiri gawangnya itu, maka nasib Indonesia akan terkubur.

Indonesia akan menanggung malu seumur hidup. Untunglah Nadeo bisa membaca arah bola dan menepisnya.

Pertandingan dilanjutkan 2x15 menit. Indonesia bernapas lega karena bisa mencetak dua gol tambahan. Singapura makin didera nestapa karena kiper Hasan Sunny diusir dari lapangan. Delapan pemain melawan sebelas. Namun, Singapura nyaris mempermalukan Indonesia.

Dengan sembilan pemain di lapangan, Singapura masih mengancam Indonesia. Baru setelah pemain ketiga Singapura diusir, gawang Indonesia aman. Sungguh drama yang mendebarkan.

Kalah tragis di semifinal atau final, atau di babak apa pun dalam sepakbola, adalah sesuatu hal yang biasa. Namun, kalah dalam semifinal dari tim yang hanya punya delapan pemain tersisa di lapangan adalah kekalahan yang memalukan.

Apalagi kalau ternyata tim lawan tidak benar-benar superior. Andai kekalahan terjadi Indonesia akan menanggung trauma nasional yang terbawa seumur hidup. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan belasan tahun, untuk menghapus trauma itu.

Tim sepak bola Inggris membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghapus trauma selalu kalah dari Jerman di babak penting turnamen internasional. Baru pada semifinal Euro 2020 trauma Inggris itu bisa dihapus dengan mengalahkan Jerman di Stadion Wembley.

Inggris kalah dari Italia di final, tetapi trauma Jerman sudah dihapuskan.

Kalau saja malam tadi Indonesia kalah dari Singapura maka trauma itu akan menjadi hantu sampai bertahun-tahun ke depan. Singapura akan menjadi kuda hitam selamanya. Indonesia akan dipermalukan oleh negara kecil yang penduduknya hanya satu kabupaten kecil.

Coba bayangkan, kapan terakhir kali ada pertandingan semifinal sepak bola internasional dengan tiga pemain dalam satu tim diusir wasit. Entahlah, kapan itu. Yang jelas Indonesia selamat dari trauma. Indonesia selamat dari kutukan Singapura.

Meski kalah, pertandingan semifinal ini akan menjadi kenangan yang tidak bakal terlupakan oleh Singapura. Seumur hidup mereka tidak akan lupa.

Tragedi Boxing Day 2021 ini tidak akan menjadi aib bagi Singapura, sebaliknya akan menjadi semangat yang bakal menjadi kekuatan Singapura setiap kali menghadapi Indonesia di masa datang.

Ibarat pertempuran bersejarah 10 November, Indonesia memang kalah karena jumlah korban jauh lebih besar dibanding tentara lawan. Namun, momen 10 November adalah momen heroik yang memberi spirit perjuangan besar bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi kekuatan lawan sebesar apa pun.

Dalam sejarah pertempuran Perang Dunia Kedua ada perang Galipolli yang dialami tentara Australia di Turki. Pasukan Australia kalah dengan korban besar. Namun, spirit Galipolli hidup terus dan diperingati setiap tahun sebagai bukti kepahlawanan dan kehebatan tentara-tentara Australia dalam kancah perang dunia.

Mungkin seperti itulah yang dialami Singapura. Kekalahan di semifinal ini akan menghasilkan spirit yang akan tetap hidup selama-lamanya. Kenangan ini akan dicatat oleh sejarah sepak bola Singapura dan menjadi kisah heroik yang bisa menjadi mitos yang hidup terus sepanjang masa.

Seperti kekalahan Indonesia dalam kancah sepak bola Olimpiade Melbourne 1956, ketika melawan kesebelasan Uni Soviet yang jauh lebih superior. Indonesia bisa menahan seri 0-0, tetapi pada pertandingan ulangan Indonesia kehabisan tenaga dan dilanda kelelahan yang tidak tertahankan. Indonesia kalah telak 0-4. Kenangan heroik itu tetap hidup sampai sekarang.

Keberhasilan menahan Soviet tetap dikenang sampai sekarang dan sampai kapan pun. Sementara itu, kekalahan pada tanding ulang akan dilupakan, dan kalau toh diceritakan, akan tetap menjadi momen heroik yang membanggakan.

Seperti itulah yang dialami Singapura. Kalah dengan sangat terhormat. Kalah dengan gagah perkasa setelah memberikan perlawanan sampai titik keringat penghabisan.

Kalah dengan kepala tegak, bukan dengan kepala tertunduk. Beberapa pemain Singapura menangis tertelungkup di lapangan. Tangis penyesalan itu menjadi penyesalan, tetapi sekaligus akan menjadi semacam dendam yang harus dibalas.

Di masa-masa mendatang Singapura akan menjadi lawan yang tangguh bagi Indonesia. Kenangan semifinal ini akan terbawa sampai kapan pun. Setiap kali Singapura bertemu Indonesia dalam berbagai ajang, semangat semifinal ini akan terus terbawa. Singapura akan tetap yakin bahwa mereka bisa mengalahkan Indonesia.

Dalam tradisi sepak bola Asia Tenggara, pertandingan Indonesia melawan Malaysia menjadi ‘’Derbi Serumpun’’ yang terbesar yang sarat gengsi dan sejarah. Namun, sejak semifinal AFF 2020 ini pertandingan Indonesia melawan Singapura akan selalu menjadi pertandingan yang menegangkan karena penuh kenangan sejarah.

Indonesia juga mencatat sejarah. Lolos ke final adalah capaian yang membanggakan. Pasukan muda Indonesia masih mentah, tetapi semangat juangnya sangat membanggakan.

Dalam dunia sepak bola dikenal adagium ‘’you can not win with kids’’ Anda tidak akan pernah bisa menang dengan pemain anak-anak. Alex Ferguson pelatih Manchester United dilecehkan karena menurunkan ‘’anak-anak kecil’’ di turnamen Piala Inggris.

Namun, ternyata hasilnya berbeda. Anak-anak Ferguson menggegerkan dunia sepak bola Inggris, Eropa, dan seluruh dunia, bahwa we win with kids. Kami menang dengan pemain anak-anak. Mereka adalah ‘’The Class of 92’’ David Beckham dan kawan-kawan yang akhirnya menjadi ‘’Raja Eropa’’.

Pasukan Indonesia adalah pasukan belia. Anak-anak umur belasan dengan wajah yang masih polos dan lugu. Anak-anak yang baru kali pertama punya cap pemain nasional. Hal itu terlihat merugikan pada pertandingan melawan Singapura.

Kiper Singapura, Hasan Sunny, berusia 37 tahun dan sudah lima belas tahun membela timnas. Indonesia dipimpin oleh kapten Asnawi Mangkualam yang umurnya baru 21 tahun.

Ketika posisi 'draw' setelah Singpaura mencuri gol di ujung babak pertama, Indonesia kelimpungan kehilangan pegangan. Tidak ada pemain senior yang menjadi panutan. Anak-anak itu terlihat panik seperti anak ayam kehilangan induk.

Namun, sejarah menyelamatkan Indonesia. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Indonesia akan bermain di final. Menang atau kalah adalah hal yang biasa. Namun, kalau Indonesia menang dan juara, itu luar biasa. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler