jpnn.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga kependidikan yang profesional, pengelolaan obat dalam penyelenggaran jaminan kesehatan nasional (JKN), serta pelayanan perizinan terpadu satu pintu (PTSP) belum sepenuhnya efektif.
Selain itu masih dijumpai permasalahan signifikan penyelenggaraan administrasi kependudukan (adminduk).
BACA JUGA: Tak Patuh pada UU, BPK: Negara Rugi Triliunan Rupiah
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakn empat hasil pemeriksaan itu menjadi bagian dalam 4430 temuan yang memuat 5852 permasalahan dalam pemeriksaan BPK di semester II tahun 2017.
"Terdapat 1082 permasalahan kelemahan sistem pengendali intern, 1950 ketidakpatuhan senilai Rp 10,56 triliun, serta 2820 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 2,67 triliun," kata Moermahadi saat menyerahkan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II tahun 2017 di rapat paripurna DPR
Dia menjelaskan, selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara, daerah atau perusahaan sebesar Rp 65, 91 miliar atau (0,62 persen).
BACA JUGA: Heran, Banyak Lembaga Pengawas tapi Pejabat Tetap Korupsi
Menurut Moermahadi, empat hal itu itu merupakan pemeriksaan kinerja tematik yang dilakukan BPK semester II tahun 2017.
Dia menjelaskan dari pemeriksaan ditemukan bahwa pemerintah pusat dan daerah sepenuhnya efektif dalam pemenuhan kebutuhan guru terkait aspek kualifikasi, sertifikasi, kompetensi, kesejahteraan, database, dan distribusi.
BACA JUGA: BPK Beri Edukasi dan Sosialisasi Ilmu Audit Pemerintahan
"Guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah belum memenuhi kualifikasi yang disyaratkan," ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, ada juga temuan bahwa upaya Kemendikbud dan pemda belum optimal dalam kualifikasi akademik maupun kompetensi secara merata untuk memenuhi kebutuhan guru.
"Juga penanganan guru honorer yang meliputi kualifikasi, sertifikasi dan kesejahteraannya," paparnya.
Pada semester II 2017, BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan obat dalam penyelenggaraan JKN belum efektif dilakukan Kemenkes, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Ciptomangunkusumo (RSUPN-CM), RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, Badan Pengawas Obat dan Makaman, pemda dan BPJS Kesehatan.
Dia memaparkan permasalahan itu antara lain misalnya pengadaan obat oleh RSUPN-CM belum memadai.
Pengadaan obat melalui mekanisme special acces scheme di RSPJPD Harapan Kita belum berpedoman pada keputusan menteri kesehatan terkait aturan jenis obat khusus serta pasien yang berhak menerima obat.
"Selain itu, BPJS Kesehatan belum optimal bekerja sama dengan apotek untuk menjamin kebutuhan obat pasien rujuk balik," paparnya.
Dalam penyelenggaraan adminduk, BPK menyimpulkan permasalahan signifikan meliputi pendaftaran dan pencatatan sipil, pengelolaan data kependudukan, serta pemanfaatan data pada pemerintah pusat dan daerah yang memengaruhi efektivitas adminduk.
Permasalahan ini antara lain bahwa pemda belum mendorong penduduk aktif melaporkan peristiwa kependudukan. Pemda belum melakukan verifikasi dan validasi keakuratan data permohonan pendaftaran penduduk.
"Serta belum menindaklanjuti data anomali dan ganda setiap semester dan melaporkannya ke Kemendagri," ungkap dia.
Sedangkan terkait PTSP yang mendukung kemudahan bisnis dan investasi, BPK menyatakan masih adanya Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang belum memiliki standar pelayanan publik untuk mendukung pelayanan yang mudah, murah, cepat dan tepat.
"Selain itu, kegiatan pelayanan perizinan pada 14 DTMPTSP belum dijalankan sesuai regulasi yang berlaku," katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bareskrim Melibatkan KPK-BPK Usut Korupsi Kapal di Kemenhub
Redaktur & Reporter : Boy