JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Golkar, Aditya Anugerah Moha meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan untuk lebih giat menyosialisasikan zat yang dikategorikan sebagai narkoba. Hal itu ditegaskan Aditya Anugerah menanggapi didapatinya zat Catinone pada penggerebekan Badan Narkotika Nasional (BNN) di rumah artis Raffi Ahmad, Minggu (27/1) lalu.
"Bagi masyarakat awam, zat Catinone ini dianggap barang baru yang masuk ke Indonesia. Padahal zat itu sudah lama, kabarnya BPOM sudah melakukan sosialisasi sejak tahun 2005. Namun, hanya BPOM saja yang tahu," kata Aditya Anugerah Moha kepada wartawan usai Rapat kerja komisi IX bersama Deputi bidang pengawasan produk terapetik dan Napza BPOM RI, Rabu (30/1).
Aditya juga mempertanyakan mengapa barang yang dianggap haram tersebut masih bisa masuk ke Indonesia. "Katanya sudah mengetahui, tapi masih terjadi. Artinya sosialisasi BPOM yang tidak jalan," tambahnya.
Ditambahkan, Catinone terkasuk golongan satu narkoba. Artinya mempunyai efek seperti sikotropika yang berdampak kalau di konsumsi berlebihan menyebabkan kematian. Namun, detail zat tersebut tidak jelas senyawanya dan belum ada tercantum dalam golongan I pada pembahasan UU.
Aditya menyatakan, perlu ada pembahasan dalam rapat gabungan antara bersama Komisi IX, Komisi III DPR, BNN dan Polri. "Kita akan bicarakan dalam rapat Gabungan lagi," tukasnya.
Sementara itu, Deputi Pengawasan Produk Terpetik dan Napza Kementerian Kesehatan, Retno Tyas Utama membatah pihaknya lalai.
“Catinone ini bukan hal baru. Karena kami sudah memasukkan molekul intinya ke dalam UU. Mungkin baru terjadi, ketika ada kasus ini,” jelasnya.
Retno menambahkan, BPOM sudah membuat pagar supaya bahan yang potenisial untuk ekstasi dan catinone dibatasi peredarannya sejak tahun 2005. "Kami bukan kecolongan,” tandasnya.
Ia mengakui, bahwa sosialisasi yang dilakukan tidak pada zat catenone langsung, tetapi pada derivat yang bisa menjadikan zat itu ada. "Semua pelaku indutri yang memimpor narkotik, fisotropik dan kursor harus melalui mekanisme ini. Kalau diperlukan 10 tapi digunakan 9 maka kurangnya, kita cari yang satu ini kemana,” pungkasnya.(fas/jpnn)
"Bagi masyarakat awam, zat Catinone ini dianggap barang baru yang masuk ke Indonesia. Padahal zat itu sudah lama, kabarnya BPOM sudah melakukan sosialisasi sejak tahun 2005. Namun, hanya BPOM saja yang tahu," kata Aditya Anugerah Moha kepada wartawan usai Rapat kerja komisi IX bersama Deputi bidang pengawasan produk terapetik dan Napza BPOM RI, Rabu (30/1).
Aditya juga mempertanyakan mengapa barang yang dianggap haram tersebut masih bisa masuk ke Indonesia. "Katanya sudah mengetahui, tapi masih terjadi. Artinya sosialisasi BPOM yang tidak jalan," tambahnya.
Ditambahkan, Catinone terkasuk golongan satu narkoba. Artinya mempunyai efek seperti sikotropika yang berdampak kalau di konsumsi berlebihan menyebabkan kematian. Namun, detail zat tersebut tidak jelas senyawanya dan belum ada tercantum dalam golongan I pada pembahasan UU.
Aditya menyatakan, perlu ada pembahasan dalam rapat gabungan antara bersama Komisi IX, Komisi III DPR, BNN dan Polri. "Kita akan bicarakan dalam rapat Gabungan lagi," tukasnya.
Sementara itu, Deputi Pengawasan Produk Terpetik dan Napza Kementerian Kesehatan, Retno Tyas Utama membatah pihaknya lalai.
“Catinone ini bukan hal baru. Karena kami sudah memasukkan molekul intinya ke dalam UU. Mungkin baru terjadi, ketika ada kasus ini,” jelasnya.
Retno menambahkan, BPOM sudah membuat pagar supaya bahan yang potenisial untuk ekstasi dan catinone dibatasi peredarannya sejak tahun 2005. "Kami bukan kecolongan,” tandasnya.
Ia mengakui, bahwa sosialisasi yang dilakukan tidak pada zat catenone langsung, tetapi pada derivat yang bisa menjadikan zat itu ada. "Semua pelaku indutri yang memimpor narkotik, fisotropik dan kursor harus melalui mekanisme ini. Kalau diperlukan 10 tapi digunakan 9 maka kurangnya, kita cari yang satu ini kemana,” pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kunker Empat Negara, Presiden SBY Sempatkan Umrah
Redaktur : Tim Redaksi