BPS: September 2017, Bahan Makanan Deflasi 0,53 Persen

Senin, 02 Oktober 2017 – 18:35 WIB
Ilustrasi makanan. Foto: Jawa Pos/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto menyebutkan pada September 2017 ini terjadi deflasi atau penurunan harga untuk kelompok bahan makanan sebesar 0,53 persen. Deflasi tersebut menunjukkan penurunan indeks dari 140,06 pada Agustus 2017 menjadi 139,32 pada September 2017. Tercatat, pada Agustus 2017, kelompok bahan makanan juga mengalami deflasi yakni 0,67 persen.

“Pada kelompok bahan makanan September 2017, terdapat 5 subkelompok mengalami deflasi. Subkelompok yang deflasi tertinggi yaitu bumbu-bumbuan 2,91 persen dan terendah subkelompok buah-buahan 0,39 persen,” demikian ungkapnya dalam rilis resmi BPS di Jakarta, Senin (2/10/2017).

BACA JUGA: Mentan Pimpin Indonesia Pada Pertemuan Tingkat ASEAN

Menurut Suhariyanto, kelompok bahan makanan pada September 2017 ini memberikan andil atau sumbangan deflasi sebesar 0,11 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil atau sumbangan deflasi tersebut yani bawang merah sebesar 0,04 persen, daging ayam ras dan bawang putih masing-masing sebesar 0,03.

Terkait perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) pada September 2017, Suhariyanto menyebutkan Nilai Tukar Petani sebesar 102,22 atau naik 0,61 persen dari bulan Agustus 2017 yang hanya 101,60.

BACA JUGA: Menteri Amran Ajak Pemuda Gempita Bekerja di Industri Tebu

“Pada September 2017 ini pun terjadi kenaikan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) sebesar 0,27 persen,” tuturnya.

Suhariyanto menjelaskan, NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.

BACA JUGA: Genjot Swasembada Gula, 10 Pabrik Dibangun

NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, maka secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani.

NTUP sendiri merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima oleh petani dengan indeks harga yang dibayar oleh petani di mana komponen yang harus dibayar hanya meliputi biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM). “Secara konseptual, NTUP mengukur seberapa cepat indeks harga yang diterima oleh petani dibandingkan dengan indeks harga BPPBM,” pungkasnya.(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Upaya Kementan Wujudkan Swasembada Bawang Merah


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Kementan  

Terpopuler