Brazil

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 08 Juli 2021 – 10:52 WIB
Kuburan orang yang meninggal karena Covid-19 di pemakaman Parque Taruma di Manaus, Brasil. Foto: REUTERS/Bruno Kelly

jpnn.com - Seluruh dunia sedang terserang pandemi sepak bola. Lupakan pandemi Covid 19.

Dunia seperti tersihir. Selama sebulan terakhir seolah tidak memedulikan lagi ganasnya penularan.

BACA JUGA: Ngeri! Indonesia Duduk di Posisi Ketiga Dunia Kasus Baru Covid-19

Seolah sudah tidak perlu lagi protokol kesehatan. Seolah krisis pandemi sudah lama berlalu.

Dua benua terbesar di dunia, Benua Biru Eropa dan Benua Amerika, bersama-sama menyelenggarakan perhelatan sepak bola terbesar dari paling sarat gengsi.

BACA JUGA: Kombinasi Apik Neymar dan Lucas Paqueta Antarkan Brasil Menuju Final Copa America 2021

Eropa menyelenggarakan Euro 2020 dan Amerika menyelenggarakan Copa America 2021.

Dua perhelatan besar itu menyedot perhatian seluruh dunia. Dan minggu akhir pekan ini dua perhelatan besar itu akan memainkan partai final.

BACA JUGA: Situasi di Brazil Makin Parah, COVID-19 Tak Henti-Henti Pecahkan Rekor

Di Stadion Wembley, London, tuan rumah Inggris akan bermain melawan Italia.

Dini hari (8/6) tadi Inggris lolos ke partai final setelah mengalahkan Denmark 2-1. Inggris akan menghadapi Italia yang sehari sebelumnya lolos ke final mengalahkan Spanyol 4-2 melalui adu penalti.

Di benua Amerika, kesebelasan Brazil maju ke pertandingan final melawan musuh bebuyutannya Argentina.

Pertandingan akan diselenggarakan di Stadion Maracana di Brasilia, ibu kota Brazil.

Dua pertandingan besar itu pasti akan menarik ratusan ribu orang untuk berkerumun di stadion dan sekitarnya. Jutaan lainnya akan berkerumun untuk menonton bareng di kafe, pub, dan tempat-tempat hiburan.

Ancaman varian Delta yang ganas sama sekali tidak menyiutkan nyali para suporter sepak bola itu. Aturan wajib vaksinasi diterapkan bagi penonton yang masuk ke stadion.

Namun, jutaan orang yang bergerombol di luar stadion tentu tidak ada keharusan bervaksinasi. Prokes jaga jarak tidak terlihat dilakukan.

Memakai masker juga menjadi pemandangan yang langka di stadion.

Para ahli epidemiologi sudah sepakat bahwa peningkatan penularan varian Delta pada sebulan terakhir ini bukan diakibatkan oleh kerumunan.

Penyebab utamanya adalah varian baru ini bisa menular dengan sangat cepat, meskipun hanya melalui kontak ringan dan singkat.

Seorang selebritas Indonesia hari ini (8/6) mengumumkan di akun medsosnya bahwa ia positif kejangkitan virus, padahal ia praktis tidak keluar rumah selama sebulan.

Ia tidak menemui teman atau membuat pertunjukan selama sebulan terakhir. Kalau terpaksa harus keluar, dia menerapkan prokes ketat dan menggunakan double masking.

Toh sang artis masih tertulari juga. Dia mengira virus terbawa oleh anggota keluarganya yang masih beberapa kali keluar rumah untuk berbelanja memenuhi kebutuhan harian. Itu pun dilakukan dengan protokol ketat dan menghindari kerumunan.

Kasus ini sekadar ilustrasi bagaimana ganasnya penularan varian baru ini.

Kasus ini sekaligus membantah anggapan bahwa ledakan yang dialami di Indonesia terjadi gegara kerumunan di saat momen Lebaran.

Tanpa momen Lebaran pun ledakan ini bisa terjadi, karena varian baru menular dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tingkat vaksinasi di Indonesia yang masih belum mencukupi juga menjadi penyebab ledakan penularan sebulan terakhir.

Indonesia menghadapi krisis kesehatan mirip dengan yang terjadi di India Mei lalu.

Rumah sakit penuh, pasien telantar tidak terawat bergeletakan di tempat terbuka, dan oksigen yang esensial sebagai penyelamat nyawa menjadi barang langka.

Jenazah-jenazah berjejer-jejer di pinggir jalan menunggu antrean untuk dikremasi. Pemandangan itu terasa mengerikan dan menyesakkan dada.

Dan ternyata, hari-hari ini pemandangan itu terjadi di depan mata kita sendiri. Tidak percaya, tetapi nyata, sad but true, seperti mimpi, tetapi menjadi kenyataan.

Ledakan di India dikaitkan dengan even keagamaan tahunan mandi di Sungai Gangga yang diikuti oleh jutaan umat Hindu.

Ketika ledakan yang sama terjadi di Indonesia hal itu juga dikaitkan dengan berbagai even keagamaan.

Hal menimbulkan iritasi di kalangan pemuka agama Islam di Indonesia, seolah-olah Islam disalahkan sebagai penyebab ledakan penyakit.

Karena itu, ketika pemerintah menerapkan aturan darurat, yang antara lain menutup sementara tempat ibadah, perlawanan dari kalangan pemimpin agama makin sengit.

Para ahli epidemiologi sudah mengklarifikasi hal itu. Kerumunan memang menjadi faktor. Namun, ledakan utama terjadi karena varian baru ini jauh lebih ganas dari varian mana pun yang sebelumnya pernah muncul. Dan, ternyata varian ini sudah menyebar ke hampir 100 negara di seluruh dunia.

Melihat perkembangan sebulan terakhir, sangat mungkin ledakan besar akan terjadi di Eropa dan Amerika. Perhelatan sepak bola di kedua benua itu bisa jadi menjadi pemicu tambahan yang mempercepat ledakan.

Otoritas kesehatan dunia WHO sudah mengingatkan bahaya ledakan itu selama perhelatan Euro 2020.

Namun, peringatan itu tidak mempan untuk menahan suporter supaya tidak datang ke stadion.

Ini adalah pesta besar para pencinta sepak bola yang sudah puasa selama dua tahun tidak menonton pertandingan ke stadion.

Dan, ketika kesempatan dibuka untuk boleh menonton ke stadion, euforia itu pun meledak tidak bisa ditahan lagi.

Seperti Kotak Pandora yang sudah terbuka, seluruh dunia tinggal menunggu kutukan apa yang bakal terjadi.

Di Copa America 2021 pertandingan final akan dilaksanakan di Brazil.

Negara ini sudah sejak awal kasus pandemi menjadi salah satu black spot, lubang hitam dunia, karena penanganannya yang sembarangan.

Presiden Brazil Jair Bolsonaro adalah presiden berhaluan kanan yang sejak awal selalu menyangkal keberadaan pandemi. Tak heran kalau Brazil kemudian menjadi salah satu negara dengan korban terparah di dunia.

Bolsonaro disebut sebagai "Donald Trump Tropis", merujuk kepada mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Bolsonaro mendapat julukan itu karena cara dia menghadapi pandemi dengan gaya koboi, setali tiga uang dengan Trump.

Dua orang itu menolak kebijakan prokes, dan secara pribadi tidak pernah mau memakai masker.

Dua orang itu juga gencar menyuarakan teori konspirasi bahwa pandemi ini adalah penyakit buatan oleh negara tertentu.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga sama saja dengan Trump dan Bolsonaro.

Tiga orang pemimpin ini layak disebut sebagai tiga serangkai "The Three Musketeers", yang sama-sama tidak percaya bahwa pandemi adalah ancaman berbahaya bagi umat manusia.

Johnson adalah sekutu Trump paling terpercaya di Eropa. Meski tidak sevulgar Trump, Johnson juga percaya bahwa pandemi adalah konspirasi.

Uniknya, Trump, Johnson, dan Bolsonaro sama-sama pernah terjangkiti dan kemudian berhasil disembuhkan.

Namun, hal itu tidak membuat mereka percaya bahwa penyakit ini berbahaya. Bolsonaro bahkan memecat menteri kesehatan yang tidak sejalan dengan pandangannya. Bolsonaro malah dituduh secara sengaja memperlambat dan menolak program vaksinasi.

Trump sudah dihukum oleh rakyat Amerika yang tidak memilihnya lagi dalam pilpres 2019. Johnson mungkin akan menghadapi krisis politik, kalau terjadi ledakan penularan pasca-Euro 2020.

Bolsonaro menghadapi demonstrasi besar yang menuntutnya mundur Juni lalu. Kalau Copa America membuahkan ledakan penularan lagi, posisi politik Bolsonaro dalam bahaya.

Krisis pandemi, yang ditandai oleh ledakan penularan dan kolapsnya pelayanan kesehatan, telah menimbulkan krisis politik di beberapa negara. Indonesia, bisa saja, akan menghadapi krisis serupa. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler