jpnn.com - Sabtu malam, 1 Juni 2019. Ribuan orang memadati jalan menuju kediaman Presiden RI Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kali ini suasananya berbeda. Tidak ada yel-yel diteriakkan. Tidak ada kegairahan. Semua bersedih.
BACA JUGA: Bacaan Surah Yasin dari Kapolri dan Kenangan tentang Bu Ani
Ribuan karangan bunga berbaris hingga hampir satu kilometer memanjang ke luar dari kompleks Puri Cikeas. Padahal malam itu hanya beberapa hari menjelang Lebaran, di mana biasanya warga ibu kota dan sekitarnya memilih mudik ke kampung halaman.
Ibu Ani Yudhoyono wafat!
BACA JUGA: Momen Pak SBY dan Bu Mega Bersalaman di TMP Kalibata
Itulah kabar yang mengubah suasana Cikeas malam itu menjadi murung. Baca juga: SBY: Good Bye, Semoga Engkau Hidup Tenang
Sebelumnya, sejak Sabtu pagi hampir semua media nasional melaporkan breaking news tentang kabar ini. Meski bukan lagi berstatus ibu negara, putri Sarwo Edi Wibowo itu selalu punya tempat di hati masyarakat Indonesia.
BACA JUGA: Megawati Hadiri Pemakaman Bu Ani, Prabowo Tak Terlihat
Saya tidak tahu harus menulis apa dalam rangka mengenang beliau. Merupakan sebuah kehormatan ketika JPNN.Com meminta saya mengisahkan kenangan selama bekerja dengan beliau di lingkungan Istana Kepresidenan.
Tentu banyak orang yang punya kisah, kenangan dan pengalaman dengan Bu Ani. Saya juga tidak merasa dekat secara personal, karena hanya sebagai staf yang membantu beliau. Dari sisi itulah saya mencoba menukil beberpa memori.
Tahun 2005 pertama kali saya bergabung dengan Sekretariat Sespri Presiden sebagai profesional. Tugas utama saya dan tim adalah melakukan analisis terhadap berbagai isu (opini) yang berkembang, serta menyusun rekomendasi untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Memasuki periode kedua pemerintahan Presiden SBY pada 2009-2014, pos saya bergeser ke Kantor Staf Khusus Presiden. Tugasnya tidak jauh dari komunikasi massa.
Namun, kali ini ada satu tugas tambahan: membantu menyusun pidato (speechwriter) bagi Bu Ani selaku first lady. Meski bangga dipercaya menyusun pidato first lady, awalnya saya sempat ragu apakah bisa perform di tugas ini. Pasalnya, latar belakang saya dari political science, sangat berbeda dengan domain ibu negara yang lebih banyak mengelola isu kesejahteraan, pendidikan, sosial, kesehatan dan perempuan.
Namun, di situlah saya belajar banyak dari Bu Ani. Secara umum saya bisa gambarkan sosok Ibu Ani sebagai pribadi yang detail.
Tentu banyak sisi lainnya sebagaimana dikupas banyak pihak. Sekali lagi, saya hanya menyoroti apa yang relevan dengan pekerjaan saya dalam membantu beliau.
Perihal kedetailan beliau, pernah suatu waktu pada pukul 01.00 dini hari beliau menelepon saya (melalui ajudan) untuk mengoreksi satu kalimat yang menurutnya ambigu. Itu ritual rutin Bu Ani jika besoknya akan mengadiri suatu acara: memastikan semua on the track, termasuk pidato.
Mundur sedikit ke belakang, setiap penyusunan pidato, saya diberikan beberapa lembar kertas berisi tulisan tangan Ibu Ani. Notes berisi tema yang dikehendaki beliau, sistematika dan alur speech, beberapa data yang harus dimasukkan, dan istilah-istilah yang akan ‘di-mention’ secara khusus.
Dengan kata lain, sejatinya notes tersebut sudah berisi pidato itu sendiri. Saya hanya merapikan sistematika, alur dan tata bahasanya.
Tak hanya pidato di dalam negeri, bahkan ketika di mancanegara pun beliau tetap ‘konsisten’ dengan detail tersebut. Seperti saat menghadiri KTT APEC di Vladivostok, Rusia, 2012.
Selain KTT sebagai panggung utama pemimpin dari berbagai negara, para first lady juga bertukar pikiran dalam side events selama summit berlangsung. Indonesia menawarkan gagasan Indonesia Sejahtera dengan lima pilarnya : masing-masing Indonesia Pintar, Indonesia Hijau, Indonesia Sehat, Indonesia Kreatif dan Indonesia Peduli.
Singkat cerita, ada satu sesi di mana saya berinisiatif mengganti istilah Rumah Pintar (Rumpin) -turunan program Indonesia Pintar- dengan kata dalam bahasa Inggris tanpa menyertakan istilahnya dalam bahasa Indonesia. Toh pidato para first lady pada forum tersebut juga dalam bahasa Inggris.
Saya pikir karena disampaikan dengan bahasa internasional itulah maka istilah Rumpin, Kapin dan Mopin tidak perlu dikutip. Wong audience-nya bule, pikir saya.
Namun saya ditegur Ibu Ani agar memasukkan singkatan-singkatan tersebut. Bukan hanya untuk mengenalkan bahasa Indonesia di forum internasional, namun juga memperkuat branding produk itu sendiri.
Di situlah saya lihat beliau bertindak selaku professional marketer untuk bagaimana menaikkan nama Indonesia di dunia. Istilah lainnya adalah soft power diplomacy.
Di luar urusan pekerjaan, Bu Ani sangat berkesan bagi keluarga kami. Beliau dalam beberapa kesempatan beliau kerap memanggil nama saya dan istri jika melihat meskipun kami bukan siap-siapa.
Tentu ini bukan pencitraan karena saat itu tidak ada kamera. Ini tentang kebiasaan dan pendidikan di keluarga. Tentang bagaimana menghargai sesama.
Di banyak momen -yang saya ingat- beliau selalu mengulang pentingnya pendidikan di keluarga, di mana pun. Ada pesan beliau bahwa keluargalah yang menjadi fondasi dari bangunan generasi dan peradaban.
Jika fondasi keluarga lembek, maka bangunan di atasnya akan mudah retak. Begitu juga sebaliknya. Baca juga: Ibu Ani
Januari 2014. Saya dan istri dikaruniai keturunan setelah menunggu hampir 8 tahun. Tak terbayang betapa bahagianya kami.
Beberapa tahun sebelumnya Bu Ani pernah membesarkan hati saya untuk tidak putus asa dan selalu berdoa kepada Allah SWT agar lekas ikaruniai momongan. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan terima kasih ke Ibu Negara RI itu pula saya memberanikan diri ngerepotin Bu Ani agar sudi mencarikan nama tengah untuk anak saya.
Teknisnya, saat itu saya kirim SMS ke beliau. Isi SMS itu adalah nama depan dan belakang anak saya beserta artinya.
Semula saya tidak yakin beliau punya waktu memikirkan hal-hal kecil seperti ini. Sambai akhirnya sebuah kejutan datang ke kami saat staf beliau mengirimkan notes. Kali ini bukan notes pidato, melainkan tiga pilihan nama tengah untuk anak saya.
Di tengah kegembiraan, kami bertanya dalam hati, kok dikasih tiga nama, kenapa tidak satu saja biar langsung kami ambil?
Saat ada kesempatan bertemu, saya ‘protes’ ke beliau tentang tiga alternatif nama tersebut. Namun, sebuah jawaban berkelas -sangat bijak- yang saya dapatkan.
“Mas Zaenal, nama anak sepenuhnya hak orang tuanya. Jadi saya hanya memberi usulan tiga alternatif itu, untuk Mas dan istri pilih. Silakan didiskusikan ya,” begitulah respons Bu Ani.
Saya terdiam sesaat. Sebuah pembelajaran hidup yang penting bahwa meski seorang bangsawan sekalipun harus menghormati hak dan kewajiban sesama. Dalam hal ini, meski beliau istri presiden, namun ia tidak mau mengintervensi dan hanya memberikan pilihan bagi kami untuk memberi nama anak.
Baca juga: Momen Pak SBY dan Bu Mega Bersalaman di TMP Kalibata
Hari ini dan seterusnya kita tidak akan melihat lagi Bu Ani. Beliau telah berpulang setelah mencoba bertahan dari ujian blood cancer.
Selama Bu Ani dirawat di National University Hospital (NUH) Singapura, tak ada kesedihan berlebih yang beliau perlihatkan. Justru ia kerap ‘tampil’ apa adanya melalui akunnya di Instagram untuk menyapa netizen dan mencoba terus berbahagia.
Momen Bu Ani membentangkan tangan di kursi roda yang didorong Pak SBY seolah menjadi sinyal kesembuhan beliau. Lepas.
Namun Tuhan berkehendak lain. Ibu Ani dipanggil di bulan suci Ramadan yang penuh keistimewaan. Beliau pergi untuk selamanya.
Kepak Sayap Putri Pajurit itu terbang bebas. Semoga Allah menyiapkan rencana terbaik bagi beliau: husnulkhatimah. Selamat jalan, Ibu Ani. Namamu akan selalu dikenang.(***)
Argo Muria, 2 Juni 2019
*Penulis adalah speechwriter Ibu Negara RI 2009-2014, kini sebagai direktur eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC).
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lepas Bu Ani di TMP Kalibata, Jokowi: Indonesia Kehilangan Tokoh Wanita Terbaik
Redaktur : Tim Redaksi