Dari pasal-pasal tersebut banyak meniru ketentuan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial Nomor 18 tahun 2011. "RUU itu sangat mirip, karena DPR hanya mengganti kata "hakim" dengan kata "jaksa". Percuma menghabiskan uang negara untuk merancang undang-undang tersebut kalau anggota dewan tinggal meng'copy-paste' dari undang-undang yang sudah ada," kata Peneliti MaPPI FHUI Choky Risda Ramadhan dalam diskusi di Jakarta Pusat, Rabu (1/8).
Salah satunya yang ditiru adalah pasal 37 huruf E tentang Komisi Kejaksaan yang bisa meminta bantuan penegak hukum untuk penyadapan dan merekam. Pasal ini sama dengan pasal 20 huruf A pada UU KY. Di situ terlihat jelas hanya mengganti kata hakim dengan kata jaksa.
Selain meniru Undang-Undang Komisi Yudisial, DPR juga menyadur isi kode etik jaksa yang tertuang dalam Peraturan Jaksa nomor PER-067/A/JA/07/2007. Hal ini mengakibatkan ada dualisme aturan yang mengatur tentang jaksa. Salah satunya yang disadur DPR RI dari Kode Etik yaitu Pasal 4 mengenai larangan bagi jaksa untuk menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi, keluarga atau yang mempunyai pekerjaan, partai atau memiliki nilai ekonomis.
"Tidak ada perubahan sedikit pun dalam kalimat-kalimat dari rancangan yang dibuat. Ini kan menunjukkan betapa malasnya mereka untuk berpikir membuat RUU," sambung Choky.
MaPPI meminta DPR RI memperbaiki kinerja dalam menggarap RUU Kejaksaan tersebut. Dalam hal ini, DPR RI diminta tidak menggampangkan pekerjaan mereka dengan hanya meniru UU yang telah ada. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu 2014, SBY Minta Pers Seimbang
Redaktur : Tim Redaksi