jpnn.com - Pengobatan alternatif Ida Dayak yang dianggap ajaib mampu mendatangkan puluhan ribu orang yang rela antre sejak subuh.
Manusia menyemut mendatangi lapangan terbuka yang berada di GOR Kostrad Cilodong, Depok, pada Senin (3/4). Mereka berdatangan sudah sejak pagi hari dan banyak yang berasal dari luar kota.
BACA JUGA: Sekali Lagi, Cicak Vs Buaya atau Buaya Vs Buaya?
Makin sore jumlahnya kian menyesaki lapangan. Pihak keamanan kemudian membubarkan praktik pengobatan Ida Dayak dan membubarkan kerumunan, karena Ida Dayak tidak mungkin bisa melayani sebegitu banyak orang.
Kepercayaan terhadap pengobatan alternatif adalah bagian kuno yang sudah bertahan berabad-abad. Metode ini sering dijalankan oleh dukun dengan metode tradisional dengan mempergunakan kekuatan spiritual. Di era digital ini cara pengobatan lawas itu diunggah ke media sosial dan menghasilkan viral yang berujung pada histeria massa yang berjubelan ingin mendapatkan pengobatan.
BACA JUGA: ChatGPT dan Masa Depan Manusia
Perempuan yang dianggap sakti ini bernama asli Ida Andriyani. Karena selalu mengenakan pakaian tradisional suku Dayak, ia pun dikenal sebagai Ida Dayak. Setiap kali buka praktik pasiennya membeludak.
Mereka percaya sekaligus penasaran dengan metode pengobatan Ida Dayak. Dalam salah satu unggahan di media sosial terlihat Ida bisa menyembuhkan tulang bengkok di bagian tangan dengan melakukan ritual tari dan kemudian mengusapnya.
BACA JUGA: Ilhan Omar, Rasmus Paludan, dan Borok Demokrasi Barat
Ritual saat mengobati pasiennya sering diunggah di Tik Tok dan Snack Video. Sebelum viral di media sosial, Ida Dayak melakukan pengobatan keliling dari pasar ke pasar. Dia diyakini dapat mengobati berbagai macam penyakit. Mulai dari stroke, saraf kejepit, tulang bengkok, patah tulang, tidak bisa berjalan, tumor hingga bisu tuli.
Metode penyembuhannya dilakukan dengan ritual menari dan mengurut, sambil dioleskan minyak berwarna merah yang diberi nama Minyak Bintang. Hasil penyembuhannya ternyata instan. Setidaknya begitu menurut pengakuan beberapa pasiennya. Ada yang sekali urut sudah merasa sembuh, dan ada yang dua atau tiga kali datang kemudian sembuh.
Ida Dayak pun mendadak populer mengalahkan dokter-dokter spesialis.
Heboh dukun sakti sudah menjadi bagian dari cerita Indonesia. Pada 2009 yang lalu Jawa Timur heboh oleh dukun cilik bernama Muhammad Ponari Rahmatullah, atau lebih dikenal sebagai Ponari. Ia diyakini mampu mengobati berbagai penyakit dengan batu ajaib yang diakui diperoleh dari langit.
Konon ketika sedang bermain di bawah hujan Ponari mendengar suara petir menggelegar di dekatnya. Setelah petir hilang ia menemukan sebuah batu hitam seukuran kepalan anak kecil. Dengan batu hitam itulah Ponari mengobati pasien-pasiennya.
Ketika itu belum musim media sosial. Orang mendengar kabar dari mulut ke mulut. Puluhan ribu orang datang ke rumah Ponari di Jombang untuk berobat. Entah benar-benar sembuh atau tidak, tetapi orang-orang itu sudah terlanjur percaya bahwa Ponari adalah dukun cilik yang sakti.
Ketika itu Ponari masih kelas empat sekolah dasar. Karena kesibukannya yang sangat tinggi sebagai dukun cilik ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya.
Setelah sempat tidak bisa sekolah hampir tiga tahun karena kesibukan melayani pasien, akhirnya Ponari berhasil menamatkan pendidikan dasar dan menengah.
Sekarang Ponari sudah dewasa, tetapi tidak lagi melanjutkan profesi sebagai dukun. Ponari bekerja di sebuah pabrik dan pernah menjadi sales keliling. Ia menikahi kekasihnya yang juga bekerja di pabrik.
Ketika fasilitas kesehatan masih belum memadai dan belum bisa menjangkau rakyat kecil, fenomena Ida Dayak dan Ponari akan terus bermunculan.
Masih seringnya terjadi pasien ditolak oleh rumah sakit, atau pasien BPJS Kesehatan yang dianggap pasien gratisan membuat masyarakat lebih menaruh harapan tinggi kepada pengobatan alternatif ala Ida Dayak.
Mereka yang tinggal di daerah terpencil harus berjalan kaki puluhan kilometer melewati medan yang sangat berat untuk mendapatkan layanan dari Puskesmas. Pengobatan ala Ida Dayak ini dianggap lebih mudah, murah dan terjangkau.
Literasi kesehatan masyarakat masih rendah. Program vaksinasi untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 ketika itu banyak diabaikan oleh masyarakat pedesaan. Rendahnya literasi kesehatan, juga menjadi salah satu sebab masih tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia.
Fenomena Ida Dayak bisa dilihat sebagai bagian dari budaya tandingan dan counter hegemony terhadap pemerintah. Sejarah Indonesia banyak diwarnai oleh munculnya budaya tandingan sebagai bentuk perlawanan diam terhadap kekuasaan yang tidak bisa melayani.
Sejarawan Kuntowijoyo meneliti budaya tandingan dalam episode sumur sakti di Surakarta pada 1914. Ketika itu di kampung Bratan, Laweyan, Surakarta muncul berita yang mengehebohkan masyarakat.
Bermula dari pengakuan seorang wanita tua di kampung Bratan yang bermimpi ditemui oleh seorang kakek tua yang mengatakan bahwa dhemit penjaga kampung Gajahan akan mempertontonkan gambar hidup di sumur yang terletak di halaman rumahnya.
Seorang anak kecil kemudian berteriak bahwa dia melihat dalam sumur milik perempuan tua ada api dan seekor harimau. Pengakuan anak kecil itu diperkuat lagi oleh beberapa perempuan yang mengaku melihat keajaiban pada sumur itu.
Kontan ribuan orang datang dari berbagai wilayah di Surakarta dan sekitarnya. Mereka berebut mengambil air sumur yang diyakini punya khasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit.
Makin hari banyak orang yang datang. Polisi Belanda kemudian menutup sumur itu dan melarang orang untuk datang.
Fenomena sumur ajaib itu menjadi bukti kuatnya pengaruh mitos dalam masyarakat Jawa.
Namun, di balik fenomena itu terdapat fenomena budaya tandingan dan counter hegemony. Masyarakat ingin melawan hegemoni penjajah dengan menunjukkan fenomena sumur ajaib yang dianggap tidak rasional oleh pemerintah Belanda.
Budaya tandingan atau counter culture itu akan terus membesar kalau tidak dihilangkan dengan memakai kekuatan kekuasaan. Fenomena itu terulang lagi dalam kasus Ida Dayak.
Rakyat yang berjubel itu mewakili sebuah dunia yang hanya dimiliki oleh orang-orang kecil yang tidak banyak mempunyai harapan dalam sebuah masyarakat yang didominasi oleh kekuasaan modal, yang melahirkan rumah-rumah sakit yang mahal dan tidak terjangkau. (*)
Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Cak Abror