Bukan Sekadar Dua Boneka dari India

Senin, 15 Juni 2015 – 07:36 WIB
Dahlan Iskan. Foto JPNN.com

jpnn.com - MATA dunia kini menoleh ke India. Negeri itu kini sedang melakukan ”revolusi ekonomi” gelombang kedua. Pembawa panji-panji revolusinya adalah pemimpin baru India hasil pemilu tahun lalu: Narendra Modi.

Ketika ekonomi semua negara anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China and South Africa) mengalami kemerosotan, India justru menanjak. Tahun ini pertumbuhan ekonominya bisa mencapai 6,4 persen.

BACA JUGA: Agar Suara Itu Tidak seperti Itu

Modi memang mendapat kepercayaan internasional. Sebelum terpilih sebagai perdana menteri dalam pemilu tahun lalu, dia adalah chief minister untuk Negara Bagian Gujarat. Selama Modi menjadi chief minister (2003–2012), pertumbuhan ekonomi Gujarat gila-gilaan: 10,3 persen. Modi dikenal sebagai pemimpin yang probisnis.

Saya menyaksikan sendiri gegap gempita pembangunan di Gujarat tahun 2008. Saya berkunjung ke Kota Ahmadabad. Saya juga melihat kota baru Gandhiabad yang dibangun dengan desain amat modern. Termasuk pusat-pusat IT-nya.

BACA JUGA: Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

India rupanya bernasib baik. Revolusi ekonomi gelombang pertama yang dimulai tahun 1991 itu akan diteruskan dengan gelombang kedua. Keberhasilan revolusi pertama itu (dimulai Manmohan Singh) akan berkelanjutan dengan terpilihnya Modi.

Perjalanan India mirip-mirip Indonesia. Sejak merdeka pada 1947, India menjalani 45 tahun pertamanya dengan sulit. Nasionalisme tinggi. Motonya: Swadesi. Sedapat mungkin tidak perlu impor.

BACA JUGA: Problem Banyak Anak dan Manusia Tidak Beragama

Coca-Cola dipaksa berpartner dengan perusahaan lokal. Juga harus mau membuka rahasia rasa Coca-Colanya. Pengetahuan itu penting untuk ditransfer ke dalam negeri. Coca-Cola akhirnya meninggalkan India. Demikian juga IBM.

Akhir tahun 1980, India nyaris bangkrut. Cadangan devisanya tinggal USD 1 miliar. Hanya cukup untuk impor bahan dua minggu. Kemiskinan luar biasa.

Maka disadarilah untuk berubah haluan.

Tahun 1991 Partai Kongres menang pemilu. Narasimha Rao terpilih sebagai perdana menteri. Dia seorang advokat lulusan Inggris, tapi sejarah mencatatnya sebagai ”Bapak Reformasi Ekonomi India”. Dunia mengenalnya sebagai ”penghancur perizinan”. Segala macam keruwetan perizinan di bidang usaha dia sederhanakan.

Rao berani mengangkat seorang menteri keuangan yang ternyata dia benar: Manmohan Singh. Dia adalah ekonom lulusan dua perguruan tinggi terbaik di dunia sekaligus: Cambridge dan Oxford. Dengan prestasi kelulusan terbaik.

Rao dibilang benar karena kelak terbukti Manmohan Singh berhasil terpilih sebagai perdana menteri India. Bahkan perdana menteri terlama berkat kesuksesannya: sepuluh tahun (2004–2014).

Revolusi ekonomi gelombang pertama itu membuat India berubah. Kemajuan IT-nya sudah diketahui luas. Cadangan devisanya naik 50 kali lipat. GDP-nya naik empat kali lipat.

Kelas menengahnya? Tumbuh seperti bunyi gendang India. Kini India memiliki 250 juta konsumen kelas menengah. Inilah modal kemajuan ekonomi ke depan. Apalagi, struktur demografinya sangat mendukung: separo dari jumlah penduduknya yang 1,2 miliar adalah anak berusia di bawah 25 tahun. Ekonom melihat ini sebagai ”bonus demografi”. Kalau umur orang India dibuat rata-rata, komposisinya terbaik di dunia: 29 tahun. Umur rata-rata di Tiongkok 36 tahun.

India sungguh beruntung. Pemenang pemilu tahun lalu memang dari partai yang berlawanan, tapi ideologi pembangunannya sama: pembangunan ekonomi.

Bahkan kini lebih probisnis. (*)


Dahlan Iskan
Mantan CEO Jawa Pos Group

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Larangan Bukan Lagi Larangan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler