Bukti Pelanggaran Kode Etik Hakim Tipikor Diserahkan ke KY

Senin, 09 September 2013 – 19:30 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) Komisi Yudisial (KY), Jaja Ahmad Djayus mengatakan bahwa data video yang diberikan Mantan Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto akan sangat mendukung penelusuran pelanggaran kode etik para hakim. Data dalam bentuk video tersebut, kata Jaja Ahmad Djayus, akan sangat kuat nilai keotentikannya dibandingkan jenis barang bukti lainnya.

Selain video, Tim Kuasa Hukum Indar Atmanto juga menyerahkan salinan putusan, foto, kronologis dan bukti tertulis pelanggaran hakim yang menangani perkara dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta.

BACA JUGA: Ikut Konvensi, Dahlan Iskan Tak Akan Ambil Cuti

Jaja menilai, video jauh lebih kuat dibandingkan dengan foto. Pasalnya, para komisioner KY bisa dengan mudah menemukan unsur pelangggaran. "Dengan video kami lebih punya keyakinan untuk memutus, misalnya saat hakim ngantuk, berapa lama ia tertidur di situ sangat jelas," kata Jaja Ahmad Djayus usai menerima laporan pengaduan di kantornya, Senin (9/9)

Ia mengatakan, dalam waktu dekat akan memanggil para hakim dan menerima jawaban pembelaan dari kelimanya. Jika jawaban tidak diterima dan ditemukan pelanggaran, maka KY langsung bertindak memberikan sanksi.

BACA JUGA: Syarief Hasan: Pramono Bukan Titipan Cikeas

Sanksinya ada 3 bentuk, pertama sanksi ringan, sanksi sedang, sanksi berat. Sanksi ringan mulai teguran lisan, teguran tertulis sampai pernyataan tidak puas. "Kemudian sanksi sedang mulai ditunda kenaikan pangkat dan sanksi berat bisa dilakukan pemberhentian," tambahnya.

Sekedar informasi, Indar Atmanto melaporkan lima hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) ke Komisi Yudisial (KY) atas perkara No. 01/Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST.  Kelima hakim tersebut bernama Antonius Widijantono, Aviantara, Annas Mustaqim, Anwar, dan Ugo.

BACA JUGA: IPW Tuding Kompolnas Bermanuver

Indar memaparkan, pelanggaran yang dilakukan kelimanya selama memeriksa perkara tersebut dengan bersikap; tidak adil, memihak, tidak jujur, tidak berdisiplin tinggi, tidak profesional, dan beritikad semata-mata untuk menghukum terdakwa.

"Saya sekaligus sebagai perseorangan dan terdakwa dalam kasus memiliki punya kapasitas dan atau kepentingan hukum untuk melakukan pengaduan sebagaimana dimaksud," ujar Indar, dalam laporannya.

Indar berpendapat, harusnya hakim harus dapat menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan dan profesi hakim itu sendiri, agar selalu dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan para pencari keadilan

Dengan sikap pelanggaran tersebut, dirinya sangat dirugikan. Hakim terbukti tidak bisa memahami dengan baik istilah-istilah telekomunikasi dalam undang-undang dan tidak memahami keterangan saksi-saksi serta bukti.

"Salah satu hakim menyebut PT Indosat Tbk dengan sebutan PT Indosat Tobako secara berulang-ulang, untuk istilah teknis ini saja hakim tidak paham, apalagi istilah-istilah telekomunikasi," keluh Indar.

Terbukti dalam putusan, hakim menyatakan bahwa IM2 telah menggunakan pita frekuensi 2,1 GHz milik Indosat. Padahal situasi ini secara teknis tidak mungkin, karena sejak IM2 berdiri, tidak punya satupun pemancar yang bisa menangkap sinyal frekuensi manapun.

Paling memperihatinkan, ujar Indar, majelis hakim keluar ruangan tanpa membacakan kewajiban dan haknya. Bagian ini semestinya wajib dibacakan sesuai Pasal 196 ayat (3) KUHAP. "Jadi hakim tidak cakap dalam menjalankan tugas atau bahkan lebih jauh telah melanggar sumpah," ungkapnya.

Ia berharap, dengan laporannya ini, KY bisa memberikan sanksi  tegas merujuk pada Pasal 22 UU tentang Komisi Yudisial dan Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim.

Kasus putusan bersalah Indar Atmanto dan IM2 pada Juli 2013 lalu mendapat perhatian dari pengamat telematika, akademisi, pelaku industri, hingga investor. Karena, model kerjasama Indosat-IM2 ternyata telah sesuai aturan dan diterapkan oleh seluruh operator.(rls/fuz/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibas Bangga Lihat Perkembangan Demokrat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler