jpnn.com, BRUSSELS - Kedutaan Besar RI di Brussel menggandeng Perpustakaan Kris Lambert di Kota Oostende, Belgia, untuk menyelenggarakan “Indonesia Month” selama September.
Pergelaran Indonesia kali ini mengusung tema “De Schat van Indonesë” atau “Treasures of Indonesia,” yang meliputi pameran, diskusi buku dan pagelaran budaya, menurut keterangan dari KBRI Brussel yang diterima di Jakarta, Minggu.
BACA JUGA: VNL 2022: Tampil Pincang, Tim Voli Putri Thailand Takluk di Tangan Belgia
Pameran “De Schat van Indonesië” menampilkan benda-benda budaya yang merupakan koleksi para warga Belgia.
Setiap benda unik itu disebutkan memiliki kisahnya masing-masing dan menggambarkan kecintaan para pemiliknya terhadap Indonesia.
BACA JUGA: Buruh Seantero Belgia Kompak Mogok Kerja, Bandara Sampai Tak Dijaga
Salah satunya, tenun ikat milik Inge de Lauthawer yang ia peroleh dari Sumba. Inge sendiri adalah Yayasan Sumba Foundation yang bergerak di bidang penguatan kapasitas siswa bidang pariwisata.
Tenun ikat tersebut ia beli dari Kornelis Ndapakamang, seorang artis asal Sumba, dan masih dibuat secara tradisional, termasuk pewarna alami dari tumbuhan.
BACA JUGA: Sempat Nervous di Laga Perdana, Aya Ohori Amuk Wakil Belgia di Indonesia Masters 2021
Tenun ikat antik itu memperlihatkan motif khas dari kerajaan Pau dan Rende, yang dahulu kala berada di Sumba Timur.
Di sudut lain perpustakaan, KBRI juga menampilkan beberapa komoditas unggulan Indonesia yang merupakan produk impor favorit di Belgia, seperti alas kaki, pakaian, kopi, teh, rempah, dan lain-lain.
Bagian itu, menurut keterangan tersebut, memperlihatkan Indonesia sebagai mitra ekonomi penting bagi Belgia dan betapa produk-produk Indonesia begitu dekat dan telah akrab dimanfaatkan warga setempat.
Pembukaan “De Schat van Indonesie” (6/9) diselenggarakan bersamaan dengan Diskusi Buku “Revolusi” karya sejarawan Belgia David van Reybrouck yang diluncurkan pada 2020.
"Revolusi" memaparkan kisah bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya dan bagaimana kemerdekaan Indonesia telah memengaruhi tataran global.
David, yang lahir dan besar di Belgia, disebutkan menghabiskan lima tahun untuk menulis buku tersebut. Ia meneliti Indonesia dan era kolonialisme.
Rangkaian kegiatan juga diisi dengan diskusi yang menghadirkan Joss Wibisono, sejarawan Indonesia yang lama menetap di Belanda, serta Gie Goris, jurnalis Belgia yang adalah juga pemerhati isu-isu terkait Asia Tenggara.
Keduanya mengupas bagaimana revolusi kemerdekaan Indonesia bergema hingga pelosok dunia. Diskusi diramaikan dengan kehadiran para anggota klub buku di Oostende serta warga dari berbagai kota di sekitar kota itu.
Duta Besar RI untuk Belgia Andri Hadi menyampaikan bahwa dalam pertemuan dengan David van Reybrouck, David menceritakan mengenai perjuangannya dalam menulis buku ini.
Dubes Andri, seperti dikutip dalam keterangan KBRI, mengakui salut atas kegigihan David dalam menemukan sumber sejarah karena sifat buku yang ditulis mewajibkan David untuk menemui para saksi mata langsung.
Andri juga menegaskan bahwa salah satu keistimewaan buku ini adalah bagaimana David dapat mengartikulasikan makna kemerdekaan Indonesia khususnya mengenai efek riak kemerdekaan Indonesia.
Dalam upaya memperkaya promosi Indonesia, KBRI Brussel juga menyelenggarakan pagelaran budaya di Plasa Perpustakaan Oostende (10/9).
Atas kerja sama dengan pemerintah Provinsi Ponorogo, KBRI Brussel menghadirkan Reog Ponorogo, yang disebut KBRI berhasil menarik minat warga Oostende.
Warga yang memadati plasa terkesima dengan tampilan Reog yang baru pertama kali hadir di Belgia.
Dengan diawali dengan tarian oleh warok dan jatilan, ramainya musik khas Reog mengundang kehadiran warga yang semakin menyemarakkan suasana. Aksi Singo Barong mengundang decak kagum dan tepuk tangan penonton.
Selain Reog, KBRI juga menampilkan ragam budaya dari Diaspora Indonesia. mulai dari angklung hingga tari-tarian nasional seperti Tari Merak, Tari Belibis, dan Tari Sajojo. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif