Bung Karno Bukan Pengkhianat!

Rabu, 21 Juni 2017 – 19:38 WIB
Bung Karno, 9 Juli 1965 di antara personil band Trio Greco. Foto: Arsip Nasional Belanda.

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI Ahmad Basarah meluncurkan buku “Bung Karno, Islam, dan Pancasila” di gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (21/6).

Peluncuran buku yang sekaligus memperingati haul tahun Bung Karno ke 47, itu dihadiri Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, Ketua MPR Zulkifli Hasan, mantan Metua MK Mahfud MD.

BACA JUGA: Ketua MPR: Kehadiran Ulama Memperkuat Persatuan

Tak ketinggalan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia Puan Maharani, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, pimpinan Fraksi di MPR.

Basarah dalam sambutannya mengatakan ada tiga peristiwa penting di bulan ini bagi Bung Karno.

BACA JUGA: Hidayat Terpukau Pada Masjid Mini Baitussalam Koramil 03

Pertama, hari kelahiran Bung Karno tanggal 6 Juni 1901.

Kedua, hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dan ketiga 21 Juni 1970 Bung Karno wafat.

BACA JUGA: Zulkifli Hasan Ingin Kewarganegaraan dan Pancasila Dihidupkan di Kampus

"Oleh karena itu, dalam internal keluarga besar PDI Perjuangan kami selalu memperingati bulan Juni ini sebagai Bulan Bung Karno," kata Basarah.

Pada hari ini 47 tahun lalu atau tepatnya tanggal 21 Juni 1970 Bung Karno telah dipanggil kembali menghadap Sang Khalik pada usia 69 tahun.

Bung Karno wafat karena penyakit yang dideritanya sebagai akibat tekanan psikis dan politik oleh penguasa pada waktu itu.

Bung Karno wafat dalam status sebagai tahanan politik setelah diisolasi dari dunia luar di Wisma Yaso Jakarta.

"Bung Karno pergi meninggalkan kita semua dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarga serta pengikut-pengikutnya karena telah dituduh berkhianat kepada bangsa dan negara yang beliau dirikan sendiri bersama tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya," paparnya.

Tuduhan Bung Karno berkhianat kepada bangsa dan negaranya itu dituangkan dalam konsideran/menimbang Tap MPRS nomor XXXIII/MPRS/1967.

Yang menyebutkan bahwa berdasarkan laporan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan, Presiden Soekarno dituduh terlibat memberikan kebijakan yang mendukung dan melindungi pemberontakan G-30- S/PKI.

Dan atas dasar tuduhan terlibat mendukung G-30-S/PKI itu pula, kekuasaan Presiden Soekarno akhirnya dicabut oleh MPR RI pada 12 Maret 1967.

Dalam pasal 6 diktum putusan TAP MPRS nomor XXXIII tahun 1967 tersebut, telah diperintahkan Pejabat Presiden (Jenderal Soeharto) untuk melakukan penyelesaian persoalan hukum yang dituduhkan kepada Presiden Soekarno tersebut.

Alasannya dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Namun, hingga Bung Karno dipanggil pulang ke hadapan Allah, proses peradilan itu tidak pernah dilaksanakannya.

Bahkan, setelah Bung Karno lengser dari kekuasaan Presiden, pemerintahan pada waktu itu terus melakukan berbagai propaganda politik untuk terus menyudutkan Bung Karno yang kemudian populer dengan politik desoekarnoisasi.

Setelah melewati masa yang panjang selama 45 tahun, barulah pemerintah Republik Indonesia mengakui kekeliruanya telah menuduh Bung Karno berkhianat kepada bangsa dan negaranya.

"Koreksi terhadap keputusan politik negara yang keliru melalui TAP MPRS XXXIII tahun 1967 itu, akhirnya dilakukan melalui penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno dengan Keputusan Presiden nomor 83 tahun 2012 tanggal 7 November 2012," papar Basarah.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno tersebut memiliki implikasi hukum mengenai tuduhan terhadap Bung Karno.

Implikasi hukum tersebut adalah batalnya tuduhan hukum pada bagian konsideran/menimbang TAP MPRS XXXIII tahun 1967 yang telah menuduh Bung Karno terlibat peristiwa G-30-S/PKI.

Pendapat hukum tersebut diperoleh karena dalam ketentuan UU nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan diatur ketentuan bahwa seseorang tokoh nasional hanya bisa memperoleh status gelar Pahlawan Nasional dengan syarat.

Antara lain, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak pernah dihukum apalagi terlibat dalam pengkhianatan terhadap bangsa dan negaranya.

"Dengan telah diberikannya status gelar Pahlawan Nasional tersebut, maka berarti Bung Karno dianggap tidak pernah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negaranya dalam bentuk keterlibatannya pada peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI," ujarnya.

Namun sangat disayangkan, pada saat pemberian gelar Pahlawan Nasional tanggal 7 November 2012 lalu oleh Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, tidak disertai dengan permohonan maaf kepada keluarga besar Bung Karno dan rakyat Indonesia.

"Sehingga publik tidak mengetahui dengan persis latar belakang filosofis, juridis dan sosiologis serta implikasi hukum atas dikeluarkannya Keppres nomor 83 tahun 2012 tersebut," katanya.

Sementara di sisi yang lain, eksistensi hukum TAP MPRS XXXIII tahun 1967 itu telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi oleh TAP MPR Nomor I tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi Status Hukum Seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR sejak tahun 1960 sampai tahun 2002.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyatakan secara politik memang ada sebuah proses de-Soekarnoisasi yang ingin menenggelamkan peran Bung Karno kepada bangsa ini.

"Itu kenyataan di kalangan rakyat terjadi," tegasnya saat memberikan sambutan. "Bertahun-tahun kami yang namanya PDI Perjuangan minta akui 1 Juni 1945 sebagai lahirnya Pancasila. Untungnya ada presiden yang berani," kata Mega. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua MPR: Menjaga Nilai Luhur Ke-Indonesiaan Harus Sejak Dini


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
MPR  

Terpopuler