Bung Karno: Kita Bangsa Pelaut!

Selasa, 05 September 2017 – 19:49 WIB
Halaman 1 koran Merdeka, edisi 28 Februari 1957. Peresmian Akademi Ilmu Pelayaran jadi foto utama. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - MASIH ingat Presiden Jokowi menyampaikan pidato pamungkasnya di atas kapal phinisi? Lantang dia berucap, "Indonesia poros maritim!". Kini, agaknya semangat itu mulai meredup.

Jauh-jauh hari, Bung Karno juga meyakinkan bahwa, "kita bangsa pelaut!".  

BACA JUGA: Doa dari Bupati Anas Buat Warga Rohingya, Bung Karno dan Bu Mega dari Tanah Suci

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

Rabu, 27 Februari 1957. Ada keramaian di Jl. Gunung Sahari, Mangga Dua, Ancol, Jakarta Utara. Presiden Soekarno meresmikan Akademi Ilmu Pelayaran, disingkat AIP.

BACA JUGA: Kesaksian Marco Polo saat Berangkat Bersama Pasukan Monggol Menyerbu Singosari

Sudah barang tentu Bung Karno menyokong penuh akademi ini. Sebab, suatu waktu, saat bercerita di acara Musyawarah Nasional Maritim I, 23 September 1963 di Jakarta, dia menyampaikan…

"Tatkala saya melantik saudara Martadinata menjadi Kepala Staf Angkatan Laut di muka Istana Merdeka, pada waktu itu sudah saya sebut sedikit keterangan mengenai perkataan bahari, zaman bahari. Yang kita maksudkan dengan perkataan zaman bahari ialah zaman purbakala, zaman dahulu, zaman kuno, zaman yang lampau itu kita namakan zaman bahari. Apa sebab? Sebabnya ialah kita di zaman yang lampau itu adalah satu bangsa pelaut. Bahar, elbaher artinya laut. Zaman bahari berarti zaman kita mengarungi bahar, zaman kita mengarungi laut, zaman tatkala kita adalah bangsa pelaut."

BACA JUGA: IMSS 2017 Bahas Persoalan Keamanan Maritim Dunia

Narasi ini termuat dalam arsip Departemen Penerangan RI, 1963 bertajuk Kembalilah Mendjadi Bangsa Samudera! Amanat Presiden Sukarno Pada Munas Maritim Ke-I.

Bung Karno meyakinkan, “kita ini dahulu benar-benar bangsa pelaut. Bahkan bangsa kita ini sebenarnya tersebar melintasi lautan dari satu pokok asal. Tersebar melintasi lautan, mendiami pulau-pulau antara pulau Madagaskar dan pulau Paskah dekat Amerika Selatan. Melewati beribu-ribu mil, melewati samudera, bahar, yang amat luas sekali. Di situlah bersemayam sebenarnya bangsa Indonesia…itu adalah satu gugusan bangsa bangsa yang boleh dikatakan sama bahasanya, sama adat istiadatnya, sama pokok-pokok isi spirituil. Bahasanya banyak yang sama. Banyak kata-kata yang diucapkan oleh orang Madagaskar kita temui kembali di Sumatera, Jawa, Kalimantan, di Timor, di Paskah itu, di selatan dari pada Philipina. Misalnya ambillah satu contoh; bambu. Di Jawa ada yang mengatakan wuluh, di Sumatera mengatakan buluh, di Philipina orang mengatakan uluh, di Madagaskar orang berkata uluh, di Easter Island, pulau Paskah orang mengatakan boloh.”

Bung Karno pun mengambil contoh dalam hal teknologi melaut .

“Mengenai laut, yah perahu-perahu yang bersayap. Out-wriggled boats, kata orang Belanda vlerkprauwen. Out-wriggled boats, saudara tidak akan temukan perahu bersayap itu misalnya di Amerika atau di Polandia atau di Jepang atau di Eropa, tidak. Saudara akan temukan out-wriggled boats, vlerkprauwen, perahu sayap di Madagaskar, di Kepulauan Indonesia, di Polynesia sampai pulau Paskah. Ini semua menunjukkan bahwa kita itu adalah sebenarnya satu gugusan bangsa, antara Madagaskar dan pulau Paskah.”

Dulu, lanjut Bung Karno, kita betul-betul laksana sea hawk, sacral bahar, saker elbaher, havik van de zee, hawk on the sea. Hawk on the sea, kita terbang dari satu pulau ke pulau lain.

Namun, “belakangan kita menjadi satu bangsa yang berdiam adem-adem di lereng-lereng gunung. Belakangan, saudara-saudara, tatkala kita terdesak dari pantai-pantai oleh bangsa asing yang mendiami pantai-pantai kita, kita menjadi bangsa yang hidup adem tentrem di lereng-lereng gunung, adem tentrem kadiya siniram banyu wayu sewindu lawas.”

Lebih jauh lagi, Bung Karno merawi legenda dan merumuskan kode-kode rahasia semiotiknya.

“Tahukah saudara-saudara, menurut dongeng Sang Mahapatih Gajahmada itu matinya di mana?” Presiden Indonesia pertama membuka tanya. Semua diam.

“Coba buka buku sejarah kita. Tanya kepada ahli sejarah kita, di mana Gajahmada mati? Tidak ada seorang bisa menjawab. Tetapi dongeng, mitologi, mitologi kita, mitos kita berkata, Gajahmada kembali ke laut, hilang di laut atau menghilang di laut. Ini menggambarkan penjunjungan tinggi dari pada bangsa Indonesia kepada laut. Bahkan tatkala saya melantik saudara Martadinata menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, pada waktu itu saya menceritakan hal mitos yang belakangan terjadi sejak Kerajaan Mataram yang kedua. Menjadi tradisi sejak Kerajaan Mataram yang kedua itu, tradisi yang mengatakan bahwa raja hanyalah bisa menjadi raja yang besar dan kuat, negara bisa menjadi besar dan kuat, ratu hanyalah bisa menjadi ratu yang hanyakrawarti hambahudenda, jikalau sang ratu itu beristerikan pula Ratu Loro Kidul, ratu dari Lautan Selatan, ratu dari samudera yang dulu bernama Samudera Hindia, tetapi kemudian kita robah dengan nama Samudera Indonesia, saudara-saudara…”

Sang proklamator kemerdekaan Indonesia melanjutkan rumusan tentang apa yang disebutnya dongeng, legenda, mitologi itu.

“Banar apa tidak, itu adalah lain perkara, saudara-saudara. Apakah benar Sang Senopati, Sang Senopati Hangabei Loringpasar Sutowidoyo, Sutawijaya, yang mendirikan Kerajaan Majapahit, benar atau tidak, yaitu benar-benar kawin dengan Ratu Loro Kidul? Itu bukan soal sebetulnya bagi kita. Tetapi nyata bahwa ini berisi satu simbolik, kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Loro Kidul.”

Menurut Soekarno, simbolik ini berarti bahwa negara hanya bisa menjadi kuat, negara Indonesia hanyalah bisa menjadi kuat jikalau ia juga menguasai lautan.

“Negara yang rakyatnya cuma hidup, hidup adem tentrem kadyo siniram banyu waju sewindu lawas di lereng-lereng gunung, kerajaan yang demikian itu tidak bisa menjadi kuat, apalagi menjadi sejahtera. Jikalau negara di Indonesia ingin menjadi kuat, sentosa, sejahtera, maka dia harus kawin juga dengan laut,” demikian paparan Bung Karno.

Sedemikian dalam pemahaman Bung Karno tentang sejarah dan kode-kode legenda, maka ketika meresmikan Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Jl. Gunung Sahari, Mangga Dua, Ancol, Jakarta Utara, pada Rabu, 27 Februari 1957, ia menyematkan motto Nauyanam Avasyabhavi Jivanam Anavasyabhavi untuk akademi itu.

“Motto AIP; Nauyanam Avasyabhavi Jivanam Anavasyabhavi pemberian Bung Karno. Itu bahasa Sanskrit yang artinya di darat kita berkarya di laut kita berjaya,” kata Ronny Turangan, alumni AIP yang pernah menjabat Kepala Dinas Sejarah Markas Besar Angkatan Laut. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Debut Awal Marco Polo dengan Pimpinan Tentara Monggol yang Menyerang Jawa


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler