Seorang mantan perawat yang membunuh dua pasien usia lanjut (lansia), dengan menyuntikkan insulin, telah dijatuhi hukuman setidaknya 27 tahun penjara.
Megan Haines membunuh Marie Darragh (82) dan Isabella Spencer (77) di panti jompo St Andrews Villa, Ballina, pada bulan Mei 2014.
BACA JUGA: Kapal China di Hobart Ini Diduga Selundupkan Narkoba
Beberapa hari sebelum Marie dan Isabella meninggal, keduanya mengeluh tentang standar pelayanan yang mereka terima dari Megan.
Mantan perawat berusia 49 tahun ini dijatuhi hukuman maksimal 36 tahun dan baru bisa mengajukan pembebasan bersyarat untuk pertama kali pada tahun 2041.
BACA JUGA: Selewengkan Jabatan, Mantan Mentei NSW Divonis 5 Tahun Penjara
Hakim Peter Garling mengatakan, Megan Haines menyalahgunakan kepercayaan yang diembannya.
"Perilakunya disengaja dan terkalkulasi. Ini adalah pelanggaran kepercayaan yang keji dan penyalahgunaan kekuasaan yang terang-terangan," sebutnya.
BACA JUGA: Marty Natalegawa Terima Doktor Kehormatan dari ANU Australia
Sang hakim menambahkan, "Ia jelas menyalahgunakan kepercayaan yang diembannya. Saya menganggap ini menjadi faktor yang memberatkan secara signifikan.ââ¬Â
"Saya menganggap pelanggaran ini telah disengaja dan diperhitungkan," ujar Hakim Peter.
Di persidangan terungkap bahwa Megan sempat berbicara tentang menggunakan insulin untuk membunuh seseorang tanpa terdeteksi -ketika menonton serial kriminal dengan mantan pasangannya.
Ketika memberikan bukti, Megan -yang mengaku tidak bersalah atas pembunuhan itu -mengatakan kepada juri, ia tak ingat percakapan tersebut.
Meski demikian, Megan berujar, ia terkadang membahas pengetahuan keperawatannya sambil menonton acara TV serupa. Isabella Spencer dan Marie Darragh, sebelumnya, mengeluhkan tentang perawatan yang diberikan Megan Haines.
Supplied/AAP
Informasi kunci:
ââ¬Â¢ Megan Haines baru bisa mengajukan pembebasan bersyarat pertama kali pada tahun 2041
ââ¬Â¢ Megan sempat berbicara tentang menggunakan insulin untuk membunuh seseorang tanpa terdeteksi
ââ¬Â¢ Keluarga korban sempat emosional saat hukuman dijatuhkan
Keluarga korban puas dengan putusan
Keluarga dan teman-teman dari korban turut berada di pengadilan di Sydney untuk melihat vonis yang dijatuhkan kepada Megan Haines.
Saudara laki-laki Isabella Spencer, Rodney Spencer, diliputi emosi dan harus meninggalkan ruangan.
"Saya tahu, cepat atau lambat saya akan kehilangan saudara perempuan, tapi tidak dalam situasi seperti itu, dan mendengarkan apa yang dikatakan hakim, itu mulai membuat saya sedih," kata Rodney.
Ia mengaku puas dengan lama hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pembunuh saudara perempuannya itu.
"Anda tak tahu kapan itu akan berakhir, itulah masalahnya. Atau vonis macam apa yang akan dia dapatkan. Tapi seperti yang saya katakan, saya sangat senang dengan vonis yang dijatuhkan kepadanya (Megan)," tutur Rodney.
Direktur panti jompo St Andrews, Phillip Carter, mengatakan, vonis hukuman yang diterima Megan mengakui ketidakadilan yang diderita oleh keluarga korban.
"Vonis hari ini berupaya untuk mengatasi ketidakadilan dan mengakui rasa sakit dan penderitaan yang dialami keluarga dan teman-teman korban," sebutnya.
Ia menyambung, "Semua staf dan dewan direksi di St Andrews, sangat dipengaruhi oleh apa yang telah terjadi."
Putri Marie Darragh, Jan Parkinson, mengatakan, pengalaman ini "menggemparkan" dan telah memengaruhi kesehatannya.
"Sekarang ini saya mati rasa, saya tak tahu apa yang harus dipikirkan. Saya senang bahwa saya tak akan perlu khawatir tentang keberadaannya (Megan) di jalanan dan kembali melakukan hal ini terhadap orang lain," aku Jan.
Ia mendesak pemerintah untuk memasang kamera di panti jompo agar bisa memonitor para lansia tanpa keluarga yang mengunjungi atau merawat mereka.
"Mereka [Pemerintah] harus mulai menempatkan kamera dan orang-orang untuk mengurus lansia yang tidak memiliki keluarga untuk merawat mereka," harap Jan.
"Beberapa lansia di panti jompo tak pernah dikunjungi. Tak ada yang tahu apa yang mereka alami. Tolong, saya mohon, Anda kunjungi orang tua Anda. Jika mereka mengatakan sesuatu kepada Anda, dengarkan mereka," tuturnya. Putri Marrie Darragh, Jan Parkinson (kiri) dan Charli Darragh.
Elloise Farrow-Smith
Keluhan dari 3 lansia
Direktur perawatan di St Andrews Village, yakni Wendy Turner, mengatakan di persidangan, ia mengetahui masalah yang dikeluhkan oleh tiga lansia di tempatnya.
"Saya bertanya kepada almarhumah Marie jika seseorang pernah berbuat kasar padanya dan ia berkata 'ya, itu Megan'," ungkap Wendy.
"Ia bilang, 'saya butuh krim untuk dioleskan ke pantat saya ... dan saya memintanya untuk mengoleskan krim yang lalu ditanggapi Megan dengan mengatakan ââ¬Ëpakai celana anda, anda terlihat menjijikkanââ¬â¢ dan kemudian ia mematikan lampu dan pergi',ââ¬Â jelasnya menirukan perkataan Marie.
"Ia mengatakan, ia tak pernah melihat Megan sebelumnya atau sejak saat itu," sambung Wendy.
Wendy mengatakan, lansia lainnya juga menduga bahwa ia telah dirawat secara "kasar" oleh Megan, sementara Isabella melaporkan bahwa Megan menolak untuk membawanya ke kamar mandi dan menyuruhnya untuk "kencing di pispot" sebagai gantinya.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterjemahkan: 20:00 WIB 16/12/16 oleh Nurina Savitri.
Lihat Artikelnya di Australia Plus
BACA ARTIKEL LAINNYA... Autisme Disebabkan Kekurangan Vitamin D Selama Kehamilan