JAKARTA - Partai Demokrat (PD) harus segera menentukan Ketua Umum pengganti Anas Urbaningrum. Pasalnya hal itu berpengaruh terhadap pendaftaran calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2014.
Pasalnya, pencalegan tidak akan sah jika tanpa adanya ketua umum (ketum). Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun didesak agar tidak mudah menuruti keinginan Demokrat.
”Pasal 57 ayat 1 UU Pemilu Legislatif No 8/2012 jelas disebutkan bahwa bakal calon jelas-jelas ditandatangani ketum atau sebutan lain, dan itu sejajar dengan pencalonan di provinsi dan kabupaten/kota yang juga ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Nah karena itu sesungguhnya tidak ada pilihan lain bagi PD untuk menentukan Ketua Umum baru untuk menandatangani pencalonan itu,” ujar Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz kepada wartawan, Minggu, (3/3).
Dia menjelaskan, AD/ART menyebutkan bahwa ketum tidak dirangkap oleh beberapa orang sebagai pelaksana tugas (plt). Diketahui saat ini jabatan ketum dilaksanakan oleh empat pimpinan Demokrat sebagai plt.
Mereka di antaranya Sekjen Edhie Baskoro Yudhoyono, Wakil Ketua Umum Johny Allen, Max Sopacua, dan Direktur Eksekutif Toto Riyanto.
”Sangat tidak elok, apalagi kalau kemudian PD minta ke KPU untuk mengundurkan waktu. Ini karena masalah internal dibawa ke publik dan pihak lain yang justru diminta menyesuaikan. Ini sama saja Demokrat mengkerdilkan KPU,” katanya.
Karena itu, Hafidz pun mendesak Demokrat menentukan ketum baru serta jangan meminta KPU untuk mengulur waktu terkait masalah internal partai.
”Pesan buat KPU, jangan juga sekonyong-konyong menerima usulan Demokrat ini, karena akan menjadi preseden buruk ketidakindependenan penyelenggara. Karena jelas sekali, ini benar-benar murni persoalan internal politik PD,” tukasnya.
Sementara itu, pendapat senada juga diungkapkan Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (FAKSI) Petrus Selestinus melalui siaran persnya.
Dia mengaku memprotes keras pendapat Anggota Majelis Tinggi Demokrat, yang juga Menteri Hukum dan HAM (Menkum dan HAM) Amir Syamsudin bahwa KPU perlu mengeluarkan peraturan tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Ketum Partai yang lowong akibat ketum berhalangan tetap.
”Upaya ini bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara dengan mengintervensi sekaligus memperalat KPU demi menyelamatkan PD,” tegas Petrus.
Menurut dia, kekuasaan yang secara tumpang tindih berada di tangan SBY telah mengakibatkan separuh waktu dan pikirannya berikut lima menteri dari Demokrat tersita demi menyelamatkan PD.
”Kesemrawutan AD/ART Demokrat antara lain disebabkan oleh hampir seluruh jabatan strategis dimonopoli oleh SBY. Yakni jabatan Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan, dan sebagainya. Sehingga, hampir semua divisi dan bidang-bidang yang lain menjadi stagnan karena terjadi pemusatan kekuasaan yang berlebihan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi,” lanjut Petrus.
Sebagai contoh, pengambilalihan kewenangan Ketum PD dari Anas Urbaningrum tanpa didahului dengan proses pemeriksaan tentang kesalahan Anas di Dewan Kehormatan yang ketuanya adalah SBY sendiri.
Padahal, di dalam UU Partai Politik dengan tegas memberi wewenang kepada partai politik (parpol) untuk mengurus dirinya dengan mengacu kepada AD dan ART Partai.
Karena itu, pendapat dan kehendak Menkum dan HAM yang meminta agar KPU membuat Peraturan KPU tentang Tata Cara Pengisian Jabatan yang kosong, adalah upaya menyeret KPU terlibat dalam konflik internal PD dan semata mata demi kepentingan PD.
”Elit-elit Demokrat sudah tidak malu-malu lagi menggunakan institusi negara untuk kepentingan kelompok, kepentingan Demokrat, dan kepentingan pribadi, sebagaimana tercermin dari pendapat dan kehendak Amir Syamsuddin. Ini sangat berhaya terutama dalam menempatkan posisi parpol sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat,” tegasnya. (dms)
Pasalnya, pencalegan tidak akan sah jika tanpa adanya ketua umum (ketum). Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun didesak agar tidak mudah menuruti keinginan Demokrat.
”Pasal 57 ayat 1 UU Pemilu Legislatif No 8/2012 jelas disebutkan bahwa bakal calon jelas-jelas ditandatangani ketum atau sebutan lain, dan itu sejajar dengan pencalonan di provinsi dan kabupaten/kota yang juga ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Nah karena itu sesungguhnya tidak ada pilihan lain bagi PD untuk menentukan Ketua Umum baru untuk menandatangani pencalonan itu,” ujar Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz kepada wartawan, Minggu, (3/3).
Dia menjelaskan, AD/ART menyebutkan bahwa ketum tidak dirangkap oleh beberapa orang sebagai pelaksana tugas (plt). Diketahui saat ini jabatan ketum dilaksanakan oleh empat pimpinan Demokrat sebagai plt.
Mereka di antaranya Sekjen Edhie Baskoro Yudhoyono, Wakil Ketua Umum Johny Allen, Max Sopacua, dan Direktur Eksekutif Toto Riyanto.
”Sangat tidak elok, apalagi kalau kemudian PD minta ke KPU untuk mengundurkan waktu. Ini karena masalah internal dibawa ke publik dan pihak lain yang justru diminta menyesuaikan. Ini sama saja Demokrat mengkerdilkan KPU,” katanya.
Karena itu, Hafidz pun mendesak Demokrat menentukan ketum baru serta jangan meminta KPU untuk mengulur waktu terkait masalah internal partai.
”Pesan buat KPU, jangan juga sekonyong-konyong menerima usulan Demokrat ini, karena akan menjadi preseden buruk ketidakindependenan penyelenggara. Karena jelas sekali, ini benar-benar murni persoalan internal politik PD,” tukasnya.
Sementara itu, pendapat senada juga diungkapkan Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (FAKSI) Petrus Selestinus melalui siaran persnya.
Dia mengaku memprotes keras pendapat Anggota Majelis Tinggi Demokrat, yang juga Menteri Hukum dan HAM (Menkum dan HAM) Amir Syamsudin bahwa KPU perlu mengeluarkan peraturan tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Ketum Partai yang lowong akibat ketum berhalangan tetap.
”Upaya ini bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara dengan mengintervensi sekaligus memperalat KPU demi menyelamatkan PD,” tegas Petrus.
Menurut dia, kekuasaan yang secara tumpang tindih berada di tangan SBY telah mengakibatkan separuh waktu dan pikirannya berikut lima menteri dari Demokrat tersita demi menyelamatkan PD.
”Kesemrawutan AD/ART Demokrat antara lain disebabkan oleh hampir seluruh jabatan strategis dimonopoli oleh SBY. Yakni jabatan Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan, dan sebagainya. Sehingga, hampir semua divisi dan bidang-bidang yang lain menjadi stagnan karena terjadi pemusatan kekuasaan yang berlebihan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi,” lanjut Petrus.
Sebagai contoh, pengambilalihan kewenangan Ketum PD dari Anas Urbaningrum tanpa didahului dengan proses pemeriksaan tentang kesalahan Anas di Dewan Kehormatan yang ketuanya adalah SBY sendiri.
Padahal, di dalam UU Partai Politik dengan tegas memberi wewenang kepada partai politik (parpol) untuk mengurus dirinya dengan mengacu kepada AD dan ART Partai.
Karena itu, pendapat dan kehendak Menkum dan HAM yang meminta agar KPU membuat Peraturan KPU tentang Tata Cara Pengisian Jabatan yang kosong, adalah upaya menyeret KPU terlibat dalam konflik internal PD dan semata mata demi kepentingan PD.
”Elit-elit Demokrat sudah tidak malu-malu lagi menggunakan institusi negara untuk kepentingan kelompok, kepentingan Demokrat, dan kepentingan pribadi, sebagaimana tercermin dari pendapat dan kehendak Amir Syamsuddin. Ini sangat berhaya terutama dalam menempatkan posisi parpol sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat,” tegasnya. (dms)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hatta Tak Ingin PAN jadi Korban Pemberitaan
Redaktur : Tim Redaksi