Caltung dan Astung

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 30 Juni 2022 – 18:29 WIB
Ilustrasi partai politik. Foto : Ricardo

jpnn.com - Fenomena pindah partai, atau sering disebut kutu loncat, adalah hal yang biasa dalam politik.

Tidak hanya di Indonesia, di mana pun di seluruh dunia hal itu bisa terjadi.

BACA JUGA: NasDem Buka Suara Soal Anies Dianggap Bisa Memicu Polarisasi di Pemilu

Orang terkaya di dunia Elon Musk menjadi kutu loncat dengan ‘’pindah partai’’ dari Partai Demokrat ke Partai Republik.

Karena itu, siapa pun yang pindah partai seharusnya dianggap sebagai hal yang biasa dalam politik.

BACA JUGA: Elektabilitas Demokrat Meningkat, Jemmy Setiawan: Hasil Survei Jadi Acuan Kerja Politik Jelang Pemilu 2024

Di Amerika Serikat hanya ada dua partai mainstream yang selalu bersaing dalam setiap kontestasi politik.

Partai Demokrat mewakili garis ideologi liberal-sekular dan Partai Republik mewakili ideologi konseratif religius.

BACA JUGA: Partai Bakso

Dua partai itu berada pada pendulum politik yang berseberangan secara diametral.

Dalam berbagai isu politik, dua kubu selalu bertentangan secara tajam. Karena itu, sangat jarang ada orang yang menyeberang dari satu partai ke lainnya.

Biasanya yang banyak terjadi adalah faksionalisasi di dalam kuadran partai itu sendiri.

Partai Republik yang konservatif mempunyai varian gerakan bermacam-macam, mulai dari kanan ekstrem sampai kanan tengah yang moderat.

Salah satu fenomena yang terjadi adalah munculnya faksi Tea Party di lingkungan Partai Republik yang menjadi tempat berkumpul orang-orang konservatif sayap kanan radikal.

Gerakan Tea Party muncul pada 2009 semasa pemerintahan Preisiden Obama.

Awalnya hanya kecil, tetapi kemudian menjadi besar dan bahkan menjadi penyokong utama ketika Donald Trump menjadi presiden mengalahkan Hillary Clinton pada pilpres 2014.

Kelompok Tea Party ini umumnya beranggotakan orang-orang kulit putih yang radikal dari kalangan WASP (White Anglo Saxon Protestant), kulit putih, keturunan Anglo Saxon Eropa dan beragama Protestan.

Mereka tidak menyukai orang kulit hitam, kulit berwarna, dan imigran.

Saking fanatiknya terhadap gerakan konservatif, kalangan Tea Party meledek kelompok konservatif moderat sebagai RINO singkatan dari Republic in Name Only, artinya Republik sekadar nama saja, tidak benar-benar Republik yang orisinal.

Beberapa tahun terakhir ini, pengaruh Tea Party masih sangat kuat dan kemungkinan besar faksi ini akan kembali mengusung Donald Trump dalam Pilpres 2024.

Perbedaan ideologi politik di Amerika sangat tegas antara kiri dan kanan.

Kelangan Demokrat juga demikian. Ada yang moderat tapi ada juga yang sangat ekstrem berada di kiri sehingga dituduh sebagai sosialis dan bahkan sering dituding sebagai komunis.

Joe Biden, Presiden Amerika sekarang adalah kelompok demokrat yang moderat.

Biden disebut punya ideologi politik campuran karena dia beragama Katolik tetapi mendukung kebijakan politik liberal seperti hak aborsi bagi perempuan dan pernikahan sejenis bagi LGBT.

Gerekan Katolik Vatikan tegas melarang aborsi dan pernikahan sejenis, tetapi Biden ‘’membangkang’’ terhadap garis politik Vatikan.

Karena tajamnya perbedaan politik dua partai itu, maka tidak pernah terjadi fenomena kutu loncat di level politisi senior.

Elon Musk bukan anggota resmi Partai Demokrat, melainkan hanya pendukung fanatik.

Meski demikian, ketika ia mengumumkan secara terbuka bahwa ia meloncat ke kubu Republik hal itu bisa membawa dampak signifikan, mengingat Musk adalah infuencer yang sangat berpengaruh.

Musk makin berpangaruh karena sekarang menjadi pemilik Twitter. Dia akan menggunakan platform berpengaruh itu untuk memperjuangkan ideologi politiknya.

Persaingan Partai Republik vs Partai Demokrat itu mirip dengan persaingan kadrun vs cebong di Indonesia.

Bedanya, di Amerika persaingan itu berjalan dalam koridor demokrasi liberal yang sudah mempunyai pondasi konstitusi yang kokoh, sedangkan di Indonesia polarisasinya terjadi dengan saling hujat dan serang sampai tidak mengindahkan etika dan tata krama.

Fenomena di Indonesia sudah mengarah kepada fenomena dua partai seperti yang terjadi di Amerika.

Sejak masa kemderdekaan sampai sekarang, Indonesia menerapkan sistem multi-partai dengan jumlah partai puluhan dan ratusan dalam setiap kontestasi pemilu.

Sejak pemilu demokratis pertama pada 1955 sampai pemilu mutakhir 2019, puluhan partai yang berkontestasi itu mempunyai muara yang sama, yaitu nasionalis dan religius.

Dua aliran utama itu menjadi ideologi semua partai yang ada di Indonesia. Perbedaan ideologi yang terjadi hanya sekadar varian atau faksionalisasi belaka.

Perbedaan antara Partai Golkar, Nasdem, Demokrat, Hanura, dan partai-partai sejenis hampir tidak ada kecuali varian-varian saja.

Partai-partai yang berazaskan Islam juga tidak banyak bedanya, seperti PKB dengan PPP, atau PAN dengan Partai Ummat.

PKS pun yang sering disebut sebagai partai konservatif sekarang berusaha bergeser ke tengah menjadi partai yang lebih moderat.

Pada pendulum lainnya ada PDIP yang mewakili ideologi nasionalis-sekularis dan liberal.

Sama dengan Partai Demokrat di Amerika, PDIP mempunyai banyak varian gerakan di dalamnya, dari mulai kiri luar yang mendekati komunis sampai kiri tengah yang lebih moderat.

PDIP berada pada kuadran kiri dan partai-partai Islam berada pada kuadran kanan.

Meski demikian, dalam praktiknya partai-partai yang berbeda ideologi itu sekarang bergabung dalam koalisi besar mendukung pemerintah.

Koalisi partai-partai lebih banyak karena alasan pragmatis ketimbang alasan ideologis.

Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto sudah berupaya untuk menyederhanakan partai-partai melalui fusi atau penggabungan berdasarkan ideologi masing-masing partai.

Partai-partai berasas Islam digabungkan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai-partai berazas nasionalisme diringkas kedalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Golkar, partai politik bentukan pemerintah, berada di luar fusi itu.

Fusi ini sebenarnya menjadi langkah yang visioner dan modern, cuma sayangnya fusi dilakukan melalui tindakan otoriter yang tidak demokratis sehingga kemudian ambyar ketika rezim Soeharto jatuh.

Soeharto memaksakan berlakunya asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Rezim Soeharto mengerahkan segala kekuatan untuk memaksakan berlakunya astung, ‘’asas tunggal’’ dengan segala cara.

Ketika rezim Orde Baru ambruk, asas tunggal berantakan dan sistem multipartai dengan puluhan parpol berlaku lagi di era reformasi pasca-Soeharto.

Penggabungan aliran ideologi menjadi tiga kelompok besar ini sudah dilakukan oleh antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz yang melakukan penelitian pada 1960-an di Jawa Timur.

Hasil penelitian Geertz dituangkan dalam ‘’The Religion of Java’’ yang membagi masyarakat menjadi tiga aliran besar, santri, priyayi, dan abangan.

Santri adalah kelompok religius yang berada di perkotaan dan pesisir, priyayi adalah kelompok aristokrat-ambtenaar yang berada di birokrasi pemerintahan, dan abangan adalah kelompok sinkretis gabungan Islam dan tradisi Hindu yang dianut oleh masyarakat petani di pedesaan.

Fusi yang dilakukan Orde Baru terhadap partai-partai juga didasarkan pada tiga aliran besar itu.

Akan tetapi, karena semua ormas dan parpol dipaksa untuk menerima astung melalui pemaksaan yang represif maka fusi itu tidak bisa bertahan lama.

Sistem multipartai pada era reformasi memunculkan polarisasi yang tajam di masyarakat, terutama dalam satu dekade terakhir di bawah Presiden Joko Widodo.

Fenomena ini mirip dengan sistem multipartai semasa Orde Lama.

Karena itu kemudian muncul gagasan rekonsiliasi nasional dengan menyodorkan konsep calon tunggal alias ‘’caltung’’.

Surya Paloh menawarkan pasangan caltung Anies Baswedan-Ganjar Pranowo sebagai upaya mengakhiri polarisasi.

Akan tetapi, gagasan ini belum sepenuhnya diterima semuan pihak dengan berbagai alasan.

Sebagaimana masyarakat Amerika yang terkanalisasi ke kubu Republik dan Demokrat, Indonesia juga punya kecenderungan kanalisasi dua partai, yaitu religius dan nasionalis.

Ketika demokrasi sudah matang idealnya hanya akan ada dua partai besar saja. Indonesia seharusnya bisa menuju ke sistem dua partai karena suprastruktur masyarakat sudah mengerucut kepada dua kubu religius dan nasionalis.

Yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus nasional untuk menjamin bahwa Pancasila akan tetap menjadi dasar negara, siapa pun yang berkuasa.

Astung yang dipaksakan terbukti akhirnya ambyar. Caltung yang dipaksakan bisa bernasib sama. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler