Cara Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon Merevitalisasi Aset Kerajaan

Mulai Undang Ketua RW hingga Temui Presiden

Jumat, 04 Januari 2013 – 09:12 WIB
PRA. Arief Natadiningrat, SE, Sultan Kasepuhan Cirebon XIV di Kesultanan Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat (Desember 2012). Foto: Sugeng Sulaksono / Jawa Pos
DALAM dua tahun pertama menjadi sultan Keraton Kasepuhan Cirebon, Arief Natadiningrat hanya berfokus pada kebersihan dan ketertiban lingkungan keraton. Namun, dari langkah sederhana itulah muncul titik terang bagi masa depan salah satu peninggalan sejarah tertua di Indonesia tersebut.
---------------
SUGENG SULAKSONO, Jakarta
--------------
Sekilas, tidak ada yang istimewa saat menjejakkan kaki di pintu gerbang Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada tengah hari yang panas di pertengahan Desember 2012, Jawa Pos yang datang bersama rombongan PT Toyota Astra Motor (TAM) hanya bisa merasakan nuansa hening seperti di kebanyakan keraton yang masih bertahan di negeri ini.

Namun, dalam keheningan itulah bisa disaksikan berbagai keistimewaan "istana" seluas 25 hektare yang berdiri sejak abad ke-14 tersebut. Itu dirasakan setelah secara runut dan perlahan Sultan Kasepuhan Cirebon Arief Natadiningrat dengan bangga bercerita tentang kerajaan warisan ayahnya, H Maulana Pakuningrat SH, sejak tiga tahun lalu tersebut.

Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Pajajaran. Seperti Kesultanan Demak yang meneruskan  Kerajaan Majapahit. Demak dan Cirebon kemudian menjadi dua kerajaan Islam pertama yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya negara RI.

Bedanya, Kasepuhan Cirebon masih sanggup mempertahankan berbagai orisinalitas di dalamnya. Termasuk menjaga silsilah keluarganya sampai sekarang.  "Barangkali (Kasepuhan Cirebon) yang hingga kini paling terjaga orisinalitasnya, khususnya dari aspek fisik," ujarnya.

Arief lalu mencontohkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang masih utuh seperti aslinya ketika dibangun pada 1480. Masjid itu dibangun atas perintah Sunan Gunung Jati yang menunjuk Sunan Kalijaga sebagai pimpinan proyek dan Raden Sepat dari Majapahit sebagai arsiteknya. Di masjid itu juga terdapat soko tatal atau tiang dari serpihan kayu buatan Sunan Kalijaga.

Sementara itu, tiang masjid seangkatannya, yaitu Masjid Agung Demak, sudah ditidurkan dan diganti dengan yang baru. "Yang sezaman memang hampir punah semua," ucap raja kelahiran 5 September 1965 itu.

Sebuah bangunan kecil yang disebut Mande Jajar berukuran 3 meter x 3 meter pemberian Prabu Siliwangi kepada Pangeran Cakrabuana untuk memimpin Cirebon juga masih ada. Bangunan itu tersimpan di depan Astana Gunung Jati. "Termasuk bangunan dari Demak, Mande Mango, juga masih tersimpan dengan baik di tempat kami," tuturnya.

Astana Gunung Jati sendiri merupakan kompleks makam para sultan Cirebon. Yang paling tinggi makam Sultan Gunung Jati.

Keraton Cirebon juga masih menyimpan dengan baik piring-piring dan keramik dari Tiongkok pemberian salah satu istri Sunan Gunung Jati, Putri Ong Tin Mio, pada abad ke-15. Ada pula berbagai pusaka seperti pedang Sunan Kalijaga, pedang dan jubah Sunan Gunung Jati, golok dari Pajajaran, serta 150 naskah kuno yang tertulis dengan huruf Jawa dan Arab pegon. Naskah tersebut ditulis di lontar, dalurang, dan kertas Eropa.

Berbagai naskah kuno itulah yang akan menjadi PR Kasepuhan Cirebon di bawah pimpinan Arief untuk dibedah secara bertahap mulai tahun ini. "Di dalamnya kami yakini ada ilmu sejarah, pelajaran agama, pengobatan, dan sebagainya. Selama ini belum pernah kami buka," kata sarjana ekonomi dari Jurusan Manajemen Perusahaan Universitas Islam Nusantara Bandung itu.

Arief menyadari bahwa pihaknya mempunyai keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Karena itu, selama ini naskah yang diyakini berharga tersebut belum tersentuh. "Kami memiliki keterbatasan SDM, biaya, dan beberapa hal lainnya," akunya.

Soal keterbatasan SDM dan finansial itulah yang selama ini juga menjadi fokus perhatian Arief. Meskipun, disadari bahwa berbagai keunggulan yang dimiliki Kasepuhan Cirebon bisa menjadi potensi wisata dan cagar budaya sehingga bisa menghasilkan pendapatan.

Tapi, pada awal bertakhta, Arief tidak terlalu percaya diri untuk benar-benar membuka keraton sebagai objek wisata murni. Ada problem klasik yang harus dia selesaikan, yaitu masalah ketertiban serta kebersihan di lingkungan keraton dan lingkungan sekitar.

Keraton Kasepuhan Cirebon dikelilingi 8 RW (rukun warga) yang dibatasi pagar. Sayang, kesadaran warga bahwa kasepuhan itu merupakan aset berharga masih sangat rendah. Lingkungan keraton tidak beda dengan ladang pembuangan sampah. Warga membuang sampah dengan melemparnya melewati pagar pembatas. Begitu setiap hari. Lama-kelamaan sampah pun menumpuk di halaman keraton.

Ketidakrapian dan kotornya lingkungan tersebut mengurangi wibawa Kasepuhan Cirebon. Akibatnya, orang enggan masuk ke keraton. Arief pun berjanji mengatasi masalah sampah dan ketertiban itu.

"Saya lalu mencanangkan untuk menanam 5 ribu pohon agar di dalam keraton tidak ada tanah telantar yang bisa dijadikan tempat pembuangan sampah. Selain itu, untuk penghijauan," ujarnya.

Setelah itu, secara bertahap Arief mengundang para ketua RW untuk menyamakan persepsi agar bisa menjaga ketertiban dan kebersihan di sekitar lingkungan keraton. Dia kemudian juga mengundang kepala desa, camat, wali kota, bupati, hingga akhirnya sampai ke pemerintah pusat dan bertemu presiden.

"Pada intinya saya ingin bersilaturahmi dengan semua stakeholder. Bahkan dengan semua kedutaan besar negara asing di Indonesia. Saya bicarakan tentang kondisi keraton," paparnya.

Dua tahun lamanya Arief baru berhasil menangani persoalan sampah dan ketertiban lingkungan keraton itu. Kasepuhan Cirebon kini kelihatan relatif bersih meskipun belum rapi sepenuhnya. "Kondisinya kini sudah jauh lebih baik," lanjut dia.

Arief yakin bahwa kebersihan dan ketertiban lingkungan akan membuat tamu betah di dalam keraton. Karena itu, setelah PR besar itu teratasi, Arief berani "membuka diri", mempromosikan keratonnya kepada wisatawan.

Hasilnya tidak sia-sia. Saat ini jumlah pengunjung Kasepuhan Cirebon rata-rata 400 orang per hari. Mayoritas turis domestik. Sebelumnya, jumlah pengunjung keraton itu masih di bawah 100 orang per hari.

Di awal tahun ini, tepatnya 6 Januari nanti, Keraton Cirebon akan mendapat banyak tamu asing. Kapal MV Minerva akan bersandar di Pelabuhan Cirebon yang berjarak sekitar 1 km dari kasepuhan. Kapal itu membawa 200 turis mancanegara. Mereka bakal naik becak dari pelabuhan ke keraton.

Tentu saja setiap wisatawan yang masuk ke keraton dikenai biaya. Untuk para pelajar, tiket masuk seharga Rp 2.000. Turis domestik dipatok tarif Rp 5.000. Sedangkan tiket untuk turis asing Rp 10.000 per orang. Uang dari tiket itu semata-mata digunakan untuk biaya perawatan aset negara tersebut.

"Tarif ini paling murah se-Indonesia. Coba bandingkan dengan lokasi wisata cagar budaya lainnya," jelas dia.

Penguatan finansial menjadi fokus Arief berikutnya dalam upaya pembenahan Kasepuhan Cirebon agar tetap eksis. Upaya itu sudah dimulai dengan perombakan struktur pengelolaan objek wisata agar lebih profesional. Di lingkungan keraton itu kini ada sekitar 100 pekerja yang siap melayani para wisatawan. Sebelumnya, jumlah pegawai hanya 30 orang.

Honor pekerja juga ditingkatkan rata-rata 300 persen dengan komposisi beragam. Misalnya, bila sebelumnya hanya mendapat honor Rp 1.000 per hari, kini naik menjadi Rp 3.000. Yang semula Rp 5.000 naik menjadi Rp 12 ribu.

"Dulu biaya operasional keraton sekitar Rp 10 juta per bulan, sekarang Rp 50 juta. Sedangkan pemasukan keraton sekarang sekitar Rp 20 juta per bulan, naik jika dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya Rp 6 juta," ulasnya.

Tentu saja pihak keraton harus bisa menutupi kekurangan biaya operasional yang lebih besar daripada pemasukan yang diperoleh setiap bulan itu. Arief pun rela mengeluarkan uang pribadi rata-rata Rp 20 juta per bulan untuk menutupi defisit biaya tersebut.

Untung, Arief memiliki bisnis di berbagai bidang usaha, mulai restoran hingga konstruksi. Dengan begitu, dana pribadinya itu masih bisa digunakan untuk menutupi kekurangan biaya operasional tersebut. "Tetapi, harus mulai dicarikan solusi agar tidak bergantung kepada orang per orang saja. Profesionalitas tetap perlu," kata pengurus Dewan Pembina Kadin Jawa Barat dan Dewan Pembina Himpi Jawa Barat itu.

Apalagi, di luar keraton itu, Kesultanan Cirebon masih mempunyai tanggung jawab di tempat lain yang membutuhkan perhatian. Antara lain, 200 wewengkon atau situs-situs peninggalan sejarah seperti masjid, makam, petilasan, gua, dan kolam yang tersebar di Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Subang, sampai Brebes (Jawa Tengah).

Di 200 situs itu, secara tradisi diangkat juru kunci yang juga menjadi tanggung jawab kasepuhan. Misalnya di Astana Gunung Jati yang dipimpin seorang jeneng yang membawahkan 4 bekel sepuh, 8 bekel anom, 10 juru mudi, dan 10 keraman. Begitu juga di Masjid Agung, kasepuhan mesti mengurusi 16 abdi dalem.

Mereka boleh bekerja di tempat lain jika sedang sepi tamu. Itu dilakukan agar mereka bisa menghidupi rumah tangga masing-masing. Pasalnya, honor mereka dari keraton tak seberapa. "Saya sedang memikirkan bagaimana me-manage mereka secara profesional sehingga kehidupan mereka bisa terangkat," papar Arief.

Arief mengaku tidak memiliki ambisi muluk-muluk dari jabatannya sebagai raja. Dia hanya ingin menyelesaikan segala persoalan hingga menemukan sistem manajerial keraton yang paten.

"Saya berharap, kelak keraton sebagai pusat budaya dan destinasi pariwisata bisa berdampak positif bagi masyarakat dan negara," tandas ketua Badan Pekerja Silaturahmi Nasional Raja-Sultan Nusantara itu. (*/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dreadout, Game Horor 3D Rancangan Para Animator Bandung

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler