jpnn.com - SEPAKBOLA memang olah raga spesial, semua hal yang berkaitan dengan olah raga ini selalu menarik untuk diikuti. Dibelahan dunia manapun, di negara yang sepakbolanya maju sampai ke negara yang sepakbola nya ngga maju-maju, sepakbola selalu memiliki daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan. Tidak mengherankan jika olahraga ini menjadi yang paling populer di seantero jagat raya. Suka atau tidak demikian lah adanya.
Termasuk di Indonesia Raya tercinta ini, negara yang sepakbola nya (maaf) kaya akan masalah namun miskin prestasi. Di negeri Merah-Putih ini segala sesuatu yang berkaitan dengan sepakbola juga menjadi hal yang selalu menarik perhatian banyak orang. Baik bagi mereka yang paham maupun mereka yang sok paham, dua golongan yang dalam begitu banyak kesempatan tidak pernah sepaham.
BACA JUGA: 5 Pemain Paling Sering Dilanggar di Premier League
Saya tidak sedang ingin berkata bahwa saya termasuk kedalam golongan orang-orang yang paham, mengingat faktanya banyak intrik-intrik politik di sepakbola Indonesia yang sama sekali tidak saya pahami.
Namun demikian, saya juga menolak untuk masuk kedalam golongan mereka yang sok paham, lha wong faktanya saya berkecimpung di lingkar dalam sepakbola Indonesia. Sehingga sedikit sebanyak tahu mana golongan pandawa, golongan kurawa dan juga sangkuni nya.
BACA JUGA: Sebar Jadwal dan Regulasi Piala Kemerdekaan, Tim Transisi Tak Perlu Tunggu Respon Klub
Tapi sudah lah kita lewati saja masalah paham atau tidak paham seperti yang tersebut diatas, toh pada akhirnya setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat mengenai permasalahan sepakbola ini.
Langsung saja ke pokok permasalahan. Beberapa hari belakangan saya banyak mendapat pertanyaan melalui jejaring sosial yang kurang lebih isi nya sebagai berikut:
BACA JUGA: Ini Permintaan Khusus Erick Thohir pada Suporter Inter
- - Apakah sudah mengetahui jika ada petisi Cabut Pembekuan PSSI?
- - Jika sudah tahu apakah mendukung petisi tersebut?
- - Jika mendukung apakah sudah menandatangani dan menyebarkan petisi tersebut?
- - Dan apakah sepaham dengan himbauan agar melaporkan Menpora ke Komnas HAM karena telah melanggar hak asasi para pelaku sepakbola?
Saya akan coba jawab satu-persatu dengan jujur di bawah ini:
Pertama apakah saya mengetahui? Iya saya mengetahui, melihat dan membaca petisi tersebut. Kedua, apakah saya mendukung? Sejujurnya, saya dalam posisi yang tidak sepenuhnya yakin, atau katakanlah mendukung namun dengan syarat-syarat tertentu. Ketiga, apakah saya menandatangai dan menyebarkan petisi tersebut? Karena saya tidak sepenuhnya sepaham dengan petisi tersebut, tentu saja tidak.
Jawaban yang bagi kebanyakan orang mungkin janggal. Janggal mengingat sebagai pesepakbola yang selama beberapa bulan terakhir ini kehilangan mata pencaharian "seharusnya" saya mendukung penuh petisi tersebut.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, mari saya jelaskan.
Begini, dari sudut pandang sepakbola Indonesia harus aktif kembali, sudah barang tentu saya setuju. Karena cepat atau lambat sepakbola kita memang harus kembali bergeliat, dan tidak boleh mati. Namun apakah sepakbola Indonesia sudah cukup sehat dan siap untuk beraktifitas kembali? nah dari sudut ini saya masih merasa ragu.
Karena, sepakbola Indonesia yang harus aktif kembali dan apakah sepakbola Indonesia sudah cukup sehat untuk kembali beraktifitas adalah dua hal yang berbeda.
Sepakbola Indonesia sedang sakit, saya pikir kita semua setuju. Hanya orang-orang yang mendapatkan keuntungan dari sakitnya sepakbola Indonesia yang berkata jika sepakbola Indonesia baik-baik saja.
Oleh karena itu, jika pembekuan dicabut begitu saja tanpa ada persyaratan yang harus terlebih dahulu dipenuhi, menurut saya kok sama saja seperti kita pergi ke dokter namun pas pulang tidak menebus resep obat yang diberikan, ya tidak akan ada yang berubah. Padahal tujuan kita ke dokter adalah untuk mendapatkan obat yang tepat agar penyakit yang tengah manghinggapi tubuh kita sembuh.
Idealnya menurut saya kok seperti ini. Pembekuan dicabut, namun PSSI sebagai organisasi yang dijatuhi sanksi juga harus membuat kesepakatan tertulis dengan pihak-pihak tertentu dalam hal ini klub, pelatih, pesepakbola, wasit, perangkat pertandingan, dan juga suporter. Dimana isi dari kesepakatan tersebut adalah jaminan jika segala permasalahan yang selama ini terjadi, tidak akan terjadi lagi dimasa-masa yang akan datang.
Permasalah dalam hal ini berkaitan dengan tata kelola liga, penerapan segala aturan dengan sebagaimana mestinya, pembayaran hak-hak dasar (gaji dan jaminan kesehatan) bagi para pelaku sepakbola (pelatih, pesepakbola, wasit, dan perangkat pertandingan), serta pengelolaan organisasi sepakbola Indonesia dengan se-profesional mungkin.
Sebuah syarat yang menurut hemat saya tidak sulit untuk dilakukan oleh PSSI. Bukankah salah satu poin utama alasan PSSI meminta agar pembekuan dicabut, adalah agar para pelaku sepakbola kembali mendapatkan hak-hak hidupnya? dan bukankah apa yang tersebut diatas juga menjadi apa yang selalu ditekankan oleh FIFA kepada seluruh anggotanya?
Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah, apakah ini menjadi bentuk dari intervensi pihak lain? saya pikir kok bukan. Kesepakatan ini murni antara PSSI dengan para pelaku sepakbola di tanah air, bukan dengan pemerintah. Sebuah kesepakatan yang murni didasari dengan itikat baik untuk membuat sepakbola Indonesia menjadi lebih baik. Bukankah begitu muara dari pembinaan sepakbola itu sendiri?
Lupakan urusan di PTUN (sidang, putusan, banding dsb) yang memakan waktu dan tenaga. Mari kita coba selesaikan dengan semangat kebersamaan, jiwa yang bersih, serta hati yang jujur.
Jika PSSI bersedia melakukan kesepakatan diatas, namun Menpora tetap saja tidak bersedia mencabut SK pembekuan, maka ada yang salah dengan Menpora. Begitu juga sebaliknya, jika Menpora bersedia mencabut SK pembekuan, namun PSSI tidak bersedia melakukan kesepakatan dengan para pelaku sepakbola Indonesia, maka ada yang salah dengan PSSI.
Disini kita akan melihat mana pihak yang benar-benar ingin memperbaiki sepakbola Indonesia, dan mana yang tidak
Dalam setiap permasalahan sepakbola di Indonesia, seperti biasa pesepakbola selalu dalam posisi yang dilematis. Kegiatan sepakbola dihentikan sepenuhnya serti saat ini sudah barang tentu menghilangkan mata pencaharian para pesepakbola.
Namun kegiatan sepakbola kembali berjalan normal, belum tentu juga membuat nasip para pesepakbola serta-merta membaik, wong belum tentu juga hak-hak nya dibayarkan tepat waktu.
Karena tidak ada artinya juga jika sepakbola Indonesia aktif kembali, namun hak-hak para pelaku sepakbola tetap tertunggak seperti yang lalu-lalu. Apakah ada bedanya, tidak ada kompetisi tidak ada penghasilan, dengan liga bergulir namun hak-hak tertunggak?
Hal tersebut dengan sendirinya menjawab pertanyaan terakhir dari daftar pertanyaan di awal tulisan ini, apakah sepaham dengan himbauan agar melaporkan Menpora ke Komnas HAM karena telah melanggar hak asasi para pelaku sepakbola?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:
Jika kondisi saat ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi pesepakbola, apakah lemahnya perlindungan hak-hak pesepakbola seperti apa yang terjadi selama lima tahun terakhir (bahkan hingga ada yang meninggal dunia) bukan termasuk kedalam kategori pelanggaran hak asasi manusia? Tidak ada bedanya saudara-saudara.
Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada siapapun posisi saya dalam menanggapi adanya petisi pencabutan SK pembekuan adalah, mendukung pencabutan asalkan PSSI bersedia untuk membuat sebuah kesepakatan dengan pihak-pihak yang telah saya sebutkan diatas tadi.
Saya pikir kita semua (pihak-pihak yang masih peduli dengan sepakbola tanah air) dapat menginisiasi terjadinya kesepakatan ini. Semakin banyak pihak yang menekan Menpora dan PSSI untuk menyudahi perseteruan ini dengan syarat-syarat diatas tentu semakin baik.
Karena sekali lagi, jika pembekuan dicabut begitu saja tanpa ada syarat apapun, maka sepakbola Indonesia tetap saja akan sakit, dan tidak akan kemana-mana. (*)
oleh:
Bambang Pamungkas
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ya Ampun! Bekas Pemain Persija jadi Tukang Odong-Odong
Redaktur : Tim Redaksi