Catatan KNKT: ada 9 Faktor yang Saling Berkaitan dengan Penyebab Jatuhnya Pesawat Lion Air JT610

Sabtu, 26 Oktober 2019 – 04:20 WIB
Keluarga korban Lion Air JT 610. Foto: JPG/Pojokpitu

jpnn.com, JAKARTA - Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) mengungkap hasil investigasi jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada Oktober 2018 di Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Kasubkom Penerbangan sekaligus investigator dalam kecelakaan Lion Air dengan nomor penerbangan PK-LQP Nurcahyo Utomo menuturkan pada 29 Oktober 2018, pesawat dioperasikan dari Jakarta menuju Pangkal Pinang, FDR merekam kerusakan yang sama terjadi pada penerbangan ini.

BACA JUGA: Keluarga Korban JT-610 Tuntut Lion Air Segara Bayar Kompensasi

"Pilot melaksanakan prosedur non-normal untuk IAS Disagree (indikator kecepatan berbeda-beda-red), namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer. Beberapa peringatan l, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC berkontribusi pada kesulitan pilot untuk mengendalikan pesawat," ujar Nurcahyo, Jumat (25/10).

MCAS yakni fitur yang baru ada di pesawat boeing 737-8 (MAX) untuk memperbaiki karakteristik angguk (pergerakan pada bidang vertikal) pesawat pada kondisi flap up, manual flight, (tanpa auto pilot) dan AOA tinggi.

BACA JUGA: Lion Air JT-714 Tergelincir di Bandara Supadio

Proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai, juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS.

"KNKT langsung menerbitkan rekomendasi kepada Lion Air, Batam Aero Technic, Airnav Indonesia, Boeing Company, Xtra Aerospace, Indonesia DGCA, dan Federal Aviation Adninistration (FAA)," kata Nurcahyo.

BACA JUGA: Lion Air Pindahkan Posko Penanganan Korban JT-610

Nurcahyo juga menjelaskan ada sembilan faktor yang berkontribusi dan saling berkaitan dalam jatuhnya pesawat Lion Air JT 610.

1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat 

2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi

3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan

4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dala buku panduan dan pelatihan

5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor

6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya

7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi

8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat 

9. Beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif.(chi/jpnn) 


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler