BOGOR - Tradisi politik "dagang sapi" jelang hajatan demokrasi lima tahunan, tak bisa dihindari para calon walikota (cawalkot). Bagi kader partai politik (parpol), mungkin dimudahkan dengan adanya kedekatan struktural. Tapi bagi kalangan eksternal, maka harus rela merogoh kocel dalam-dalam.
Dalam politik "dagang sapi" dikenal istilah untung depan dan untung belakang. Untung depan untuk transaksi "mahar" atau dana pemenangan selama Pilkada digelar. Sementara untung belakang untuk transaksi setelah cawalkot tersebut berhasil menang, biasanya berupa jatah proyek APBD.
“Bila cawalkotnya kader parpol, biasanya dibangun kontrak politik jangka menengah, sehingga bisa bisa menggakses APBD. Bila cawalkotnya dari nonparpol, misalnya birokrat, bisanya beli putus tanpa pembicaraan jangka menengah lebih detail. Bisa dibilang beli putus,” kata sumber Radar Bogor (Grup JPNN) dari lingkungan parpol Kota Bogor.
Celakanya, saat perahu parpol terbatas, kemunculan cawalkot justru tak terbendung. Paling banyak dari kalangan birokrat, dari mantan sekda, sekda aktif, asisten daerah, kepala dinas, hingga kepala bagian ikut memproklamirkan diri sebagai cawalkot Bogor.
Sumber itu menyebutkan, para calon dari birokrat itu berusaha memaknai arah telunjuk Walikota Bogor Diani Budiarto. Tapi sayangnya, restu dari kepala daerah dua periode itu sukar ditebak.
“Hingga kini hanya sebatas klaim. Bisa jadi, Diani pun masih galau mengarahkan telunjuknya, sehingga para cawalkot dari birokrat mencari jalan sendiri menuju Pilkada,” terang sumber itu.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof Chaniago menilai, hubungan tramsaksional antara parpol dengan cawalkot telah mengikis kualitas dari penyelenggaraan Pilkada. “Outputnya bisa tidak berkualitas,” ujarnya.
Menurut Andrinof, kepala daerah yang terpilih dari Pilkada berbudaya money politic tak akan sesuai dengan kebutuhan publik di daerah tersebut. “Harus dibedakan antara money politic dan biaya politik. Keduanya bicara soal dana tapi berbeda,” terangnya.
Andrinof menjelaskan, money politic dilakukan sebelum adanya penunjukkan, sehingga besar-kecilnya "mahar" sangat mempengaruhi turunnya rekomendasi dari parpol.
“Sementara biaya politik, biasanya dibicarakan intensif, setelah parpol menentukan cawalkotnya. Biaya politik untuk kampanye dan saksi dibuat seminim mungkin, tapi tetap efektif,” katanya.
Setali tiga uang, pengamat politik Sofyan Sjaf mengakui adanya biaya politik yang tak bisa dihindari. “Tapi jangan munafik, parpol pun meminta dana untuk penghidupan mesin partai hingga ke akar rumput,” jelasnya.
Lantas berapa biaya politik logis untuk Pilkada Kota Bogor? Dilihat dari luasan Kota Bogor dan kalkulasi jumlah pemilih sekitar 800 ribuan voters, menurut Sofyan, biaya politiknya antara Rp15 - 20 miliar. “Itu belum dana tetek-bengek dan wara-wiri blusukan,” jawabnya.
Saat dikonfirmasi, para petinggi partai beramai-ramai membantah. Ketua DPC Demokrat Kota Bogor, Adhi Daluputra membantar isu hubungan transaksional yang mendera partai berlambang segitiga mercy itu. Adapun transaksi dana dari cawalkot, digunakan untuk untuk sosialisasi. “Ah, kami tidak ada menarik dana transaksional seperti itu. Dana Rp25 juta itu untuk biaya sosialisasi selama mengikuti proses penjaringan,” ucapnya, berkilah.
Sama seperti PD, PDIP pun ramai bookingan cawalkot. Awalnya, tak kurang dari 16 cawalkot telah telah mendaftar. “Kami tidak memungut biaya apapun dalam proses penjaringan ini. Tidak betul jika ada sistem transaksional seperti itu. Itu wewenang DPP,” bantah Sekretaris DPC PDIP Kota Bogor, Slamet Wijaya.
DPC Gerindra Kota Bogor, Sopian Ali Agam mengatakan, rekomendasi cawalkot merupakan kewenangan di tingkat pusat. “Ah, tidak ada seperti itu. Soal kontrak politik atau dana pemenangan kampanye, itu wewenang DPP. Kami hanya ditugaskan membuka komunikasi untuk dirujuk ke tingkatan koalisi saja,” ucapnya.
Begitupun Ketua DPC PBB Kota Bogor, Subhan Murtadla. Ia mengatakan, transaksi antara parpol dan cawalkot tidak seperti jual-beli "daging sapi". “Tidak ada model seperti itu. Kami di tingkat cabang, sama sekali tidak meminta dana apapun untuk masing-masing calon yang ikut penjaringan,” ujarnya.
Ketua Bapilu Hanura Kota Bogor, Vera Manida Febrina menyatakan tidak ada pungutan dana pada cawalkot. “Hasil pleno sudah kami serahkan ke DPD Hanura Jabar. Saat ini sedang diproses ke DPP, kami menunggu keputusannya,” tandasnya. (cr17/yus/d)
Dalam politik "dagang sapi" dikenal istilah untung depan dan untung belakang. Untung depan untuk transaksi "mahar" atau dana pemenangan selama Pilkada digelar. Sementara untung belakang untuk transaksi setelah cawalkot tersebut berhasil menang, biasanya berupa jatah proyek APBD.
“Bila cawalkotnya kader parpol, biasanya dibangun kontrak politik jangka menengah, sehingga bisa bisa menggakses APBD. Bila cawalkotnya dari nonparpol, misalnya birokrat, bisanya beli putus tanpa pembicaraan jangka menengah lebih detail. Bisa dibilang beli putus,” kata sumber Radar Bogor (Grup JPNN) dari lingkungan parpol Kota Bogor.
Celakanya, saat perahu parpol terbatas, kemunculan cawalkot justru tak terbendung. Paling banyak dari kalangan birokrat, dari mantan sekda, sekda aktif, asisten daerah, kepala dinas, hingga kepala bagian ikut memproklamirkan diri sebagai cawalkot Bogor.
Sumber itu menyebutkan, para calon dari birokrat itu berusaha memaknai arah telunjuk Walikota Bogor Diani Budiarto. Tapi sayangnya, restu dari kepala daerah dua periode itu sukar ditebak.
“Hingga kini hanya sebatas klaim. Bisa jadi, Diani pun masih galau mengarahkan telunjuknya, sehingga para cawalkot dari birokrat mencari jalan sendiri menuju Pilkada,” terang sumber itu.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof Chaniago menilai, hubungan tramsaksional antara parpol dengan cawalkot telah mengikis kualitas dari penyelenggaraan Pilkada. “Outputnya bisa tidak berkualitas,” ujarnya.
Menurut Andrinof, kepala daerah yang terpilih dari Pilkada berbudaya money politic tak akan sesuai dengan kebutuhan publik di daerah tersebut. “Harus dibedakan antara money politic dan biaya politik. Keduanya bicara soal dana tapi berbeda,” terangnya.
Andrinof menjelaskan, money politic dilakukan sebelum adanya penunjukkan, sehingga besar-kecilnya "mahar" sangat mempengaruhi turunnya rekomendasi dari parpol.
“Sementara biaya politik, biasanya dibicarakan intensif, setelah parpol menentukan cawalkotnya. Biaya politik untuk kampanye dan saksi dibuat seminim mungkin, tapi tetap efektif,” katanya.
Setali tiga uang, pengamat politik Sofyan Sjaf mengakui adanya biaya politik yang tak bisa dihindari. “Tapi jangan munafik, parpol pun meminta dana untuk penghidupan mesin partai hingga ke akar rumput,” jelasnya.
Lantas berapa biaya politik logis untuk Pilkada Kota Bogor? Dilihat dari luasan Kota Bogor dan kalkulasi jumlah pemilih sekitar 800 ribuan voters, menurut Sofyan, biaya politiknya antara Rp15 - 20 miliar. “Itu belum dana tetek-bengek dan wara-wiri blusukan,” jawabnya.
Saat dikonfirmasi, para petinggi partai beramai-ramai membantah. Ketua DPC Demokrat Kota Bogor, Adhi Daluputra membantar isu hubungan transaksional yang mendera partai berlambang segitiga mercy itu. Adapun transaksi dana dari cawalkot, digunakan untuk untuk sosialisasi. “Ah, kami tidak ada menarik dana transaksional seperti itu. Dana Rp25 juta itu untuk biaya sosialisasi selama mengikuti proses penjaringan,” ucapnya, berkilah.
Sama seperti PD, PDIP pun ramai bookingan cawalkot. Awalnya, tak kurang dari 16 cawalkot telah telah mendaftar. “Kami tidak memungut biaya apapun dalam proses penjaringan ini. Tidak betul jika ada sistem transaksional seperti itu. Itu wewenang DPP,” bantah Sekretaris DPC PDIP Kota Bogor, Slamet Wijaya.
DPC Gerindra Kota Bogor, Sopian Ali Agam mengatakan, rekomendasi cawalkot merupakan kewenangan di tingkat pusat. “Ah, tidak ada seperti itu. Soal kontrak politik atau dana pemenangan kampanye, itu wewenang DPP. Kami hanya ditugaskan membuka komunikasi untuk dirujuk ke tingkatan koalisi saja,” ucapnya.
Begitupun Ketua DPC PBB Kota Bogor, Subhan Murtadla. Ia mengatakan, transaksi antara parpol dan cawalkot tidak seperti jual-beli "daging sapi". “Tidak ada model seperti itu. Kami di tingkat cabang, sama sekali tidak meminta dana apapun untuk masing-masing calon yang ikut penjaringan,” ujarnya.
Ketua Bapilu Hanura Kota Bogor, Vera Manida Febrina menyatakan tidak ada pungutan dana pada cawalkot. “Hasil pleno sudah kami serahkan ke DPD Hanura Jabar. Saat ini sedang diproses ke DPP, kami menunggu keputusannya,” tandasnya. (cr17/yus/d)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Djoko Santoso Tunggu Pinangan Parpol
Redaktur : Tim Redaksi