Cegah Putus Sekolah, Aris Prasetyo Ajak Siswa Bikin Film Pendek

Empat Tahun, Jumlah Murid Naik Tujuh Kali Lipat

Rabu, 26 Desember 2012 – 02:51 WIB

Awalnya, niat Aris Prasetyo mendirikan kegiatan ekstrakurikuler film di SMP tempatnya mengajar sangat sederhana. Dia hanya ingin menarik minat anak-anak di desa pedalaman Purbalingga, Jateng, untuk melanjutkan sekolah. Empat tahun berjalan, puluhan award film pendek diraih dan minat siswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP meningkat tujuh kali lipat.

Priyo Handoko, Jakarta

SUATU ketika, pada awal 2008, pandangan mata Aris Prasetyo tanpa sengaja tertuju pada sebuah brosur berupa fotokopi hitam putih yang tidak menarik. Brosur berwarna buram itu berisi pengumuman penerimaan siswa baru SMP Negeri 4 Satu Atap, Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karang Moncol, Purbalingga, Jateng.

Sang istri yang kebetulan menjadi guru madrasah ibtidaiyah di Desa Tunjungmuli tiba-tiba menyemangatinya untuk ikut mengabdi sebagai guru SMP di lereng Gunung Slamet itu. Aris yang saat SMA memang bercita-cita menjadi guru seolah mendapat pencerahan. Apalagi, ayahnya merupakan pensiunan guru.

Tanpa banyak pikir, alumnus Jurusan Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta pada 2006 itu memutuskan untuk mendaftar sebagai guru. "Seminggu kemudian, saya diterima menjadi guru pengabdi (non-PNS, Red)," kata Aris di Jakarta pekan lalu.

Setelah bergabung dengan SMP Negeri 4 Satu Atap, Aris baru mengetahui bahwa sekolah dengan dua ruang kelas dan satu ruang guru itu hanya memiliki 39 siswa. Sudah jadi rahasia umum, anak-anak Desa Tunjungmuli dan sekitarnya kurang berminat untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. Faktor orang tua yang juga tidak antusias tentu berpengaruh.

Lingkaran setan tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. Karena itu, didirikanlah SMP Negeri 4 Satu Atap pada 2007. SMP itu disebut "satu atap" karena lokasinya menyatu dengan SD Negeri 2 Tunjungmuli. "Begitu lulus SD, kalau nggak menikah, ya berangkat (mencari kerja, Red) ke Jakarta," ungkap pria kelahiran Purbalingga, 4 Juli 1979, itu.

Aris merasa prihatin dengan kondisi tersebut. Dia berupaya memikirkan cara yang efektif untuk menarik minat anak-anak dan orang tua.

Dia lantas mengusulkan kepada pimpinan sekolah untuk mendirikan kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) film. Aris langsung turun tangan dengan menjadi guru pembina. Dia juga mengajak rekannya, Adi Priyanto, seorang guru bahasa di sekolah untuk memperkuat dari unsur drama.

Dalam waktu singkat, Aris berhasil merampungkan "proyek pertama" film pendek  mengenai profil SMP Negeri 4 Satu Atap. Inti film pendek itu sebenarnya mengajak anak-anak untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP.

Ada cerita mengenai keberhasilan siswa SMP itu meraih juara I lomba lukis se-Kabupaten Purbalingga. Ada juga cerita mengenai ekskul film yang baru saja dibentuk.

Begitu film berdurasi kurang dari 15 menit itu siap tayang, Aris memasang layar tancap di lapangan seberang sekolah. Respons masyarakat luar biasa.

"Warga yang datang untuk melihat banyak banget. Anak -anak senang," tuturnya.

Yang lebih membuat Aris bahagia, pada tahun itu jumlah siswa yang masuk di SMP Negeri 4 Satu Atap melonjak menjadi 129 siswa. Sampai-sampai ruang guru terpaksa ikut dipakai menjadi kelas.

Perkembangan positif itu membuat Aris dan kawan-kawan bertekad terus mengembangkan ekskul yang baru dirintisnya tersebut. Selain Adi Priyanto, Aris mendapat bantuan "tenaga" dari staf tata usaha bernama Malik Abidin dan seorang penjaga sekolah Tofik Hidayat. Belakangan, Wildan Mukhib, guru bimbingan konseling, juga ikut mengasuh ekskul film.

Sebagai sarjana seni rupa murni, dari mana Aris mendapatkan ilmu membuat film? "Kebetulan keluarga punya usaha video shooting manten," kata Aris.

Namun, Aris sebenarnya baru belajar membuat film pendek secara otodidak pada 2004. Bersama sahabatnya, Bowo Leksono, yang pengetahuannya tentang film sama-sama nol puthul, keduanya nekat membuat film pendek berjudul Si Buta dan Penuntunnya.

"Setelah itu, saya dan Bowo sempat bikin film pendek bersama. Tujuan kami ingin melestarikan local power. Maka, semua film yang kami buat pakai bahasa Jawa Banyumasan," tuturnya.

Ketika Aris memilih fokus sebagai guru sambil mengembangkan pembuatan film pendek di kalangan anak didiknya, Bowo terus berkosentrasi pada pengembangan komunitas di Purbalingga. "Kami tetap berhubungan baik di komunitas (film, Red). Tapi, proses kreatif jalan sendiri-sendiri," terangnya.

Untuk menunjang ekskul film, Aris merelakan handycam pribadinya yang berukuran kecil menjadi alat eksperimen para siswa. Belakangan, dia membeli kamera panggul seharga Rp 9 jutaan. "Tapi, hasilnya jelek. Gambarnya kayak handycam," ujarnya, dengan nada jengkel.

Untung, keluarga memperbolehkan Aris meminjam kamera yang masih dipakai untuk bisnis video shooting. "Jadi, semua jalan cuma waton nekat (modal nekat, Red)," ujar bapak satu anak itu.

Namun, semua pengorbanan itu tak sia-sia. Dua film pendek mampu diproduksi anak-anak asuh Aris sepanjang 2009. Masing-masing berjudul Baju buat Kakek dan Sang Patriot. Mulai ide cerita, sutradara, sebagian besar pemeran, sampai proses penggarapan dikerjakan sendiri oleh para siswa. Aris hanya memberikan pengarahan dan bimbingan.

Di luar dugaan, film Baju buat Kakek yang berdurasi 14 menit berhasil menyabet penghargaan Film Terbaik di ajang Festival Film Anak (FFA) Medan pada 2009. "Baju buat Kakek mengisahkan seorang anak bernama Prapti yang tinggal dengan kakeknya," kata Aris.

Suatu hari, sang kakek, seorang pembuat anyaman ceting (bakul nasi), divonis dokter menderita kanker otak. Mengetahui umurnya tak lama lagi, sang kakek mengajak cucunya "Prapti" ke toko kain untuk membeli kain mori sebagai "persiapan". Tapi, toko kain itu rupanya tengah kehabisan stok.

Prapti awalnya tak mengerti bahwa kain mori adalah kain kafan untuk membungkus jenazah.
Begitu mengetahui kebenaran mengenai kain mori dan penyakit kakeknya, Prapti yang sangat bersedih memecah celengannya. Dia bertekad membelikan kain mori sebagai kado terakhir buat sangat kakek. Tapi, karena tabungannya masih kurang, Prapti mencari tambahan dengan menjadi pemulung.

Film Baju buat Kakek itu juga mendapat apresiasi di ajang International Film Festival V di Jakarta pada 2010, yang mengangkat tema film-film sutradara perempuan sedunia. Kebetulan film Baju buat Kakek disutradarai perempuan. Dia adalah Misyatun, siswi SMP Negeri 4 Satu Atap yang saat itu duduk di kelas VIII. Setahun sebelumnya, film tersebut juga menjadi juara 1 Festival Film Remaja 2009 dengan menggondol empat kategori; Sutradara Terbaik, Film Terbaik, Aktris Terbaik, Editor Terbaik.

Sang Patriot, film yang berdurasi lebih singkat, yakni 11 menit, juga berhasil meraih juara harapan III pada Festival Film Remaja (FFR) 2009. Selain itu, film tersebut menyedot perhatian dalam ajang Ganesha Film Festival (GanfFest) yang diselenggarakan Lembaga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2010. Di sana Sang Patriot kembali mengukir prestasi sebagai nomine lima besar Skenario Terbaik dan nomine film yang menggunakan unsur teknologi.

Sang Patriot bercerita mengenai keinginan seorang ibu agar putra semata wayangnya menjadi tentara. Sayang, si anak ternyata tidak berhasil lolos tes masuk sekolah tentara. Sang ayah yang pensiunan tentara sebenarnya memiliki koneksi. Seorang anak buahnya di masa peperangan kini menjadi pejabat penting militer. Meski begitu, sang ayah tak mau memanfaatkan itu untuk meloloskan anaknya menjadi tentara.

"Pesan yang hendak disampaikan melalui film Sang Patriot ini soal kejujuran," kata Aris.
Sejak dirintis 2008, puluhan penghargaan film dikoleksi SMP Negeri 4 Satu Atap. "Ada 32 piala yang sudah kami terima," ungkap Aris.

Beberapa film lain yang cukup sukses, antara lain, Pigura (2010) dan Sang Maestro yang Tak Dikenal (2011). Pada Festival Film Indonesia (FFI) di Jogjakarta, 8 Desember 2012, film berjudul Langka Receh yang disutradarai dua siswa SMP Negeri 4 Satu Atap, yakni Miftakhatun dan Eka Susilawati, meraih Penghargaan Khusus Kategori Film Pendek sebagai Fim yang Mencerminkan Kearifan Lokal dan Kritis terhadap Keadaan Sosial.

Film berdurasi lima menit yang diproduksi awal 2012 itu sebelumnya meraih sejumlah penghargaan. Di antaranya, Film Terbaik Kedua Kids International Film Festival (KidsFest) 2012 dan Film Terbaik peraih Gayaman Award dalam Festival Film Solo (FFS) 2012. Kemudian, Film Pendek Fiksi SMP Terbaik Festival Film Purbalingga (FFP) 2012, juara III Lomba Cipta Film 50 Tahun Lesbumi 2012, juara II Festival Film Integritas 2012, dan Penghargaan Khusus (Special Mention) dari juri Jambore Film Pendek 2012 yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Film Langka Receh, jelas Aris, menceritakan praktik kecurangan yang sering dilakukan penjual. Sering terjadi penjual atau petugas kasir memberikan kembalian kepada pembeli dalam bentuk permen. Dalam film itu, ada seorang anak yang rajin mengumpulkan "permen kembalian" dari sebuah toko saat berbelanja.

Setelah terkumpul banyak, si anak mau memakainya untuk berbelanja di toko yang sama. "Tapi, penjualnya tidak mau," ujar Aris, lantas tertawa.

Sebagai guru pembimbing ekskul film, Aris senang karena ikut mengharumkan nama sekolah. Apalagi, banyak anak asuhnya yang sukses mengukir prestasi di tingkat nasional dan internasional. Tapi, di atas semua itu, dia bergembira karena jumlah anak yang melanjutkan sekolah ke SMP semakin banyak. Pada 2012 ini, jumlah siswa SMP Negeri 4 Satu Atap mencapai 289 siswa atau naik tujuh kali lipat jika dibandingkan dengan 2007.

Meski jumlah siswa meningkat signifikan, fasilitas yang dimiliki SMP Negeri 4 Satu Atap masih sangat terbatas. Hingga sekarang, mereka baru memiliki lima ruang kelas. Itu pun dengan satu ruang guru yang difungsikan sebagai kelas dan satu kelas yang sebenarnya adalah lobi yang disekat tripleks. Karena itu, ada tiga kelas yang terpaksa masuk sore. Bahkan, untuk perpustakan, ruang UKS, dan ruang guru, SMP Negeri 4 Satu Atap meminjam ruangan milik SD Negeri 2 Tunjungmuli.

"Awalnya, kami membuat film untuk menarik anak agar mau bersekolah. Begitu siswanya sudah banyak, kelasnya nggak ada. Sudah minta ke diknas, tapi jawabannya masih diproses," katanya, lantas tersenyum kecut.

"Saya ingin sekali ketemu Pak Nuh (menteri pendidikan dan kebudayaan, Red) untuk curhat soal ruang kelas dan kebutuhan standar sekolah kami. Saya yakin Pak Menteri dapat mengabulkan," sambung Aris.

Saat ini, SMP Negeri 4 Satu Atap memiliki 12 orang guru, termasuk kepala sekolah. Tapi, hanya kepala sekolah yang berstatus PNS. Guru lainnya masih berstatus guru pengabdian. "Di sekolah kami tidak ada satu pun guru yang bestatus PNS, kecuali kepala sekolah karena dia sebenarnya kepala SD yang merangkap di SMP‚" kata Aris.

Sebagai apresiasi atas usahanya itu, pada 6 Desember lalu, Aris meraih Megawati Soekarno Putri Award untuk kategori Pahlawan Muda Bidang Seni dan Budaya. Juri kategori itu, yakni sineas senior Garin Nugroho, tidak ragu menjatuhkan pilihan kepada Aris.

Kegiatan ekstrakurikuler film di SMP Negeri 4 Satu Atap kini mulai  berkembang ke ranah semiprofesional dengan mendirikan label Sawah Artha Film. Film Langka Receh, misalnya, telah dikontrak salah satu grup stasiun televisi nasional selama satu tahun atau sampai September 2013. "Royaltinya untuk beasiswa anak-anak di Tunjungmuli dan pengembangan kegiatan kreatif anak-anak yang tidak terbiayai pemerintah," ucap Aris. (*/c6/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rumah Autis, Tampung Anak Berkebutuhan Khusus dari Kalangan Duafa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler