Cerita Para Nelayan yang Selamat dari Tsunami, Ngeri!

Kamis, 27 Desember 2018 – 00:14 WIB
Topi Ka (kiri) dan Sunara (kanan), selamat dari terjangan tsunami saat berada di Dermaga Nelayan Sidamukti Tanjung Lesung Banten. FOTO: MUHAMAD ALI/JAWAPOS

jpnn.com - Deburan keras ombak tsunami yang menghajar pesisir Banten dan Lampung Selatan, Sabtu (22/12), membuat kapal-kapal pencari ikan itu pecah. Nelayan awak kapal pun berusaha menyelamatkan diri. Mereka berpegangan pada benda apa pun yang mengapung di laut lepas. Bagi mereka, yang terpenting adalah tidak tenggelam dan terbawa arus.

JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Pandeglang

BACA JUGA: Empat Warga Bekasi Tewas Diterjang Tsunami Selat Sunda

Tatapan wajah Sunara, 25, tampak kosong. Pemuda lajang itu tak banyak bicara sesaat setelah turun dari boncengan sepeda motor.

Kasmuni, 55, menyambut anaknya itu dengan begitu gembira. Sebab, sejak kejadian tsunami Sabtu malam (22/12), dia tidak tahu kabar putra ketiganya tersebut.

BACA JUGA: DVI Polri Identifikasi 321 Jenazah Korban Tsunami Banten

Nara –sapaan akrab Sunara– yang dicari dan dinanti setelah melaut ke Selat Sunda itu ternyata selamat dari tsunami. Dia menjadi salah seorang anak buah kapal (ABK) Warga Baru yang dinakhodai Sunar. Mereka semua warga Sidamukti, Kecamatan Sukaresmi, Pandeglang.

”Saya selamat karena pegangan fiber,” kata Nara. Selagi bercerita, datang seorang rekan Nara, Topika. Pemuda 25 tahun itu juga selamat bersama Nara dan bisa kembali ke kampung.

BACA JUGA: Tiga Hari Hilang, Putri Pertama Aa Jimmy Akhirnya Ditemukan

Topika lebih tegar bercerita. Dia menuturkan baru saja sampai ke Sukaresmi Minggu sekitar pukul 22.00. Dia mengalami luka robek di tangan kanan, pangkal paha kanan, dan dagu. ”Lukanya tidak boleh dijahit karena sudah menginap semalam,” ungkap Topik, sapaan akrab dia.

Sebelum sampai ke kampung itu, Topik bersama Nara harus menempuh perjalanan darat hingga 14 jam. Mereka berangkat dari Pulau Handeuleum di kawasan cagar alam Ujung Kulon. Menyeberang ke kawasan konservasi itu dan menembus jalan darat.

Perjalanan jadi begitu lama karena kondisi jalan yang rusak akibat terjangan tsunami. ”Banyak batu di jalan. Beberapa ruas jalan juga terputus,” tutur Topik.

Di Pulau Handeuleum itulah mereka bertemu dengan petugas penjaga konservasi pada Minggu (23/12) sekitar pukul 06.30. Mereka bisa sampai ke Pulau Handeuleum dengan menggunakan perahu kolek berukuran kecil.

Perahu tersebut tidak hanya dinaiki mereka berdua. Tapi, sepuluh orang. Delapan lainnya adalah Tarmidi, Sunar, Tinggal, Masturo, Agus, Niko, Agus Cita, dan Zaenal.

”Kami pulang duluan untuk meminta bantuan warga agar mereka bisa dijemput. Lokasinya di Pulau Handeuleum,” ungkap Topik. Untuk mencapai pulau tersebut, perjalanan laut bisa sampai setengah hari.

Itu bila menggunakan kapal berukuran 4 gross tonnage (panjang 15 meter dan lebar 2,5 meter) seperti milik Rasyim. Mereka juga berkoordinasi dengan Basarnas atau petugas polairud setempat untuk penjemputan.

Sepengetahuan Topik, mereka bersepuluh yang selamat dari terjangan tsunami itu. Mereka berasal dari kapal pencari ikan yang berbeda. Sedangkan rekan-rekan mereka yang lain mungkin sedang menyelamatkan diri ke tempat berbeda.

”Ada dua orang yang kemungkinan hilang dan tenggelam. Karena mereka memang tidak bisa berenang. Pak Kumis dan Pak Raswin,” tutur Topik.

Apa yang dilakukan Topik agar bisa lolos dari terjangan tsunami? Sama dengan Nara, dia ternyata juga berpegangan pada fiber. ”Itu lho, tutup boks untuk nyimpan ikan,” kata Topik.

Topik menceritakan, sesaat sebelum tsunami menerjang, dirinya bersama nelayan lain berada di dekat Pos Citelang di kawasan Ujung Kulon. Saat itu mereka tidak tahu ada gelombang tsunami. Mereka tahunya ada ombak tinggi yang tidak biasanya.

Lima perahu pun berdekatan. Tujuannya, saling melindungi dari ombak. Lima perahu itu milik Takrudi, Sunar, Wardaya, Aspani, dan Tarmidi.

”Datangnya tsunami seperti kapal (besar yang menerjang). Gluguurr,” ujar Topik yang menirukan suara gelombang tsunami itu. Dari kejauhan terlihat putih seperti kabut atau awan. ”Pik, engkol, Pik,” kata Topik menirukan perintah Tarmidi yang juga kakak iparnya.

Dia diminta Tarmidi untuk menyalakan mesin kapal. Namun, mesin kapal itu tak mau segera berfungsi. ”Dari kamar mesin saya keluar. Saat posisi (kami) sudah di atas kapal, langsung digulung ombak,” ungkap Topik.

Kapal Srimakmur berkapasitas 4 gross tonnage yang dinaiki Topik itu diterjang ombak hingga empat kali. Tingginya 5 hingga 7 meter. Semua muatannya semburat. Kapal terguling. Lalu pecah.

Topik beruntung. Dia bisa segera naik ke permukaan dan meraih fiber penutup boks tempat penyimpanan ikan. Beberapa nelayan yang lain meraih barang seadanya untuk membantu tetap mengapung. ”Ada yang pegangan bambu,” jelas dia. Selebihnya, serpihan kayu pecahan kapal ikut menjadi penyelamat nelayan lainnya. Selama beberapa jam, mereka terombang-ambing di laut lepas. Mereka berusaha saling berdekatan agar tidak terbawa arus.

Begitu ombak mereda, Topik lantas mencari teman. Mereka berkumpul sepuluh orang. Padahal, total awak dari lima kapal itu awalnya berjumlah 20–25 orang. Sepuluh orang itu pun berenang menuju Pulau Citelang.

”Jarak daratan itu tinggal 50 meter. Tapi, butuh sekitar satu jam untuk mendekat,” ujar dia. Sebab, arus laut itu bak tarik ulur. Ombak mengarah ke darat, lalu kembali ke laut berulang-ulang. Sehingga tak mudah untuk mencapai darat.

Setelah bersusah payah berenang, sekitar pukul 22.00 mereka pun sampai di daratan pulau tersebut. Dalam kondisi bayah kuyup, mereka berjalan kaki selama sekitar empat jam hingga Cigenter di Ujung Kulon. ”Bermalam di Cigenter, sampai Minggu jam 2 pagi,” tambah dia.

Mereka pun menemukan perahu kecil sepanjang 5 meter. Sepuluh orang itu berdesak-desakan menuju bagang (semacam gubuk untuk berteduh saat mencari ikan teri). ”Karena kedinginan. Banyak buaya juga. Udah, berani saja,” ujar Topik.

Mereka akhirnya sampai di dua bagang. Sepuluh orang tersebut berbagi tempat untuk melewati malam itu. ”Tidurnya sambil duduk. Karena tempatnya kecil sekali,” jelas dia.

Hingga mentari terbit, sepuluh orang itu masih berada di bagang. Mereka baru beranjak dari bagang setelah pemilik perahu kolek datang dan memberikan perahu tersebut. ”Kami pun ke Pulau Handeuleum,” ujar dia.

Dari pulau tersebut, mereka berusaha mencari pertolongan. Tapi, hanya Topik dan Nara yang diminta untuk meminta bantuan warga di kampung. (*/c10/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Foto-fotonya di Gathering PLN, Semoga Kakak Saya Bisa Ketemu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler