jpnn.com, JAYAPURA - Namanya Shinta Aprilia Awaludin. Berbekal keberanian dan permohonan penyertaan dari Tuhan, salah satu perawat perempuan di RSUD Jayapura, Papua ini memberanikan diri bergabung bersama rekan-rekannya untuk merawat, melayani, dan mengobati pasien terpapar virus Corona (COVID-19).
Shinta sempat ragu untuk mengisahkan pengalaman susah, senang yang dialami bersama tim medis yang ditunjuk oleh manajemen rumah sakit untuk menangani pasien corona yang dirujuk untuk dirawat di ruang isolasi rumah sakit rujukan nasional di wilayah paling timur Indonesia ini.
BACA JUGA: Shelly, Perawat ke-16 yang Gugur Karena Menjalankan Tugas
Shinta didorong oleh dokter Gress Daimboa, dokter seniornya untuk menceritakan bagaimana perjuangan ia bersama tim melayani pasien COVID-19.
Sejak awal Maret 2020, wabah virus yang meliburkan seluruh aktivitas sekolah, perkantoran bahkan membatasi waktu pelaku usaha ini mulai merebak di Indonesia hingga masuk ke Papua, RSUD Jayapura mulai bergerak cepat membentuk tim medis untuk menangani pasien yang sudah terjangkit virus yang bermula dari negara Tiongkok ini.
BACA JUGA: Pria Ini Klaim Menemukan Antivirus Corona
Awalnya, tim perawat yang dibentuk oleh rumah sakit milik Pemerintah Provinsi itu sebanyak 15 orang untuk bertugas. Ke-15 orang itu terdiri dari tenaga perawat sebanyak 13 orang, dan dua petugas cleaning service, serta dibantu satu petugas gizi dan satu petugas laboratorium.
Perempuan asal Sulawesi Tenggara ini ketika dipilih sebagai salah satu anggota tim medis perawatan COVID-19, dia berpikir dua kali lipat, gelisah, tidak bisa tidur satu malam. Rasa takut tiba-tiba menghantuinya karena virus ini berbahaya dan membunuh.
BACA JUGA: Niat Baik Pria 34 Tahun Ini Berujung Kematian
"Pertama ditunjuk, saya tidak bisa tidur satu malam, takut, pikir sepanjang malam sampai harus berdoa minta petunjuk dari Tuhan. Karena virus ini bukan main-main, tidak kelihatan namun bisa mematikan banyak orang, sehingga membuat dua kali lipat berpikir," kata Shinta.
Akan tetapi, berkat kekuatan doa yang dipanjatkan, sepenuhnya berserah diri kepada Tuhan dan mau melayani sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) rumah sakit, akhirnya perempuan satu anak ini kuat dan bersedia bergabung dalam tim untuk melayani penderita virus yang belum ada obatnya ini.
Dari ratusan tenaga perawat perempuan yang ada di rumah sakit yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan di wilayah Papua itu, hanya tiga orang perawat perempuan yang awalnya dipilih dalam tim medis, mereka adalah Shinta Aprilia Awaludin, Samalina Giyai dan Astriani.
"Kami di RSUD Jayapura dari sekian ratus tenaga perawat perempuan, awalnya kami tiga orang perempuan saja yang dipilih untuk melengkapi perawat laki-laki. Saya dan dua teman perempuan yaitu Samalina Giyai dan Astriani," ujarnya.
Di tengah pelayanan, manajemen rumah sakit itu menambah tenaga perawat yang melayani pasien virus Corona, karena RSUD Jayapura adalah salah satu rumah sakit yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan untuk melayani pasien rujukan virus Corona.
Dua perawat perempuan ditambah untuk membantu tenaga laki-laki melayani pasien yang terjangkit virus yang tak kelihatan ini. Kedua perawat itu yakni Herlina dan Helda, sehingga jumlah perawat perempuan jadi lima orang.
"Tim awal itu kami perempuan hanya tiga orang, namun kini sudah ditambah, jadi jumlah perawat perempuannya ada lima orang," kata perempuan berusia 35 tahun ini.
Saban hari, petugas kesehatan yang dipilih bergantian jam jaga, berdampingan dengan perawat laki-laki dari pagi, sore hingga malam hari. Tak kenal lelah, bergantian melaksanakan tugas sesuai jadwal yang ditetapkan pihak rumah sakit.
"Kalau dinas pagi kami masuknya pada pukul 08.00 WIT dan berakhir pada pukul 15.00 WIT karena kita harus membuka Alat Pelindung Diri (APD) harus mandi, sterilkan badan lagi baru kita pulang ke asrama," ujarnya.
Jika bertugas di sore hari, sesuai jadwal dimulai dari pukul 14.00 WIT sampai pukul 21.00 WIT. Kemudian pada malam hari dari pukul 21.00 WIT hingga pukul 08.00 WIT. Memang ada selang waktu beristirahat tetapi selalu terbayang dengan ganasnya virus ini.
Alat Pelindung Diri (APD) yang dipakai sesuai waktu, yakni selama delapan jam berdinas/bertugas.Setelah delapan jam, APD dibuka dan langsung dimusnahkan. Serba hati-hati karena hanya sekali pakai, langsung dimusnahkan dengan cara dibakar.
Memakainya pun sesuai dengan SOP, membukanya juga harus sesuai SOP. Ada tempat khusus yang disediakan, dilengkapi dengan cairan disinfektan agar setiap kali mengganti APD harus disemprot agar virus corona dipastikan mati.
"Kami membuka APD di ruang yang sudah ditentukan, bukan di sembarang ruangan. Ada tempat khusus yang memang sudah disiapkan, jadi ruangan isolasi kita dilengkapi dengan ruang anti-room itu ruang ganti APD. Di ruangan itu, tersedia cairan disinfektan dan tempat pembuangan limbah dari APD, jadi tidak bisa terkontaminasi dengan ruangan atau dengan pasien lain, setelah itu baru pulang ke asrama," kata Shinta.
Semenjak Shinta menerima tanggung jawab dari rumah sakit untuk melayani pasien COVID-19, dengan berat hati meninggalkan buah hatinya yang baru berusia enam tahun bersama ayah tercinta yang sudah lanjut usia (lansia). Ayah Shinta berumur 86 tahun, suami Shinta sudah tiada.
Kansha, putri satu-satunya Shinta dan Djumat Awaludin, terpaksa dititipkan di kakak kandungnya yang tinggal di Deplat, Distrik Jayapura Utara. Ia terpisah dengan keluarganya sejak 15 Maret 2020 hingga kini hanya untuk melayani pasien COVID-19.
Dengan sedih bercampur rindu, Shinta meninggalkan anaknya yang masih kecil dan bapaknya yang sudah tua.Virus mematikan ini cepat pindah ke benda apa saja sehingga Shinta memutuskan untuk tidak pulang. Shinta sementara tinggal di asrama perawat di dekat rumah sakit.
"Saya tinggalkan anak satu berumur enam tahun, dan bapak saya yang sudah berumur 86 tahun. Anak saya dan bapak saya, dititipkan ke kakak saya. Saya tinggal di Asrama sejak 15 Maret 2020, saya sudah terpisah dari keluarga. Saya tidak pulang ke rumah karena takut membawa pulang virus, saya harus tinggalkan keluarga," katanya.
Apalagi anak perempuannya masih kecil dan bapaknya sudah tua sehingga ia takut jangan mereka berdua tertular virus corona dari dia.
"Saya juga tidak mungkin kembali ke rumah karena anak saya masih kecil dan bapak saya lansia. Saya takut pulang biar mereka sehat," ujarnya.
Tak hanya Shinta yang meninggalkan keluarga, teman-temannya yang ditunjuk untuk melayani pasien COVID-19 ini juga rela meninggalkan keluarga, jangan sampai keluarganya terpapar virus yang kecil tak telihat namun mematikan ini.
"Teman-teman saya juga meninggalkan keluarga, keponakan, dan orang tua. Mereka juga tinggal di asrama untuk melayani pasien yang terjangkit virus Corona ini," ujarnya.
Komunikasi dengan keluarga juga jarang dilakukan karena telepon seluler harus ditinggal di asrama selama mendapat tugas melayani pasien COVID-19.
Keluarga bisa dihubungi di rumah sakit, apabila darurat dan sangat mendesak dengan menggunakan telepon seluler yang disediakan pihak rumah sakit untuk komunikasi dengan pasien.
Peluang berkomunikasi dengan keluarga hanya bisa dilakukan secara leluasa jika sudah selesai menangani pasien corona dan pulang ke asrama. Separuh rasa rindu bercampur kangen hanya bisa tersalurkan melalui video call dengan anak dan sang ayah di layar kaca.
"Sering kami video call pada saat lepas dinas. Karena tidak bisa menggunakan handphone di ruang isolasi. Handphone semua perawat ditaruh di asrama. Kecuali sangat mendesak, dipakai handphone yang ada di ruang isolasi untuk menelepon keluarga," tutupnya. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti