Cerita WNI Memulung di Australia

Sabtu, 22 Juni 2019 – 22:34 WIB
Tempat sampah berkapasitas 660 liter produksi perusahaan Jerman, Weber. Foto: www.w-weber.com

jpnn.com, PERTH - Ada barang yang dibuang sayang. Tapi ada juga barang yang sayang kalau tidak dipungut lagi. Ini cerita SATRYA WIBAWA, staf pengajar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya, mahasiswa doktoral di Curtin University, Perth, Western Australia.

Sebuah WhatsApp masuk ke telepon genggam saya: Applecross sudah buang-buangan, segera meluncur biar tidak keduluan.

BACA JUGA: Sam Kerr, Bintang Australia di Piala Dunia Wanita 2019 yang Punya Pacar Cewek Juga

Saya bergegas menyiapkan diri, mengosongkan mobil, menyiapkan cairan disinfektan, dan sarung tangan. Mobil saya pacu ke wilayah Applecross, sekitar lima menit dari arah tempat tinggal saya. Di daerah itu, di kiri dan kanan jalan, sudah terlihat tumpukan barang-barang yang dibuang.

Akhirnya, di depan sebuah ru­mah, saya melihat sebuah rak buku. Terlihat masih bagus. Saya hentikan mobil dan bergegas turun untuk melihat kondisi rak buku tersebut. Masih bagus, walau penuh dengan stiker.

BACA JUGA: Piala Dunia Wanita 2019: Sempat Tertinggal 0-2, Australia Menang 3-2 dari Brasil, Lihat Golnya

Saya memasukkan rak buku itu ke mobil. Lalu, berangkat lagi ke tumpukan barang yang lain. Saya belum menemukan kursi makan. Saya lanjutkan lagi mencari.

Iya, saya memulung barang bekas. Kebiasaan itu saya jalani selama menjadi penduduk sementara di Perth, Western Australia, selama em­pat tahun belakangan ini. Bukan hal baru sebenarnya buat sa­ya. Saat saya menem­puh pendidik­an S-2 di kota yang sama, 15 tahun yang lalu, saya juga sudah memulung.

BACA JUGA: Raffi Ahmad Boyong Puluhan Orang ke Australia

Dan, itu bukan hal tabu. Pelakunya bisa siapa pun. Mahasiswa iya. Masyarakat luas di kota berpenduduk lebih dari 2 juta orang tersebut pun begitu. Ada sebuah adagium populer: Your trash is my treasure. Sampahmu adalah harta karunku.

Pemikiran dan pemahaman mengenai konsep recycle dan reuse sudah menjadi gaya hidup jamak bagi sebagian besar masyarakat. Artinya, daripada menjadi sampah yang mengotori bumi, kenapa tidak dimanfaatkan orang lain yang mungkin lebih memerlukan.

Berkali-kali memulung di banyak tempat membuat saya jadi paham perbedaan kualitas barang di setiap lokasi. Di daerah yang banyak kos maha­siswa atau pendatang, biasanya kualitas barang yang dibuang sudah parah. Bisa jadi karena dulu juga mendapat barang itu dari memulung.

Di lokasi yang stratanya lebih tinggi, barang buangan bisa lebih bagus. Mungkin karena mereka ingin ganti perabot. Pasti jadi rebutan.

Selama memulung, kami harus tetap beretika. Misalnya saja, tidak boleh asal mengobrak-abrik tumpukan barang. Pilih dan letakkan kembali dengan rapi. Tidak sampai malah mengotori halaman pemilik rumah.

Saya pernah mengambil sepeda kecil yang masih bagus. Lumayan buat anak saya. Saat itu pemilik rumah juga ada di luar. Saya bertanya lagi, memastikan bahwa sepeda tersebut memang dibuang. Dia meyakinkan saya. Setelah berbasa-basi dan berterima kasih, saya masukkan ke mobil.

Tiba-tiba, dari dalam rumah, keluar seorang anak kecil. Dia berteriak sambal menangis kencang, "That is my bike". Sambil menangis sesenggukan, dia meminta kembali sepedanya.

Saya jadi serbasalah. Ibunya terlihat merasa bersalah, kepada saya maupun ke anaknya. Karena kasihan, saya kembalikan sepeda itu. Si ibu berterima kasih sambal berbisik meminta saya kembali sore harinya untuk mengambil sepeda itu. Saya menyanggupi.

Namun, saya tidak pernah da­tang lagi. Iya kalau anaknya sudah ikhlas. Kalau belum, kan kasihan. Itu sudah untung ada ibunya di luar. Kalau si ibu tidak ada, bisa jadi saya ditangkap karena di­sangka maling sepeda. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Piala Dunia Wanita 2019: Italia Kalahkan Australia Berkat Gol Dramatis di Menit 90+5


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
pemulung   Australia   WNI  

Terpopuler