Ceritalah, Terus Berlanjut!

Jumat, 01 Maret 2013 – 18:27 WIB
PAGI yang cerah sekitar pukul 07.00 saya sedang di atas dermaga yang tersusun dari kayu di Kuala Kedah. Lima jam kemudian waktu berjalan, saya sudah berada di dalam perahu berukuran delapan meter di tengah Selat Malaka. Saya sedang belajar bagaimana menjaring ikan dengan kumparan.

Sehari sesudahnya, saya sudah bersama dengan seorang mekanik motor yang berasal dari Penang. Lelaki berambut oranye ini sedang memeriksa cairan karburator dari kendaraan kami. Sembari menyetir kendaraan yang membawa saya ke pulau Penang, dia menceritakan sekilas hobi masa lalunya; balapan mobil yang memacu adrenalin, mengundang marabahaya, mengintai kematian dan sekaligus sebagai pembebasan ekspresi diri.

Seminggu setelahnya, saya lagi-lagi sudah berada di suatu tempat yang baru. Saya sedang duduk menghadiri upacara pernikahan Katolik berbahasa Malaysia di Keningau, Sabah. Saya mendengarkan dengan seksama pelayanan yang dipanjatkan, sebuah bahasa yang digunakan oleh nenek moyang saya juga, bahasa yang bagi orang Indonesia terdengar lumrah.

Namun di Malaysia dengan segala hubungan antar-ras dan agama yang sangat mudah tersulut, penggunaan Bahasa Malaysia, khususnya kata “Allah” di dalam pelayanan gereja menjadi isu politik besar. 

Ketika saya menginjakkan kaki di Kota Belud yang berada di ujung utara Sabah, saya menemukan pasar tua. Dalam bahasa Sabah pasar tua disebut juga “tamu”, ia telah menyisakan pengenalan yang kaya akan sejarah dari keberagaman etnis di Sabah; Dusun, Iranun, Bajau, Bugis dan Orang Sungai.

Di “tamu”, saya menginjakkan kaki dari kios ke kios, dan mencoba berbagai makanan yang dijajakan. Sampai akhirnya saya hampir dibuat pingsan setelah mencoba mengunyah tembakau seukuran ibu jari yang ditawarkan oleh seorang pedagang tua dari etnis Dusun!

Akhirnya, setelah menempuh beberapa puluh kilometer keluar dari Sibu negara bagian Sarawak, dengan pakaian sewajarnya orang menempuh perjalanan darat yang cukup lama, saya duduk di beranda yang beratap di sebuah rumah panjang dengan 35 pintu yang luar biasa menakjubkan. Matahari perlahan-lahan mulai terbenam.

Bayang-bayang benda mulai memanjang, saya kemudian tersadar bahwa masyarakat di sini hidup tanpa adanya infrastruktur yang memadai. Jalanan aspal, sumber air yang berlimpah dan aliran listrik justru tidak ada. Malam menjadi benar-benar gelap dan primordial. Di bagian Sarawak, masa lalu menjadi dominan. Tidak ada hari ini ataupun hari esok karena seluruh pemuda di sini berbondong-bondong ke kota untuk mengadu nasib.

Semua hal yang saya ceritakan di atas tidak lain adalah berkaitan dengan selesainya syuting episode ke 13 Ceritalah Malaysia. Ceritalah Malaysia menjadi bagian dari program televisi yang ditayangkan khusus hingga Pemilu Malaysia menjelang. Saya mencoba untuk mengubah bentuk kolom saya, yang semula berupa tulisan yang sedang anda baca saat ini menjadi bergerak dengan visualisasi.

Proses produksi yang berpacu dengan waktu (meskipun dalam sejarahnya, pemilu ini telah seringkali ditunda), ada sensasi gila-gilaan atas semua usaha yang dilakukan dari awal hingga akhir.

Meski begitu, saya sempat membawa kemana-mana satu pertanyaan yang belum terjawab dalam kepala saya: apakah narasi orang-orang Malaysia - dari aristokrat, kalangan elite-bawah dan orang Malaysia asli – memiliki keterkaitan dengan belahan dunia lain yang pernah saya sentuh?

Pertanyaan itu lagi-lagi masih tersimpan, sembari saya merasakan seluruh rangkain proses yang cukup menegangkan. Bercerita di televisi menuntut pendekatan yang berbeda dari apa yang biasa saya lakukan.

Sebagai contoh, ketika saya bepergian sendiri dan hanya ditemani sebuah notebook, saya lebih cenderung untuk melakukan dua hal yaitu duduk dan berpikir. Saya mencari kedai kopi, mengamati jalannya kehidupan, lalu menyerap atmosfernya.

Di dalam dunia televisi, tidak ada kemewahan dari apa yang biasa saya lakukan dalam proses menulis. Segala sesuatu membutuhkan penataan yang berlapis, pemeriksaan alat suara, naskah, barulah pengambilan gambar. Saran belaka tidak akan cukup.

Kependekan dari semuanya adalah sungguh melelahkan dan menguras habis ketahanan fisik. Sepanjang 10 hari syuting di Sabah dan Sarawak, saya tak bisa berhenti memegangi perut saya yang sedang sakit. Meski begitu, saya berusaha melewatinya. Seperti yang sudah saya ucapkan sebelumnya, saya akan terus bekerja keras karena show must go on.

Saat ini saya sedang melangsungkan syuting episode terakhir di Kuala Lumpur. Pertanyaan penting masih menghantui pikiran saya: apakah Malaysia masih bisa terus berjalan? Apa nilai-nilai yang bisa ditularkan dari negara ini? Dimana kita mengarah sebagai sebuah bangsa?

Atau, apakah negara ini sudah kehilangan campuran “suku bangsa” nya? Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri, kumpul-kumpul di pusat perbelanjaan, di tempat kerja dan jarang kita temukan diadakan di dalam rumah. Bahkan saya sudah mulai menyadari, ketertarikan saya untuk mengetahui siapa pemenang Pemilu mendatang sudah mulai berkurang.

Tidak dapat disangkal, setelah menyelesaikan syuting yang melelahkan ini (tapi secara pribadi, justru hal tersebut memenuhi hasrat traveling saya), saya mulai membayangkan betapa luar biasa serunya jika perjalanan syuting tersebut ditempuh di Indonesia.  Bersama kru film, memetakan transformasi Republik sejak reformasi dan lengsernya Soeharto di tahun 1998.

Sebagai seorang Tukang Cerita seperti saya, Indonesia dengan skala yang sangat luas, populasi yang sangat besar dan jangkauan heroisme di setiap pulau, tidak akan bisa dilihat terbatas hanya dalam sebuah narasi... [***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Titik Balik (Tipping Point)

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler