Chandra Soroti Pemidanaan terhadap Kebijakan di Kasus Tom Lembong

Senin, 04 November 2024 – 20:52 WIB
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww/am.

jpnn.com - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyampaikan pendapat hukum terkait kasus dugaan korupsi yang disangkakan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap eks Menteri Perdagangan RI Thomas Trikasih Lembong.

Thomas Lembong atau Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa, 29 Oktober 2024.

BACA JUGA: Eks Pimpinan KPK Angkat Bicara soal Tom Lembong Tersangka, Begini Kalimatnya


Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI Chandra Purna Irawan. Foto: Dokpri for JPNN.com

Dalam keterangan resminya, Kejagung menyatakan ada kerugian negara sekitar Rp 400 miliar dalam kasus tersebut.

BACA JUGA: Sidang PK Jessica Wongso, Ahli Ungkap Temuan CCTV, Durasi Video Sengaja Dihilangkan

Kerugian negara itu disebut berasal dari potensi keuntungan yang seharusnya diterima PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) sebagai badan usaha milik negara (BUMN).

Kejagung menjerat Tom Lembong dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)."

BACA JUGA: Seleksi PPPK 2024 Tahap II Khusus Honorer Non-Database, Ada Syarat Minimal Lama Bekerja

Berkaitan dengan hal tersebut, Chandra memberikan pendapat hukum (legal opini) terkait dua hal. Pertama, soal kebijakan.

"Pendekatan pidana pada ranah hukum administrasi, perlu ditinjau ulang," kata Chandra dalam keterangan tertulis, Senin (4/11/2024).

Dia berpendapat bahwa kebijakan masuk ke dalam ranah hukum administrasi, jika terdapat kekeliruan maka kebijakan tersebut dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh pembuat kebijakan (asas contrarius actus actus).

Selain itu, kebijakan dapat dibatalkan oleh Pengadilan TUN (Tata Usaha Negara) jika kebijakannya bersifat beckshickking (penetapan konkret dan individual). Bila bersifat regelling (peraturan) yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract), maka dapat diajukan HUM (Hak Uji Materiil) di Mahkamah Agung.

Apabila terdapat kekeliruan terhadap kebijakan, kata Chandra, maka sanksi yang memungkinkan adalah sanksi administratif dari pimpinan yang lebih atas.

"Sanksi pidana semestinya tidak diterapkan atas kebijakan, sehingga pendekatan pidana dalam ranah kebijakan berpotensi mengacaukan hukum," ucapnya.

Kecuali dalam praktik kebijakan itu terdapat 'persekongkolan jahat' untuk melakukan 'tindakan kejahatan', sedangkan tindakan kejahatan tersebut tidak dapat terlaksana tanpa ada kebijakan.

"Maka yang dapat dipidana adalah persekongkolan jahatnya dan tindakan jahatnya, tetapi bukan pada ranah kebijakan dikarenakan kebijakannya sendiri bukan pada ranah pidana," kata dia.

Hal kedua yang disorot Chandra pada kasus yang ditangani Kejagung itu adalah terkait 'potensi kerugian negara'.

Dia menyebut apabila seseorang ditetapkan tersangka atas tuduhan merugikan keuangan negara, sedangkan kerugian negara itu berasal dari 'potensi keuntungan' yang seharusnya diterima oleh negara melalui perusahaan milik negara.
 
Terkait itu, Chandra berpendapat bahwa 'potensi keuntungan' tidak dapat dijadikan dasar penetapan tersangka kepada seseorang. "Frasa 'potensi keuntungan' secara tafsir kebalikan (contrario) adalah uang tersebut belum menjadi milik negara," ujarnya.

Penggunaan unsur pidana 'merugikan keuangan negara' menurutnya adalah berkurangnya uang milik negara bukan berkurangnya potensi keuntungan/pendapatan, artinya uang negara tersebut bersifat pasti dan nyata, bukan angan/angan atau potensi.

Dia lantas mengutip Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK yang berbunyi: "Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai".

"Saya berpendapat bahwa unsur 'kerugian keuangan negara' adalah delik materil, sehingga kerugian keuangan negara atau daerah bersifat nyata dan pasti ini, adalah kata lain dari kerugian itu harus betul-betul ada dan merupakan akibat yang nyata, bukan potensi. Jika 'potensi keuntungan'  digunakan maka akan rancu dan melebar (obscuur)," kata Chandra Purna Irawan.(fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler