jpnn.com - Invasi Maroko di Piala Dunia terhenti di babak semifinal, Kamis (15/12).
Pasukan Maroko dipukul mundur oleh tentara Prancis dengan dua gol tanpa balas.
BACA JUGA: Jadwal Perebutan Peringkat Ketiga & Final Piala Dunia 2022, Prancis 4-3 Argentina
Pasukan Maroko kalah dan Prancis akan menghadapi Argentina di final.
Maroko kalah, tetapi sejarah baru telah tercatat.
BACA JUGA: Prancis vs Maroko 2022: Deschamps Senang, Siap Mengejar Prestasi Brasil
Maroko menjadi satu-satunya negara Afrika yang lolos ke semifinal Piala Dunia.
Maroko bukan hanya mewakili bangsa Maroko, tetapi menjadi representasi kekuatan Islam di seluruh dunia.
BACA JUGA: Final Piala Dunia 2022: Didier Deschamps Waspadai Dendam Lionel Messi
Rasa keterkalahan umat muslim dunia dari Barat seolah mendapat pelampiasan di Piala Dunia kali ini.
Kemenangan Maroko atas Spanyol dan Portugal menjadi sangat dramatis dan emosional karena berkaitan dengan sejarah masa lalu.
Dua wilayah yang hanya terpisah oleh Selat Gibraltar itu mempunyai sejarah persaingan dan pertempuran yang keras.
Maroko ibarat mewakili kekuatan Islam yang menginvasi Eropa.
Spanyol dan Portugal sudah ditundukkan.
Prancis menjadi benteng terakhir yang akan menentukan nasib Eropa. Jika Prancis jatuh maka Eropa akan jatuh ke tangan Islam.
Pertandingan semifinal Maroko vs Prancis seolah menjadi pertandingan pengingat pertempuran Tours atau The Battle of Tours abad ke-18.
Ketika itu, pasukan Islam dipimpin oleh Abdul Rahman Al-Ghafiqi, gubernur Andalusia (sekarang Spanyol).
Pertempuran Tours akan menjadi penentu nasib Islam dan Eropa.
Pasukan Prancis dipimpin oleh Charles Martel yang menyerang tanpa menggunakan pasukan kavaleri.
Pertempuran dahsyat berakhir dengan terbunuhnya Al-Ghafiqi.
Pasukan Islam mundur dan Eropa mulai menapaki satu abad kebangkitan peradabannya mengalahkan Islam.
Sejarawan Gugh Kennedy merekam perjalanan sejarah itu dalam buku ‘’The Great Arab Conquers’’, Para Penakluk Arab yang Hebat, yang sudah menjadi buku klasik.
Penaklukan Eropa oleh pasukan Islam dimulai dengan penyerbuan Andalusia oleh Tariq bin Ziyad pada 711 Masehi.
Pasukan Islam merangsek sampai melewati perbatasan Spanyol dan sudah berada di negara bagian Septimania di barat Prancis sekarang.
Tariq bin Ziyad sudah siap menyerang Prancis, tetapi ada perintah penghentian operasi militer dari ibu kota Damaskus dan pasukan harus ditarik mundur.
Pada 720 Masehi di era Khalifah Umar bin Abdul Aziz, operasi penaklukan Eropa dihidupkan kembali.
Pasukan Islam berhasil menguasai Septimania.
Pasukan Islam sudah maju sampai ke wilayah Toulouse di selatan Prancis tetapi dipukul mundur oleh pasukan Prancis sehingga menewaskan pimpinan pasukan Islam.
Komando pimpinan kemudian diambil alih oleh Abdul Rahman bin Abdullah Al-Ghafiqi yang ditunjuk menjadi gubernur Andalusia.
Rakyat menyambut antusias penunjukan Al-Ghafiqi.
Dia populer di kalangan rakyatnya dan memiliki wibawa besar sehingga bisa menyatukan suku-suku di wilayahnya.
Pada 732 M Al-Ghafiqi membawa pasukan berangkat ke utara, menembus dua kerajaan Aragon dan Navarre, dan menyeberangi Pamplona lalu memasuki Prancis dan berbaris di kota Arles.
Pasukan Al-Ghafiqi berhasil menaklukkan wilayah-wilayah itu nyaris tanpa kesulitan.
Al-Ghafiqi kemudian berbaris ke barat untuk menyerang Kerajaan Aquitaine.
Kerajaan Aquitaine pun jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Al-Ghafiqi terus bergerak untuk merebut Lyon, salah satu kota Prancis yang paling penting.
Untuk menyelesaikan penaklukan Prancis dengan memasuki Paris, Al-Ghafiqi sudah mempersiapkan pasukan dan keperluan logistiknya.
Al-Ghafiqi menjadi satu-satunya pemimpin Muslim yang berhasil memperluas penaklukkan sampai ke tengah Eropa.
Akan tetapi, pemimpin kaum Frank, penguasa Prancis Charles Martel segera menggalang sekutu dengan bangsa-bangsa Eropa lain.
Suku Frank pimpinan Martel berkoalisi dengan tentara Eropa termasuk Jerman, yang bersedia bertempur di bawah komando Martel.
Pertempuran ini adalah pertemuan antara Timur dengan peradabannya dan Islam saat itu, melawan Barat yang diwakili Eropa dan kerajaan Frank dengan agama Kristennya bersama kekuatan Eropa lainnya.
Pada akhir Oktober tahun 732 M, kedua pasukan itu berhadapan di Tours.
Pada hari kesepuluh pertempuran, tentara Muslim berhasil meraih kemenangan besar.
Namun, di tengah situasi ini, kaum Frank mengambil celah di kamp rampasan kaum Muslim.
Akibatnya, sebagian besar pasukan memberontak untuk melindungi rampasan.
Kasus yang mirip dengan Perang Uhud terjadi lagi.
Pasukan Islam cerai berai karena memperebutkan pampasan perang.
Al-Ghafiqi mencoba memulihkan keadaan dan bergerak di antara para prajurit untuk menyatukan mereka kembali.
Ketika itulah, sebuah anak panah mengenai dadanya dan dia pun terbunuh pada 732 M.
Dalam kondisi itu, para pemimpin tentara Muslim memutuskan untuk mundur menuju pangkalan mereka di Septimania.
Kehidupan pemimpin Abdul Rahman al-Ghafiqi berakhir.
Ini adalah pertempuran terpenting yang disaksikan umat Islam saat itu di hadapan kekuatan Eropa di rumah mereka sendiri, di Prancis.
Itulah akhir invasi Islam yang sekaligus menandai kebangkitan kekuatan Eropa.
Dalam seratus tahun berikutnya pasukan Eropa yang berbalik melakukan invasi ke seluruh dunia Islam di Afrika dan Timur Tengah.
Sampai dengan Perang Dunia II di awal 1940 semua wilayah Islam di Afrika dan Timur Tengah jatuh ke tangan Eropa.
Kejayaan Islam berakhir dan diganti dengan era baru kejayaan Eropa.
Piala Dunia Qatar penuh dengan kenangan sejarah pertempuran dua peradaban besar itu.
Maroko terhenti di semifinal, tetapi tinta emas sudah tercatat dalam sejarah.
Maroko tidak bisa diremehkan begitu saja, dan akan menjadi ancaman serius bagi Eropa di masa depan.
Dalam pertempuran semifinal kali ini, pasukan Prancis ibarat tentara Frank yang dipimpin oleh Charles Martel.
Gelandang serang Prancis Antoine Griezman dalam pertandingan itu ibarat Charles Martel dalam pertempuran di Tours.
Griezman mengobrak-abrik pertahanan Maroko.
Umpan terobosannya pada menit kelima gagal diadang oleh pertahanan Maroko.
Gawang Maroko terancam.
Pertahanan Maroko berkonsentrasi kepada Kylian Mbappe dan Oliver Giroud.
Akan tetapi, mendadak dari sisi kiri muncul Theo Hernandez yang melepaskan tendangan voli dengan kaki kiri mengunjam ke gawang Yasin Bounue yang tidak berdaya.
Kebobolan di menit awal membuat pertahanan Maroko goyah.
Pelatih Walid Regragui mencoba memperkuat pertahanan.
Serangan-serangan disusun untuk membalas, tetapi serbuan yang kurang bervariasi gampang dipatahkan.
Kylian Mbappe dengan kecepatannya selalu menjadi teror bagi pertahanan Maroko.
Pemain pengganti Randal Kolo Muani tinggal menceploskan gawang yang kacau balau diacak-acak oleh Mbappe.
Kolo Muani tinggal berhadapan dengan kiper Yasin Bounoe yang tidak berdaya.
Prancis melaju ke final.
Maroko pulang dengan kepala tegak.
Sejarah tinta emas sudah ditulis dan akan dikenang sepanjang masa. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror