Choirul Anam, Aktivis HAM yang Hobi Berat Sepeda Onthel

Jadi Pelampiasan bila Pikiran Sumpek

Senin, 18 Juni 2012 – 00:18 WIB

Bergelut dengan dunia advokasi HAM sering membuat pikiran tegang. Tapi, Choirul Anam punya obat mujarab untuk mengatasinya: sepeda onthel.

NAUFAL WIDI A.R., Jakarta

MEMORI 19 tahun silam tak akan lepas dari ingatan Choirul Anam, wakil direktur eksekutif HRWG (Human Rights Working Group). Keinginan mengikuti jejak sang kakek berjualan sepeda di Pasar Comboran, Malang, membuat pikirannya campur aduk.

Berbekal uang Rp 80 ribu hasil keuntungan berdagang, Anam memutuskan hunting sepeda onthel. Dari salah satu pedagang di Pasar Comboran, Anam yang kala itu masih kelas 1 SMP mendapat informasi ada sepeda di blangweer (tempat pemadam kebakaran) milik tetangganya yang bisa dibeli.

Sepeda itu merek Fongres HZ 60. Kondisinya masih oke. Setelah tawar-menawar, akhirnya disepakati harga sepeda itu Rp 65 ribu. Di situlah pengalaman Anam dengan sepeda onthel dimulai. Dia tersadar, ukuran sepeda yang baru saja dibelinya itu tinggi sekali untuk anak kelas 1 SMP.

"Bawa ke rumahnya jadi susah. Mau dinaiki takut jatuh dan sepedanya lecet. Kalau lecet, harganya akan turun. Jadi, saya tuntun deh," tutur Anam, Sabtu (16/6) lalu.

Perjalanan dari blangweer ke rumah memakan waktu satu jam. Selama di perjalanan Anam terus berpikir soal sepedanya itu. "Kok saya nekat ya? Apa ini mahal atau murah? Orisinalitasnya gimana?" kenangnya.

Beragam tanda tanya itu terus terlintas di pikirannya. Apalagi, ini pengalaman transaksi dagang pertama yang menghabiskan uang tabungan lebih dari tiga bulan. Anam mulai dibayangi rasa waswas. "Jadi nervous, takut bukan ori (asli), takut kedlodok, takut diejek, terlebih lagi takut rugi," ujar pria kelahiran Malang, 25 April 1977, itu.

Kekhawatirannya terbukti. Kakeknya, Nilem, mengatakan bahwa harga sepeda itu terlalu mahal. Kalau dijual lagi tidak akan mendapat untung. Seketika Anam lemas.

"Sudah capek nuntun sepeda, eh di rumah dibilang harganya terlalu mahal," katanya. "Jadi dongkol. Sedih juga membayangkan hilangnya duit dari proses nabung uang lama dan babak belur," sambung sarjana hukum dari Universitas Brawijaya, Malang, itu.

Esok harinya Anam mencoba membawa sepeda itu ke Pasar Comboran. Setali tiga uang, beberapa teman kakeknya sesama penjual sepeda angin mengutarakan hal yang sama tentang Fongres HZ 60 yang dibeli Anam: terlalu mahal. Bahkan, ada yang bilang, sepeda itu Fongres gondel karena memakai belhof (sejenis komstir).

"Kata teman kakek saya, sepeda jenis itu murah harganya, nggak ada yang mau (beli). Susah onderdilnya kalau rusak. Cari belhof dan daleman-nya juga susah," katanya. Tak pelak, berbagai komentar itu makin membuat Anam lemas dan nyaris putus asa.

Akhirnya Anam mengambil keputusan terhadap sepeda onthel Fongres HZ 60. Dia berjanji tidak akan menjual sepeda tersebut sampai kapan pun. Pada saat bersamaan, dia menanamkan keyakinan dalam benaknya bahwa Fongres HZ 60 yang memakai belhof adalah sepeda berkualitas. Anam berargumentasi, belhof sepedanya unik. Tidak seperti yang biasa dijumpai di Pasar Comboran.

Kini, suami C. Raniyanggawastu itu bisa tersenyum lega dengan keputusannya hampir dua puluh tahun silam itu. "Sekarang sepeda onthel dengan belhof adalah yang lebih mahal dibanding yang lain karena kelas sepedanya berbeda," tuturnya bangga.

Harga belhof-nya saja antara Rp 500 ribu hingga Rp 750 ribu. Tidak hanya itu, onthel seri HZ juga cukup bagus. Ia termasuk kelas tiga di bawah seri BB dan CCG. Anam pun tak berhenti bersyukur.

"Alhamdulillah. Sebab, saat ini banyak teman onthelist yang memburu sepeda Fongres HZ 60. Saya tidak rugi merawatnya bertahun-tahun karena langka," katanya. "Kalau diingat saat ini, jadi lucu dan geli sendiri," sambung Anam tentang onthel pertamanya itu.

Anam menuturkan, kecintaannya terhadap sepeda onthel tidak lepas dari kakeknya yang memperkenalkan dan mengajarinya untuk mencintai sepeda onthel. Dari kakeknya itu, dia belajar berbagai merek onthel, mulai Fongres, Simpleks, Gazelle, Humber, Raliegh, BSA, dan lainnya. Pasar Comboran juga ikut berperan, karena sejak kelas 3 SD hingga akhir kuliah, Anam banyak menghabiskan waktu di sana, membantu sang kakek berjualan sepeda onthel.

Anam mengatakan, sepeda onthel memiliki eksotisme tersendiri, baik dari fisik sepeda maupun sejarahnya. Selain itu, dia merasa onthel dekat dengan budaya bangsa sendiri dan budaya keluarga. "Eksotismenya juga terletak pada kostum yang dituntut untuk digunakan saat ngonthel," katanya.

Hingga kini, sudah 39 sepeda onthel yang menjadi koleksi Anam sejak pembelian pertama pada 1993. Deretan sepeda keluaran Belanda, Inggris, dan Jerman, seperti Fongres (mulai BB, CCG, HZ, HF, DF), Gazelle, Humber, Simpleks, Rudge, Burco, BSA, Raliegh, Valuas, Triumph, Hercules, Burgers, Gorica, ROVER, dan Sumbeam, memenuhi dua kamar plus satu ruang di dekat ruang tamu rumahnya.

"Untuk merek dan produksi dari negara mana, saya awalnya nggak memiliki orientasi. Apa pun sepedanya, asal bagus dan murah saya beli dan saya koleksi," beber ayahanda N. Radhika Mulya dan Misbach D.P. Malaka itu.

Untuk koleksinya itu, tentu saja Anam harus merogoh kocek cukup dalam. "Banyak sepeda yang saya beli di bawah Rp 1,5 juta walau ada beberapa yang harganya jauh di atas itu," ungkapnya.

Tidak hanya sepeda. Onderdil dan aksesori onthel juga dikoleksinya. Misalnya, beberapa lampu karbit, sadel, dan dinamo.

Anam menuturkan, mengoleksi sepeda onthel harus memiliki orientasi, apa pun itu. Jika tidak, akan menyusahkan atau menghabiskan bujet dan ruang khusus untuk menyimpannya.

Nah, Anam mengaku tengah mencoba agak tertib soal orientasi itu. Yakni, dia hanya akan membeli sepeda dengan ukuran tinggi dengan warna hitam. Beberapa koleksinya berukuran 70. Di antaranya Gazelle dan Simplseks Cycloude. Juga ada Gazelle 65, Simpleks 65, dan Fongres BB 65.

Anam mengungkapkan, ada tantangan dalam menggeluti hobi yang disebutnya menuntut kesabaran tinggi itu. Yaitu, kesabaran untuk bisa menemukan barang yang pas. "Tidak gampang mencari sepeda atau onderdil yang bagus, utuh, masih berfungsi, dan murah," ujar aktivis yang pernah mengenyam pendidikan nonformal di Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) dan Asian Human Rights Commission (AHRC) itu.

Proses mencari yang pas itulah yang membuat Anam harus blusukan ke pasar-pasar sepeda kuno. Alasan itu yang membuatnya memilih onthel daripada hobi lain. "Blusukan inilah yang membuat saya kenal banyak orang, kenal lingkungan, dan kaya pengalaman," katanya.

Untuk perawatan, menurut dia, tidak ada yang istimewa. Sering-sering dibersihkan dengan lap plus setiap satu bulan dipompa untuk menjaga ban agar tidak cepat rusak. Soal kesulitannya hanya terkait ketersediaan onderdil yang terbatas di pasar. Namun, saat ini ada barang-barang yang diproduksi ulang alias KW.

Kesulitan lain, tidak banyak bengkel sepeda onthel di sekitar tempat tinggalnya di Cibinong yang paham dengan seluk-beluk onthel. Ini berbeda dengan di Malang. Padahal, bengkel itu tidak bisa asal main palu atau ganti suku cadang.

"Kalau asal main palu, nanti sepedanya bonyok-bonyok. Padahal, keutuhan sepeda menambah nilai lebih. Penggantian suku cadang juga nggak bisa sembarangan. Kalau nggak, kita yang rugi," terangnya.

Dari sekian koleksinya, Fongres HZ yang dimiliki pertama termasuk yang disukai Anam karena sejarah dan dinamikanya. Selain itu, dia menyukai Fongres BB 65 yang termasuk tinggi dan Fongres DF yang memiliki tingkat orisinalitas tinggi serta konstruksi rem unik.

Anam punya cerita soal Fongres DF itu. Awalnya dia tidak begitu suka dan tidak merawatnya. "Sampai bannya hancur menempel ke pelek," katanya.

Saat ada teman yang menginginkan onthel itu, dia menawarkannya. Tapi, pas dibongkar Anam mendapati bahwa koleksinya itu ternyata istimewa. Semua masih ori, termasuk gir depan, gir belakang, rantai, dan piringan obat nyamuk pantek yang sangat langka dan mahal itu. Kesimpulannya sepeda itu istimewa.

"Saya minta maaf kepada teman saya, nggak jadi saya jual. Akhirnya saya mencintai DF yang hampir sepuluh tahun nggak saya lirik sama sekali itu," tuturnya.

Koleksi istimewa lainnya adalah Gazelle Dames dan Burco yang terkait dengan istri tercintanya. "Gazelle saya beli bareng dia (istri Anam, Red) ketika kami masih pacaran. Sama-sama masih mahasiswa di Unibraw, lagi main di sebuah desa di Malang Selatan, eh dapat Gazelle dan cukup murah," kisahnya.

Sementara Burco adalah hadiah bagi istrinya saat ulang tahun beberapa waktu lalu. "Dan agar saya nggak diprotes-protes lagi ngurus onthel terus, he... he…," tuturnya.

Anam mengaku, sepeda onthel bisa menjadi obat menghadapi ketegangan saat melakukan advokasi HAM dan capek pikiran. Beberapa tahun lalu, ketika intensitasnya tinggi dalam mengadvokasi kasus Munir, salah satu metode relaksasi dan membangun fokus kerjanya adalah dengan dekat-dekat sepeda onthel.

"Malam ketika sampai rumah, langsung ngelap atau ngonthel. Mutar-mutar saja, itu membantu saya untuk memulihkan diri," kata sekretaris eksekutif KASUM (komite aksi solidaritas untuk Munir) itu.

Saat ide buntu, ngonthel malam juga sering membantunya. "Putaran roda, dinginnya angin malam, dan eksotisme onthel. Jadinya, pikiran fresh dan bisa menemukan ide segar," ujar Anam yang tergabung dengan Komunitas Dekoncis, penggila sepeda di Cibinong. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Cucu-Cucu Pramoedya Ananta Toer Membuat Band Tetralogiska


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler