Alat itu mempunyai fungsi mirip kemoterapi, yakni bisa digunakan sebagai terapi pengobatan kanker. ''Kelebihannya, sinar laser ini bersifat noninvasif dan nondestruktif. Jadi, efek sampingnya lebih minim daripada kemoterapi,'' ucap perempuan yang baru saja dikukuhkan menjadi guru besar Fakultas Sains dan Teknologi Unair tersebut.
Penelitian itu, lanjut Retna, sudah diujicobakan pada dua sampel. Pertama, diujikan pada seekor mencit yang diberi sel kanker. Penelitian berikutnya adalah pasien kanker payudara. Ternyata, hasilnya cukup efektif. ''Untuk yang mencit, bisa mematikan sel kanker sampai 20 persen, sedangkan untuk manusia bisa sampai 40 persen dari sel kankernya mati,'' imbuh mantan Ketua Himpinan Fisika Indonesia cabang Surabaya tersebut.
Setelah dinyatakan berhasil, Retna menyebut bahwa alat itu berpotensi membuat metode terapi kanker menjadi lebih mudah dan less of side effect (minim efek samping). Perbedaaan mendasar dari PTD dengan kemoterapi adalah adanya photosensitizer.
Retna menjelaskan, prinsip kerja PTD adalah biofotonik. Alat disiapkan untuk menembak bagian tubuh yang tersarang sel kanker. Sebelum diterapi, pasien dinjeksi dengan photosensitizer yang dibuat dari zat klorofil. Photosensitizer itulah yang bertugas sebagai pengikat sel kanker di jaringan tubuh.
Tujuan kemoterapi adalah terjadinya proses apoptosis, yaitu putusnya rantai DNA kanker. Nah,photosensitizer itu berfungsi mengikat sel kanker di dalam tubuh untuk diajak bersama-sama menghancurkan diri sehingga terjadilah apoptosis.
Retna menegaskan, alat PTD bisa diproduksi secara masal. Sebab, dari segi produksi, Indonesia sudah bisa memproduksi sinar laser dengan low level. Apakah tidak ingin mematenkan alat itu? Menurut dia, alatnya sedang dipatenkan. Namun, untuk pengembangan lebih lanjut, dia memerlukan bantuan dari banyak disiplin ilmu. (ina/c23/ai)
BACA JUGA: Tablet ADVAN Berjaya di Asia Pasifik
BACA ARTIKEL LAINNYA... Telkomsel Luncurkan Android United dengan Beragam Pilihan
Redaktur : Tim Redaksi