Citayam Fashion Week

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 13 Juli 2022 – 20:14 WIB
Terowongan Kendal. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - Sudirman Central Business District atau SCBD adalah kawasan segitiga emas paling mahal dan paling bergengsi di Jakarta. 

Di situlah puncak ekspresi modernitas yang ditandai dengan gedung-gedung pencakar langit dengan desain yang seragam. 

BACA JUGA: Viral Bocah Citayam Nongkrong di Sudirman, Arie Untung: Kayak Harajuku

Di situlah transaksi bisnis besar berputar setiap hari. Di situlah pusat budaya global diekspresikan.

Beberapa bulan terakhir, fenomena SCBD berubah. 

BACA JUGA: Viral Bocah Citayam Nongkrong di Sudirman, Wakil Gubernur DKI Jakarta Justru Beri Pujian

Bukan lagi sebagai sentra bisnis yang elitis, tetapi berubah menjadi sentra anak-anak generasi milenial untuk berkumpul dan mengekspresikan diri. 

SCBD bukan lagi Sudirman Central Business District, tetapi ‘’Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok’’ untuk menggambarkan daerah-daerah pinggiran yang selama ini dianggap peripheral dan marginal.

BACA JUGA: Wahai Bocah Citayam yang Kerap Nongkrong di Sudirman, Simak Pesan Gubernur Anies

Anak-anak berusia belasan tahun bergaya dengan dandanan yang mencolok memenuhi kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta. 

Area depan pintu keluar masuk Stasiun Kereta Api Komuter Dukuh Atas hingga terowongan Kendal menjadi ajang catwalk terbuka bagi ABG itu untuk mengeskpresikan diri dan gaya.

Anak-anak baru gede, ABG,  itu tidak cuma pamer gaya berpakaian, banyak juga yang mencari perhatian dengan pamer keterampilan olahraga seperti permainan skateboard dan seni tari breakdance. 

Pameran aneka macam model pakaian ini kemudian disebut sebagai ‘’Citayam Fashion Week’’, sebuah sebutan bernada pejorative yang mengejek, tetapi malah menjadi brand yang marketable.

Ada juga yang menyebutnya sebagai Citayam Wave atau  Citayam Fashion Show.

Dari ajang pameran itu pun muncul nama-nama yang menjadi ikon baru seperti Bone, Kurma, Roy, dan Jeje. 

Mereka menjadi bintang catwalk jalanan sekaligus menjadi selebritas dadakan yang populer di TikTok dan platform-platform lain.

Kemasifan penyebaran konten-konten media sosial yang mengupas habis fenomena Citayam Fashion Week dan keinginan menjadi viral serta terkenal di jagat maya menjadikan suasana petang di Kawasan Sudirman ini mirip keramaian anak-anak muda di Shibuya, Jepang. 

Ada yang merasa gerah dengan fenomena itu karena menganggapnya mencemari elitisme Jl Sudirman. 

Mereka mengokupasi jalan dan meninggalkan sampah. Ada yang merokok walau usianya masih belia. 

Akan tetapi, Anies Baswedan sebagai penguasa Jakarta berpikir positif dan menganggap bahwa fenomena itu sebagai bukti bahwa Jakarta menjadi milik semua orang.

Jakarta sangat inklusif, Jakarta sangat terbuka dan menghargai serta toleran terhadap kreativitas anak muda pinggiran, senyampang mereka mematuhi ketertiban dan menjaga kebersihan lingkungan. 

Anies meminta masyarakat menghargai eksistensi mereka karena ruang publik adalah milik bersama. 

Anies melihat fenomena tersebut sebagai wujud terjadinya demokratisasi di Kawasan Sudirman. 

Sudirman tidak saja milik pekerja kantoran, tetapi juga milik masyarakat ekonomi kelas bawah. 

Sebagian dari ABG SCBD berasal dan mukim di berbagai Kawasan di Jakarta, seperti Kebon Melati, Tanah Abang dan sekitarnya. 

Kemudian mereka beremigrasi ke daerah pinggiran mengikuti domisili orang tua.  

Akses transportasi kereta api dari Bogor, Tangerang, Citayam, Bojonggede dan Depok menuju Dukuh Atas yang terjangkau dan nyaman membuat mobilitas ABG SCBD makin mudah. 

Era digital membongkar semua yang awalnya menjadi kemapanan--dan menjadi privilese kelas tetentu—menjadi terakses oleh setiap orang. 

Paris Fashion Week, London Fashion Week menjadi ikon budaya modern yang menjadi bagian dari budaya avant garde yang hanya dimiliki dan ditonton oleh sekalangan elite terbatas, tetapi era digital menggugurkan elitisme itu.

Para selebritas Indonesia mencari identitas dengan beramai-ramai datang ke Paris Fashion Week. Mereka hanya jalan-jalan saja di sekitar lokasi dan kemudian mengunggah aktivitasnya di media sosial. Dengan begitu mereka merasa bangga bisa menjadi bagian dari budaya fashion global. 

Apa yang mereka cari kalau bukan ingin viral? Tidak ada lain kecuali viral. 

Eksistensi manusia digital ditentukan oleh eksistensinya di dunia maya. 

Setiap hari manusia digital bekerja ekstra keras melakukan apa saja supaya eksistensinya diakui dan tetap terjaga di dunia maya.

Aku klik maka aku ada. Eksistensi manusia tidak lagi ditentukan oleh pikirannya. 

Descarters mengatakan ‘’Aku berpikir, karena itu aku ada’’, Cogito ergo sum, I think therefore I am. 

Konsepsi mengenai eksistensi manusia itu sekarang sudah berubah. 

Manusia eksis bukan karena dia berpikir, tetapi karena dia ‘’klik’’ di media sosial.

Dunia modern menerapkan standarnya sendiri, dan kemudian memaksakan seluruh dunia untuk mengikutinya. 

Prinsip universalitas menjadi norma yang harus diikuti di seluruh dunia. 

Standar kecantikan pun ditentukan oleh Eropa. 

Untuk disebut cantik seseorang harus berbodi ‘’kutilang darat’’ kurus tinggi langsing dada rata, mirip tiang listrik. 

Kulit harus putih dan rambut harus pirang plus mata biru.

Maka perempuan seluruh dunia rela diet habis-habisan, tidak makan nasi dan menghindari karbo supaya berat badan terjaga di bawah 50 kilogram. 

Supaya kulit menjadi putih mereka rela melakukan bleaching, seperti mencuci pakaian dengan deterjen, supaya kulit terlihat putih. 

Supaya hidung terlihat mancung perempuan rela melakukan oplas, dan supaya mata terlihat biru seperti bule sekarang sudah tersedia lensa kontak dengan berbagai warna.

Supaya rambut menjadi pirang sudah tersedia cat rambut dengan berbagai warna. 

Standar kecantikan sebagai bagian dari modernitas sudah dibakukan di Paris. 

Di Afrika, standar kecantikan berbeda dengan standar di belahan dunia yang lain. 

Seorang wanita dianggap cantik kalau dia berkulit hitam mengkilat dan badannya tinggi besar. 

Orang Eropa gagal mengapresiasi standar kecantikan lokal ini dan hanya menganggapnya sebagai eksotisme belaka. 

Berkulit hitam boleh, tetapi tetap harus kutilang darat.

Barat menjadi kiblat dunia dan ingin mendominasi dunia dalam segala aspek kehidupan. 

Nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dirumuskan di barat dan disebarkan ke seluruh dunia untuk diadopsi tanpa ada modifikasi. 

Hak asasi manusia dianggap mempunyai nilai universal yang harus diterapkan di mana pun. 

Demokrasi liberal juga  harus diterapkan di seluruh dunia karena paling sesuai dengan kodrat kemanusiaan. 

Hak asasi manusia, demokrasi liberal, dan kapitalisme adalah ideologi dunia, yang menjadi tanda berakhirnya sejarah, ‘’the end of history’’. 

Seluruh dunia harus menerima dan mengadopsinya tanpa boleh menerapkan kearifan lokal, yang menjadi kekhasan dan kekuatan identitas bangsa-bangsa selama ini.

Modernitas dipaksakan ke seluruh dunia dengan ciri konformitas yang tunggal dan sergam. 

Budaya pop menjadi acuan budaya dunia yang bercirikan keseragaman yang merata. 

Fast food dan minuman ringan menjadi mode dan tren di seluruh dunia. Tidak ada ruang untuk berbeda.

Teknologi digital melahirkan fenomena baru. Ruang publik terbuka lebih lebar untuk berekspresi dan bereksistensi. 

Anak-anak muda dari generasi SCBD itu menjadikan Citayam Fashion Show sebagai ajang untuk unjuk diri dan menegaskan identitas serta standar mode mereka sendiri.

Siapa pun boleh menyinyir dengan menyebut mereka katrok maupun norak.

Akan tetapi, mereka sudah terbukti sukses melakukan dekonstruksi, pembongkaran, terhadap dominasi kalangan elite yang merasa menjadi pemimpin fashion dunia.

Modernisme mendikte orang menjadi seragam, sekarang era post-modernisme muncul ketika semua orang bebas mengekspresikan gaya dan eksistensinya.

Anak-anak SCBD itu bagian dari generasi post-modern yang berhasil menunjukkan budaya tandingan (counter culture) melawan budaya elitis yang hanya dikuasai oleh segelintir orang elite.

Bone, Kurma, Roy, dan Jeje, muncul sebagai ikon baru yang tidak kalah mentereng dengan ikon-ikon elite lainnya. (*)  


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler