Corcoran G20

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 17 November 2022 – 18:53 WIB
Presiden Jokowi dalam pidatonya saat sesi ketiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Hotel Apurva Kempinski, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Rabu (16/11). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

jpnn.com - Pelaksanaan KTT (konferensi tingkat tinggi) G20 di Bali berakhir.

Indonesia merasa sangat bangga bisa menjadi tuan rumah yang sukses.

BACA JUGA: Jokowi Blusukan ke Pasar Badung Bali, Lalu Melakukan Hal Ini

Glorifikasi atau pengagungan KTT ini dilakukan secara total dan all out seolah menjadi pertaruhan hidup mati.

KTT ditutup dengan pesta gala dinner dan pertunjukan yang extravagant.

BACA JUGA: Megawati dan SBY Duduk Semeja di KTT G20, Begini Respons Masinton

Para pemimpin dunia diberi sajian pertunjukan tari dan nyanyi yang penuh gebyar kemewahan.

Terlihat sekali bahwa KTT ini adalah pesta besar yang penuh gengsi.

BACA JUGA: Luhut Binsar Sebut Indonesia Salah Satu Negara Tercepat Memulihkan Ekonomi

Indonesia sebagai tuan rumah ingin memamerkan kepada dunia bahwa kita jago dalam membuat sajian pertunjukan extravaganza.

Pertunjukan yang penuh kemewahan itu menjadi paradoks terhadap pesan utama yang dihasilkan oleh KTT.

Para pemimpin dunia menyadari bahwa jalan ke depan suram, licin, dan berbahaya.

Dunia terancam oleh kemungkinan perang dunia ketiga.

Di tengah-tengah pelaksanaan KTT, konflik Rusia-Ukraina mencapai babak baru dengan menyasarnya sebuah rudal ke wilayah Polandia.

Kalau terbukti bahwa rudal ini ditembakkan oleh Rusia, maka pasukan NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, akan membalas dengan menyerang Rusia karena Polandia adalah anggota NATO.

Sejak awal, NATO dan Amerika Serikat menahan diri untuk tidak terlibat dalam konflik langsung melawan Rusia di Ukraina.

Akan tetapi, NATO akan menyerang jika anggotanya diserang.

Rudal yang jatuh ke wilayah Polandia bisa menjadi pemicu perang besar.

Kondisi ekonomi ke dapan juga tidak kalah suram.

Semua lembaga keuangan internasional mengingatkan datangnya bahaya resesi yang sudah ada di depan mata.

Negara-negara besar sudah bersiap-siap menghadapi bahaya resesi. Tetapi, Indonesia masih tenang-tenang saja dan tetap berpesta, seolah tidak ada bahaya.

Membanggakan pelaksanaan G20 adalah hal yang wajar.

Negara-negara peserta memuji pelaksanaan KTT Bali ini.

Akan tetapi, glorifikasi yang berlebihan pada saat kondisi sedang suram bisa menyesatkan.

Pelaksanaan KTT ini diglorifikasi supaya terlihat sempurna 100 persen.

Aparat keamanan dikerahkan full power.

Tidak boleh ada protes sedikitpun.

Bahkan, seorang emak yang membentangkan poster pun harus diamankan.

Sebanyak 26 mahasiswa NTB yang melakukan demonstrasi dibubarkan dan ditangkap oleh polisi.

Hajatan G20 diagungkan tanpa boleh ada kritik sedikitpun.

Hajatan ini harus menjadi pameran kehebatan yang sempurna.

Siapa saja yang melakukan kritik sekecil apapun akan dihajar, dan dituduh sebagai subversif dan mempermalukan negara.

Darryl Dwi Putra ialah aktivis mahasiswa yang ingin melihat KTT G20 dari kacamata yang kritis.

Sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana, Bali, Darry memberikan kritik melalui beberapa aktivitas diskusi di kampus bersama teman-temannya.

Akan tetapi, yang terjadi kemudian Darryl dirundung habis-habisan dan diserbu oleh serangan netizen yang murka.

Sepanjang hari ini (17/11) tagar #DarrylBikinMaluNegara menjadi trending topik di Twitter.

Darryl dianggap mempermalukan Indonesia di mata dunia karena sikapnya yang kritis terhadap G20.

Kalau suara kritis dari mahasiswa dibungkam dengan cara-cara seperti ini, maka ruang demokratis di Indonesia sudah makin menyempit, kalau tidak disebut sudah habis tergusur.

Ruang demokrasi itu hilang dilindas oleh mobokrasi baru dalam bentuk serangan netizen.

Ruang demokrasi itu menyempit karena digusur oleh glorifikasi yang berlebihan terhadap seorang pemimpin populis dalam sosok Jokowi.

Darryl dan kawan-kawannya kerap melakukan diskusi untuk melihat secara kritis sisi baik dan buruk dari G20.

Namun, menurut Darryl, diskusi-diskusi kritis mahasiswa yang dia lakukan selalu mendapat intimidasi baik dari internal kampus maupun pihak luar.

Tagar #DarrylBikinMaluNegara menjadi viral berawal dari tulisan Darryl yang dimuat di instagram story (16/11).

Dalam snapgramnya itu Darryl mempertanyakan mengapa ruang demokrasi masyarakat--terutama mahasiswa melalui diskusi akademik--itu harus dibatasi karena G20.

Darryl mempertanyakan, mengapa ada upaya represif dari aparat dengan menangkap beberapa mahasiswa yang melakukan protes terhadap masalah lingkungan dalam bentuk kerusakan ekosistem. 

Terlepas apakah kawan-kawannya mendukung atau menolak, Darryl menggugat bagaimana nasib kehidupan demokrasi yang dimiliki mahasiswa.

Apa yang dia sampaikan di dalam story itu adalah upaya untuk memantik diskusi. 

Dia pun selalu menyematkan tanda tanya questions box.

Dia mengatakan tidak ada niat memprovokasi, dia hanya mempertanyakan apakah diskusi sebagai bagian dari hak demokrasi sudah dilarang.

Dia membantah tuduhan yang menyebut dirinya sebagai salah satu orang yang memprovokasi penolakan KTT G20.

Darryl terkejut oleh serangan berbagai akun terhadap dirinya.

Dia mencurigai serangan itu diorkestrasi oleh kelompok tertentu dengan mempergunakan robot dan akun-akun bodong.

KTT G20 adalah forum demokratis yang dihadiri 20 kepala negara demokratis.

Akan tetapi, rundungan yang dilakukan terhadap Darryl tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Rundungan semacam itu tidak hanya ditujukan kepada aktivis di Indonesia.

Di Inggris, seorang aktivis sayap kanan dan seorang influencer bernama Mahyar Tousi merasakan kerasnya gempuran netizen Indonesia.

Saking gencarnya gempuran itu Tousi sampai meminta ampun dua kali.

Tousi ketakutan karena dia bukan hanya dihujat dan diserang, tetapi dia juga menerima ancaman pembunuhan.

Serius atau tidak ancaman ini yang jelas Tousi ketakutan. Dia meminta maaf, tidak cukup satu kali, tapi dua kali.

Mahyar Tousi dikenal sebagai YouTuber yang kerap memberikan komentar kritik mengenai beberapa kebijakan politik di dunia.

Akunnya di YouTube sudah memiliki 260 ribu subscriber.

Cuitannya viral karena dianggap menghina batik Indonesia yang dipakai para pemimpin negara di KTT G20.

Tousi mengunggah foto para tokoh dunia, seperti Perdana Menteri Inggris yang baru terpilih, Rishi Sunak, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Pendiri World Economic Forum (WEF) Klaus Martin Schwab, Presiden FIFA Gianni Infantino, dan Menteri Perdagangan Indonesia Zulkifli Hasan.

Dalam caption foto iti Tousi menulis ‘’What these idiot are wearing?’’ Apa yang dikenakan oleh orang-orang goblok ini?

Dalam foto itu para tokoh itu memakai batik seragam berwarna merah yang disediakan oleh panitia.

Mungkin Tousi mengarahkan kritiknya kepada Sunak, seperti yang selama ini dia lakukan terhadap pemerintah di Inggris.

Akan tetapi, cuitan itu dianggap menghina Indonesia, karena meremehkan batik yang menjadi budaya khas Indonesia.

Tidak ada maaf bagi Tousi. Ia menyadari kesalahannya dan menghapus unggahannya, tetapi terlambat.

Seorang netizen Indonesia menangkap tampailan layar cuitan itu dan membaginya ke berbagai media sosial.

Imbas dari cuitannya itu, akun media sosial Mahyar Tousi mulai twitter hingga Instagram diserang oleh netizen Indonesia yang murka oleh unggahan itu.

Mahyar Tousi minta ampun. Dia mengaku tak punya pengetahuan soal budaya batik dan tidak berniat untuk menghinanya.

Akan tetapi, dia sudah telanjur menjadi bulan-bulanan netizen Indonesia.

Seorang influencer lain dari Inggris bernama Sophie Corcoran juga mempertanyakan ‘’foto idiot’’ Rishi Sunak itu.

Corcoran juga mendapat serangan bergelombang dari netizen Indonesia.

Salah satu komentar dengan sadis menyebut nama Corcoran sebagai ‘’corcoran semen’’ yang biasanya dipakai untuk mengubur tumbal proyek.

Di masa lalu, demokrasi sering dirusak oleh mobokrasi, serangan oleh orang-orang berkelompok terhadap orang yang dianggap bersebarangan dengan rezim.

Di era digital ini mobokrasi berubah wujud menjadi mobokrasi digital yang menyerbu aktivis media yang kritis terhadap rezim.

Banyak yang ketakutan oleh mobokrasi digital semacam ini, termasuk Mahyar Tousi yang sampai harus dua kali minta maaf.

Akan tetapi, Sophie Corcoran tidak takut oleh mobokrasi digital itu.

Dia malah tertawa terhadap berbagai komentar bernada ancaman.

Mental Corcoran rupanya setangguh corcoran semen. (**)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler