JAKARTA - Tindakan KPU Kota Gorontalo yang mencoret pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dari daftar calon walikota dibenarkan Prof HS Natabaya. Menurut ahli hukum administrasi negara ini, pencoretan tersebut didasarkan pada hasil putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Tindakan KPU sudah benar karena menegakkan aturan yang ada. Pemohon (Adhan Dambea) kan disuruh melegalisasi ijazahnya kepada Kepsek, kok tidak mau. Ini yang aneh dan harus dipertanyakan," kata Natabaya saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli untuk pihak terkait (KPU Kota Gorontalo) dalam sidang sengketa pilkada Gorontalo di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/4).
Dia juga menyatakan, pasangan Adhan-Irawanto tidak punya legal standing untuk mengajukan gugatan pilkada ke MK. "Pemohon bukan peserta pemilukada. Karena itu ketua majelis hakim tidak boleh menerima perkaranya," tegasnya.
Keterangan saksi itu dipertanyakan Prof Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Adhan-Irawanto. Menurut dia, kliennya berhak mengajukan perkara pilkada ke MK karena awalnya telah ditetapkan sebagai peserta pilkada. Namun belakangan dicoret dari daftar hanya karena masalah legalisasi ijazah.
"Ijazahnya sudah dilegalisasi pada 1981 sesuai aturan yang berlaku saat itu. Namun tahun 2012, muncul peraturan baru yang mengharuskan ijazah dilegalisir oleh kepsek. Apakah legalisasi sebelumnya salah," tanya Yusril.
Menjawab itu, Natabaya tetap bersikukuh pemohon harus mengikuti aturan terbaru. "Kalau dulu legalisasi ijazahnya bisa dipakai, sekarang aturan mainnya berbeda dan itu harus ditaati para peserta pilkada. Kalau tidak mau ikut aturan, ya harus dianulir," tandasnya.(esy/jpnn)
"Tindakan KPU sudah benar karena menegakkan aturan yang ada. Pemohon (Adhan Dambea) kan disuruh melegalisasi ijazahnya kepada Kepsek, kok tidak mau. Ini yang aneh dan harus dipertanyakan," kata Natabaya saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli untuk pihak terkait (KPU Kota Gorontalo) dalam sidang sengketa pilkada Gorontalo di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/4).
Dia juga menyatakan, pasangan Adhan-Irawanto tidak punya legal standing untuk mengajukan gugatan pilkada ke MK. "Pemohon bukan peserta pemilukada. Karena itu ketua majelis hakim tidak boleh menerima perkaranya," tegasnya.
Keterangan saksi itu dipertanyakan Prof Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Adhan-Irawanto. Menurut dia, kliennya berhak mengajukan perkara pilkada ke MK karena awalnya telah ditetapkan sebagai peserta pilkada. Namun belakangan dicoret dari daftar hanya karena masalah legalisasi ijazah.
"Ijazahnya sudah dilegalisasi pada 1981 sesuai aturan yang berlaku saat itu. Namun tahun 2012, muncul peraturan baru yang mengharuskan ijazah dilegalisir oleh kepsek. Apakah legalisasi sebelumnya salah," tanya Yusril.
Menjawab itu, Natabaya tetap bersikukuh pemohon harus mengikuti aturan terbaru. "Kalau dulu legalisasi ijazahnya bisa dipakai, sekarang aturan mainnya berbeda dan itu harus ditaati para peserta pilkada. Kalau tidak mau ikut aturan, ya harus dianulir," tandasnya.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Caleg Tak Perlu Dana Besar
Redaktur : Tim Redaksi