Corona di Iran Kembali Mengganas setelah Kegiatan Publik Berjalan Lagi, Ini Penyebabnya

Minggu, 07 Juni 2020 – 20:07 WIB
Ilustrasi warga Iran di tengah menghadapi pandemi corona. Foto: Anadolu Agency

jpnn.com, TEHERAN - Iran saat ini sedang dilanda kekhawatiran pandemi Covid-19 gelombang kedua. Ini terlihat dari melonjaknya jumlah infeksi virus corona di negara itu saat ini.

Warga Negara Indonesia (WNI) di Iran menjadi perhatian penting Kedutaan Besar RI di Teheran. Seperti pemberian bantuan tahap ketiga sebagai salah satu upaya perlindungan.

BACA JUGA: Gelombang Kedua Virus Corona Menghantui, Negara Ini Ogah Lockdown Lagi

KBRI Tehran pun telah mendistribusikan alat-alat kesehatan berupa masker, disinfektan dan hand sanitizer dan mengadakan rapid dan swab test terhadap WNI.

Khususnya yang berada di zona merah COVID-19 di Iran yaitu Tehran serta WNI yang akan pulang ke Indonesia.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Boni Hargens sedang Halusinasi, Helikopter Jatuh di Kendal

"Secara serentak, KBRI Tehran bagikan bantuan logistik COVID-19 kepada seluruh WNI di 8 kota di Iran yaitu Tehran, Qom, Isfahan, Gorgan, Mashhad, Karaj, Qazvin dan Kermanshah dan tahap berikutnya kepada para ABK di Bandar Abbas dan sekitarnya," seperti dikutip dari siaran pers KBRI Teheran, diterima Minggu 7 Juni 2020.

Bantuan logistik berisikan produk-produk makanan Indonesia tersebut memproleh tanggapan yang sangat positif dari WNI khususnya bagi mereka yang tak bisa pulang ke Indonesia karena terhalang pandemik COVID-19.

BACA JUGA: Jeddah Lockdown Lagi, Masjid Terpaksa Ditutup Kembali

Sementara itu, hingga Rabu lalu, otoritas kesehatan Iran mencatat 160.696 kasus dan 8.012 di antaranya meninggal dunia. Dalam 24 jam terakhir, Iran melaporkan 3.134 kasus Covid-19 baru dan 70 korban jiwa.

Pada Selasa, 2 Juni 2020, Iran melaporkan 3.117 kasus dan 64 korban. Artinya, untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua bulan terakhir, Iran kembali melaporkan 3.000 kasus baru per hari.

"Jujur saja, itu menakutkan dan kami tampaknya tidak sepenuhnya menyadari betapa gawatnya situasi ini," ujar Mohammad Taala, pegawai universitas swasta di Teheran, dikutip dari situs aa.com.tr, Minggu 7 Juni 2020.

Iran diserang pandemi ini sejak Februari dan menjadi salah satu negara di Timur Tengah yang paling terdampak.

Negara itu kemudian melonggarkan pembatasannya pada April setelah ada penurunan signifikan dalam kasus baru dan angka kematian.

Lonjakan kasus baru kembali dilaporkan pada Mei setelah transportasi publik dan pertokoan kembali beroperasi dan masjid kembali dibuka.

Menurut para ahli kesehatan, grafik kasus selama beberapa minggu terakhir menunjukkan bahwa tanda-tanda gelombang kedua tengah melanda negara itu. Awal pekan ini, Menteri Kesehatan Saeed Namaki meminta warga mematuhi aturan pembatasan sosial.

"Pertarungan kita melawan pandemi masih jauh dari selesai. Jangan sampai upaya kita selama tiga bulan terakhir menjadi sia-sia karena kita lalai," kata dia.

Namaki menekankan, pembatasan mobilitas harus diberlakukan kembali di Teheran karena "virus korona lebih berbahaya daripada polusi udara".

Sejumlah rumah sakit di Teheran melaporkan peningkatan jumlah pasien dalam beberapa pekan terakhir, sehingga menambah beban dokter dan perawat.

"Kami minta orang-orang selalu memakai masker dan mematuhi aturan kesehatan lainnya. Kami juga mendesak pihak berwenang untuk tidak terburu-buru mencabut karantina wilayah," tegas Shapouri, seorang perawat di Rumah Sakit Masih Daneshvari.

Gelombang baru Covid-19 telah memengaruhi sebagian besar wilayah selatan Iran, khususnya Provinsi Khuzestan.

Khuzestan, yang terletak di perbatasan barat daya Iran dengan Irak, dikategorikan sebagai "zona merah" karena risiko penyebaran virus yang tinggi.

Tercatat pula lonjakan kasus baru di Provinsi Sistan-Baluchistan yang berbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan serta Provinsi Hormozgan yang berbatasan dengan Oman dan Uni Emirat Arab (UEA).

Kementerian Kesehatan Iran menyoroti, sebagian besar orang menggunakan layanan transportasi publik tanpa memakai masker.

Namun, kementerian tampaknya tak mendapat dukungan yang cukup dari pemerintah, karena pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk melonggarkan pembatasan.

Pekan lalu, Kepala Pusat Penanganan Covid-19 di Teheran Alireza Zali menyatakan dia optimistis pandemi itu berhasil "diberantas" di Iran, karena lebih dari 88 persen pasien sudah sembuh.

Kemudian, Presiden Iran Hassan Rouhani pun mengumumkan rencana baru untuk membuka kembali kantor, tempat ibadah, dan restoran.

Sekitar 40.000 masjid di seluruh negeri dibuka kembali, di samping situs-situs suci Qom, Mashhad, dan Teheran.

Pihak berwenang juga mengizinkan salat Jumat pada lebih dari 100 kota dan larangan perjalanan antarkota dicabut.

Pemerintah merasa tertekan karena merosotnya ekonomi negara itu, apalagi Iran tengah berjuang menghadapi sanksi Amerika Serikat.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh pusat penelitian parlemen Iran, pendapatan per kapita Iran turun 34 persen selama 2011-2019, dan karantina wilayah telah memperburuk kondisi ini.

Aseer Ali dari Universitas Kedokteran Teheran memperingatkan bahwa lonjakan kasus harian dapat mengurangi semangat dan memicu kekhawatiran warga.

"Ini pasti menciptakan ketakutan dan kepanikan di masyarakat. Meskipun situasi Iran tidak seburuk AS atau Eropa, tetapi dengan adanya lonjakan kasus baru, masalah ini sungguh memprihatinkan," tuturnya. (ngopibareng/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler