Corona Mengubah Perilaku Warga, tetapi Masih Ada Netizen Meremehkannya

Jumat, 27 Maret 2020 – 21:49 WIB
Warga yang mewaspadai virus corona menggunakan masker wajah saat melintasi kawasan MH. Thamrin, Jakarta, Selasa (3/3). Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Campaign Manager Change.org Indonesia Dhenok Pratiwi mengungkapkan bahwa masih ada orang Indonesia yang meremehkan virus corona (COVID-19). Alih-alih takut pada penyebaran coronavirus, ada warganet yang menganggap pandemi global itu dibesar-besarkan.

Dhenok menyampaikan pendapatnya berdasar hasil survei secara daring di laman change.org. Survei untuk melihat persepsi masyarakat terhadap penyebaran virus corona itu melibatkan lebih dari 10 ribu responden.

BACA JUGA: Update Corona 27 Maret 2020: Sudah Ada 1.046 Kasus, Korban Jiwa 87

Menurut Dhenok, mayoritas responden (69,6 persen) menganggap situasi saat ini serius dan tidak boleh diremehkan. Sementara 27,9 persen responden lainnya menilai situasi sudah gawat darurat.

"Lalu apa saja yang mereka lakukan untuk menghadapi krisis ini? Jawaban-jawaban teratas adalah menjaga kekebalan tubuh (76,3 persen), sering mencuci tangan (66,8 persen), bekerja, belajar dan beribadah di rumah (58,2 persen), menghindari salaman atau bersentuhan fisik (55,3 persen) dan responden yang mencoba tidak menyentuh muka (39,5 persen)," ujarnya melalui layanan pesan, Jumat (27/2).

BACA JUGA: Corona Mewabah, Pemerintah Siapkan Aturan Karantina Wilayah

Sementara responden yang menyepelekan coronavirus ada 2,5 persen. "Jadi, hanya 2,5 persen responden yang menganggap masalah ini bukan ancaman, dibesar-besarkan atau tidak tahu," sebutnya.

Survei itu juga mengungkap perubahan perilaku publik dalam keseharian, termasuk soal beribadah. Ada 93,6 persen responden yang memilih beribadah sendiri di rumah sendirian, sedangkan 6,1 persen tetap pergi ke rumah ibadah.

BACA JUGA: 2 WNI Positif Virus Corona, Nikita Mirzani Takut Salaman

Sementara 0,9 persen responden mengaku masih tetap bersalaman karena alasan budaya. Adapun 0,2 persen menganggap kebijakan work from home (WFH) sebagai waktu untuk liburan.

"Saat ini kebijakan WFH atau study from home semakin marak. Kabar baiknya 98,7 persen pelajar dan mahasiswa merasa diberi kesempatan untuk belajar dari rumah. Di dunia pekerjaan, tidak sebesar itu. Hanya 54,9 persen responden yang bekerja merasa hal yang sama, sementara 11,8 persen merasa tidak diberi kesempatan padahal semestinya bisa," kata Dhenok.

Kemudian ada 26 persen responden yang mengaku tidak melakukan WFH karena jenis pekerjaan mereka tidak memungkinkan. Adapun 7,3 persen mengatakan, tidak bekerja di luar berarti tidak memperoleh pendapatan.

Survei daring itu digelar sejak Selasa (24/3) lalu dengan responden 10.199 warganet. Perinciannya adalah warganet perempuan (55,6 persen), sedangkan laki-laki (44,4 persen).

Untuk kelompok usia respondennya ada yang di kelompok 12-17 tahun (5 persen), 18-24 tahun (29,7 persen), 25-34 tahun (26,3 persen) dan 35-44 tahun (20,2 persen). Selanjutnya responden berusia 45-54 tahun (12,4 persen), berusia 55-64 tahun (5 persen) dan di atas 65 tahun (1,6 persen).

Sebanyak 72,1 persen responden tinggal di kota, sedangkan 27,9 persen tinggal di kabupaten. Mayoritas responden berdomisili di DKI Jakarta (29,8 persen), Jawa Barat (20 persen), Jawa Timur (10,2 persen), Banten (8,3 persen),  Jawa Tengah (7,2 persen) dan sisanya dari provinsi lain.

"Change.org Indonesia meluncurkan survei persepsi publik untuk mengetahui bagaimana tingkah laku dan pengetahuan masyarakat terkait penyebaran virus Corona. Survei ini juga bertujuan untuk mengetahui persepsi publik tentang upaya pemerintah dalam menangani krisis ini,” pungkas Dhenok.(gir/jpnn) 


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler