jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Sholeh Basyari meyakini Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bakal terlempar dari bursa cawapres Pilpres 2024.
Dia mengaku mirisnya dengan nyaris terlemparnya Cak Imin dari gelanggang Pilpres 2024 belum terlihat tokoh NU yang lain akan masuk dalam bursa cawapres.
BACA JUGA: Wasekjen PBNU Sebut Siapa pun Capresnya akan Kalah Jika Cak Imin Jadi Cawapres
Menurutnya, tokoh-tokoh NU yang menonjol saat ini, nyaris semua bertipkal konfrontatif dan konsolidasi mereka terganjal oleh pertarungan sektoral di internal.
Sholeh juga menyebutkan saat ini banyak catatan bisa dihadirkan untuk membaca tanda-tanda tersingkirnya Cak Imin dari gelanggang Pilpres 2024.
"Pertama, Cak Imin gagal mengkonsolidasikan dirinya dengan epicentrum magnet politik NU di Kramat Raya. Kedua, dia juga gagal mengkonsolidasi dan mengkondisikan stabilo yang kian merah terkait sejumlah catatan hukumnya," kata Sholeh dalam keterangannya, Minggu (27/8).
Catatan ketiga, Cak Imin gagal menerjemahkan politik NU adalah politik kiai dengan pemaknaan yang substansif dan keempat dengan tiga kegagalan tersebut, kekuatan struktur PKB tidak cukup menopangnya untuk meraih tiket cawapres.
"Semakin dekat waktu penetapan pasangan capres-cawapres, posisi Cak Imin kian kritis. Padahal, sejatinya Cak Imin sangat kokoh secara politik dan bisa disebut satu-satunya politisi dari kalangan NU paling reliable di posisi cawapres, posisi yang nyaris mutlak menjadi 'jatah' NU," lanjutnya.
Sholeh juga menilai saat ini Cak Imin terintimidasi sedang terintimidasi. Hal itu terlihat jelas dalam beberapa hal.
"Pertama, penggeledahan Kemenaker oleh KPK dan disebut 'mengejutkan'. KPK secara khusus 'membidik' mantan Dirjen Binapenta (pembinaan dan penempatan) sewaktu Cak Imin sebagai Menteri Tenaga Kerja, Reyna Usman," kata Sholeh.
Sang mantan dirjen itu kini Wakil Ketua DPW PKB Bali sekaligus Caleg DPR RI dari Dapil Gorontalo.
"Kedua, positioning Cak Imin secara tidak sadar berada pada "hanya" dibutuhkan partainya (PKB). Dengan gambaran posisi sekedar dipakai perahunya, dia sulit keluar dari 'intimidasi' para elit politik," tutur Sholeh.
Menurutnya, hal ini sekaligus menjelaskan bahwa cak Imin tidak didukung tim kerja yang jago bermain bawah (konsolidasi basis), sekaligus piawai di level elit (lobby antar kekuatan politik).
Untuk mengatasi itu, Sholeh menyarankan Cak Imin untuk mencermati sejumlah aktivis sosialis seperti Adhi Massardi, mantan Jubir Gus Dur dan sejumlah aktivis kelompok sosialis yang dikenal sebagai a group of thinkker, yang sangat ahli operasi dan strategi politik.
"Sebagai contoh, sumber menyebutkan bahwa Dekrit Presiden 23 Juli 2001 yang berisi pembekuan DPR dan MPR dikonsep oleh tokoh sosialis terpenting saat itu Marsillam Simanjuntak," katanya.
Dia menyebutkan C ak Imin ada baiknya "menyewa" kawan-kawan sosialis untuk mengubah peta elit dan itu lebih menjamin dan lebih menjanjikan ketimbang bangunan reasoning PKB saat ini kokoh di Jatim dan Jateng.
"Keunggulan basis Cak Imin, tidak serta merta terkoneksi dengan para pemegang kebijakan dan pemangku kepentingan kepolitikan nasional, manakala capacity building tim kerja Cak Imin "jago kandang". Di sinilah peran Adhi Massardi menjadi vital. Bukankah PKB juga mengakui bahwa Gerindra bukan mitra koalisi tradisi bagi kaum Nahdiyin?" pungkas Sholeh.(mcr8/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Kenny Kurnia Putra