Cukai Rokok Sudah Naik Tinggi, SPM dan SKM Tak Perlu Digabung

Kamis, 26 September 2019 – 19:59 WIB
Sejumlah buruh pabrik rokok sedang bekerja. Ilustrasi Foto: DONNY SETYAWAN/RADAR KUDUS

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Ilmu ekonomi Universitas Padjadjaran Bayu Kharisma menilai keputusan pemerintah menaikkan cukai hingga 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen pada tahun 2020 kurang tepat.

Sebab, kenaikan harga jual akan menurunkan penjualan rokok. Dengan demikian, jumlah industri penghasil rokok yang legal akan menurun. Pasalnya, berat bagi industri untuk membeli pita cukai.

BACA JUGA: Bea Cukai Makin Ketat Awasi Peredaran Rokok Ilegal

“Akan berdampak luas terhadap kondisi perekonomian seperti pengangguran, inflasi dan matinya industri-industri rokok yang kecil dan menengah, serta petani tembakau akan kehilangan penghasilannya,” ujarnya, Kamis (26/9).

Dampak lanjutan yang dapat timbul adalah meningkatnya peredaran rokok ilegal yang terpusat di daerah-daerah dengan target konsumennya menengah ke bawah.

Dia menambahkan, saat ini rasio harga per bungkus rokok Indonesia dibandingkan dengan PDB per kapita lebih tinggi dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Swiss hingga negara tetangga Malaysia.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soesono mengatakan, meski belum diterapkan, rencana kenaikan cukai telah memberi dampak nyata pada tata niaga bawah.

Hal ini berupa tekanan dari para pedagang yang memanfaatkan isu kenaikan cukai untuk menekan harga kepada petani.

Akibatnya, pembelian semula yang bisa mencapai 2 ton menjadi 500 kg. Dia juga memprediksikan bahwa ketika cukai tersebut diterapkan tahun depan berupa berkurangnya tingkat penyerapan panen tembakau.

Kenaikan tarif cukai rokok bukan satu-satunya tantangan yang diberikan Pemerintah dalam upaya mengontrol sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Wacana yang masih terus digulirkan oleh sebagian pihak adalah adanya penerapan simplifikasi struktur tarif cukai dan penggabungan batas jumlah produksi Sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret keretek mesin (SKM).

Bayu mengungkapkan, rencana kenaikan cukai sudah cukup berat bagi pelaku industri, apalagi jika dibebani dengan simplifikasi dan penggabungan.

“Ancaman terhadap petani dan potensi terjadinya PHK menjadi semakin tinggi. Ditambah pula, jika penggabungan SPM dan SKM diterapkan maka akan terjadi potensi oligopoli dan juga monopoli,” katanya.

Jika pada akhirnya penggabungan SPM dan SKM diterapkan, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah akan dipaksa untuk menyesuaikan tarif yang lebih tinggi.

Hal itu berdasarkan penggabungan batas jumlah produksi kedua kategori tersebut. Persaingan tidak sehat lantas terjadi karena tengah tekanan kenaikan cukai yang sangat tinggi, perusahaan rokok kecil dan menengah terdampak akan dihantam oleh beban cukai tambahan akibat adanya simplifikasi dan penggabungan.

“Oligopoli dan monopoli terjadi karena dominasi dan arah perdagangan di pasar pada akhirnya akan dikendalikan oleh pemain besar tertentu saja,” katanya. (jos/jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler