Cukup dengan Permen serta You, Me, dan No

Laporan TATANG MAHARDIKA dari Rio de Janeiro

Minggu, 06 April 2014 – 16:51 WIB


JANGANKAN bahasa Shona, bahasa Inggris pun, hanya beberapa patah kata yang dipahami Suharti. Padahal, dua bahasa itulah yang sehari-hari digunakan Cicello Ndungbigma yang berasal dari Zimbabwe

Tapi, toh kendala bahasa itu sama sekali tak menghalangi keakraban keduanya yang mulai terbangun sejak satu pesawat dalam penerbangan dari Dubai menuju Rio de Janeiro. Hampir apa saja yang dilakukan Suharti selama perhelatan Street Child World Cup (Piala Dunia Anak Jalanan) 2014 di kompleks Espaco Lonier, Vargem Pequena, Rio de Janeiro, Cicello pasti juga ikut.

BACA JUGA: Ashley Young Bisa Absen Bela MU Lawan Muenchen

Mereka berbincang, bergurau, bahkan saling memperkenalkan permainan tradisional masing-masing negara. Cicello, misalnya, mengajari Suharti, para pemain putri Indonesia lain, serta pelatih menyanyikan Shosholoza. Itu adalah lagu rakyat yang sejatinya berasal dari Zimbabwe meski kemudian lebih populer di Afrika Selatan.

Suharti dan Cicello pun tak ubahnya dua teman yang akrab karena tumbuh bersama dalam satu lingkungan. “Kuncinya cuma you, me, noooo,” kata Suharti sembari tergelak.

BACA JUGA: Prandelli Ancam Coret Daniele De Rossi

Maksudnya, tiap kali memulai melakukan sesuatu, itulah yang dikatakan Suharti kepada Cicello: you and me (kamu dan aku). Kalau setuju, jalan. Jika Suharti dan Cicello ternyata tak sepakat dengan ide masing-masing, cukup bilang "no" atau "tidak" dalam intonasi yang kerap dipanjangkan.

Keakraban tanpa memedulikan kendala bahasa itu tak hanya terbangun antara Suharti dan Cicello. Para pemain tim putri Indonesia, misalnya, juga dekat dengan para pemain Filipina, Mozambik, dan Nikaragua.

BACA JUGA: Hazard Hengkang dari Chelsea Tergantung Istri

Para pemain putri Filipina juga akrab dengan para pemain putra Mesir. Para pemain putra Mesir bersahabat pula dengan para pemain putra Indonesia yang juga berteman baik dengan para pemain putra Filipina, Burundi, dan Mauritius.

“Pernah pemain Brasil berusaha mengganggu para pemain Indonesia yang tengah salat di kamar. Langsung saja para pemain Mauritius membela dengan mengusir para pemain Brasil agar anak-anak Indonesia bisa salat dengan tenang,” kata Winaryo, pelatih Indonesia, yang tinggal satu ruangan dengan para pemain putra.

Karena itulah, SCWC 2014 layak menjadi cermin bagi Piala Dunia yang sebenarnya yang dimulai pada Juni mendatang. Bagaimana kelak berbagai bangsa campur baur dalam satu wadah yang juga sangat multirasial bernama Brasil.

Kalau sekitar 230 remaja berusia 13-17 tahun dengan latar belakang jalanan yang akrab dengan hidup yang keras ternyata bisa bergandengan tangan, semestinya sekitar 600 ribu turis Piala Dunia 2014 juga dapat melakukannya. Sebab, syaratnya sungguh tak sulit, cukup dengan bahasa tubuh.

Kalaupun butuh perantara, sekadar permen pun kadang mencukupi. Itu pula yang dilakukan para pemain putra Indonesia. “Bahasa” diplomatik mereka dengan Mauritius hanyalah permen rasa kopi. “Rupanya, di negara mereka nggak ada permen kayak gitu. Begitu ngrasain, langsung nempel dah mereka dengan kami,” kata Maruli, salah seorang pemain putra Indonesia.

SCWC 2014 memang tak hanya tentang sepak bola. Melainkan pula sebuah upaya mengingatkan dunia agar jangan sampai ada lagi anak-anak yang hidup di jalanan.

Juga, sebuah ikhtiar untuk membangun keakraban antarbudaya. Setidaknya, dari sisi itu, SCWC 2014 berhasil. Diplomasi terbangun baik meski hanya dengan perantara permen dan beberapa patah kata. (c10/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ancelotti Nilai Pemain Madrid Sangat Cerdas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler